Gagasan tentang amendemen UUD 1945 mendadak menjadi pembicaraan utama bagi aktor politik tanah air. Bukan tidak mungkin hal itu dipicu oleh motif ekonomi politik kelompok tertentu.
Pinterpolitik.com
Wacana amendemen UUD 1945 tiba-tiba berhembus kencang. Sebuah wacana yang umumnya dianggap tabu karena alasan sakralnya konstitusi, belakangan tengah menjadi pembicaraan serius. Berbagai partai politik tanah air memiliki pandangannya tersendiri terkait dengan wacana tersebut.
Ada partai yang setuju dan bahkan mendorong serius terjadinya perubahan terbatas pada konstitusi tersebut. PDIP misalnnya tak malu-malu untuk menunjukkan posisi pro pada amendemen konstitusi yang lahir sejak bertahun-tahun lalu tersebut.
Sementara itu, beberapa partai lain memilih bersikap hati-hati sebelum menentukan sikap pada gagasan amendemen UUD 1945 tersebut. Mereka menyadari betul bahwa perubahan pada konstitusi ini merupakan sesuatu yang amat berisiko, sehingga tak bisa dilakukan secara sembarangan.
Perlu diakui, amendemen UUD 1945 memang berpotensi membuka berbagai luka lama dalam perjalanan bangsa ini. Apalagi, beberapa usulan perubahan yang berkembang memang bisa memutar kembali memori tak sedap era Orde Baru seperti kekuatan MPR dan juga GBHN.
Lalu, mengapa wacana amandemen tersebut tiba-tiba mengemuka di masa seperti sekarang ini? Adakah motif khusus yang dapat dipenuhi melalui gagasan perubahan terbatas pada konstitusi tersebut?
Wacana yang Mengemuka
Di tengah wacana perebutan dan pembagian kursi pimpinan MPR, gagasan soal amendemen UUD 1945 tiba-tiba saja ikut masuk ke dalam agenda. Bola panas kemudian bergulir akibat ide tersebut. Kontroversi juga mengemuka seiring dengan potensi tergerusnya demokrasi melalui wacana amendemen tersebut.
Beberapa partai sebenarnya memang memiliki sikap yang cukup jelas terkait dengan wacana amendemen terhadap konstitusi ini. PDIP misalnya sudah sejak lama ingin mengembalikan UUD 1945 ke versi asli era Presiden Soekarno.
Hal serupa berlaku bagi partai yang dipimpin oleh Prabowo Subianto, Gerindra. Salah satu cita-cita dari partai ini adalah untuk mengembalikan UUD 1945 ke versi aslinya. Tak hanya itu, PAN juga pernah melontarkan wacana tentang amendemen terbatas UUD 1945.
Jika diperhatikan, terlihat bahwa ada beragam isu spesifik yang ingin dipenuhi melalui wacana amendemen UUD 1945 belakangan ini. Salah satu yang paling kuat berhembus adalah pemberlakuan kembali Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang tenar di era Orde Baru.
Tak hanya soal GBHN, MPR juga diwacanakan akan kembali menjadi lembaga tinggi negara melalui wacana amendemen yang belakangan mengemuka. Meski demikian, isu ini tergolong lebih sensitif ketimbang penghidupan GBHN, sehingga tak semua partai satu suara.
Jika sejarah yang menjadi rujukannya, wacana perubahan pada UUD 1945 ini sebenarnya sama sekali bukanlah barang baru. Sebelumnya, konstitusi tersebut pernah mengalami amendemen sebanyak empat kali seiring dengan berhembusnya angin reformasi.
Ada beberapa poin yang lahir dari empat amendemen tersebut. Pembatasan masa jabatan presiden menjadi salah satu poin krusial dari amendemen pertama. Pada amendemen kedua, pasal-pasal detail tentang Hak Asasi Manusia (HAM) masuk sebagai agenda.
Amandemen ketiga meliputi poin-poin penting terkait dengan Pemilu dan juga pemakzulan presiden. Terakhir, pada amendemen keempat, perubahan lebih banyak berlaku untuk perekonomian negara ketimbang agenda politik dan pemerintahan seperti di amendemen-amendemen sebelumnya.
Ekonomi dan Perubahan Konstitusi
Di atas kertas, revisi terhadap konstitusi sebenarnya memang terlihat lebih berhubungan dengan urusan hukum dan juga politik. Meski demikian, pengguliran wacana ini bisa saja juga memiliki dimensi lain yang justru sebenarnya krusial.
Dalam kadar tertentu, perubahan pada konstitusi ini dapat memiliki kaitan dan pengaruh dengan urusan ekonomi. Dalam beberapa kasus, perubahan konstitusi bisa saja memiliki pengaruh pada kebijakan dan juga pertumbuhan ekonomi negara yang melakukannya.
Di luar itu, memandang perubahan konstitusi melalui kacamata ekonomi juga dapat menunjukkan bahwa ada aktor tertentu yang secara ekonomi berharap dapat terpenuhi kepentingannnya. Dalam konteks ini, lazimnya akan ada kelompok kepentingan atau interest group yang mendorong terjadinya perubahan konstitusi.
Peran dari interest group ini digambarkan misalnya oleh Donald J. Boudreaux dan A.C. Pritchard dalam Rewriting the Constitution: An Economic Analysis of the Constitutional Amendment Process.
[SIARAN PERS] Apabila kita melihat secara kritis gagasan membangkitkan GBHN ini, terdapat potensi yg justru mengakibatkan mundurnya begitu banyak capaian sejak reformasi yang sudah berlangsung hingga kini.
Simak lebih lengkap melalui tautan berikut ini.https://t.co/60q0JHt2W1
Boudreaux dan Pritchard menyebutkan bahwa aktor-aktor pemerintahan dan interest group secara rasional memburu kepentingan pribadi mereka layaknya aktor-aktor sektor privat di pasar. Mereka akan memperluas kepentingan pribadi tersebut dengan aturan atau hukum yang menguntungkan kelompok tertentu. Boudreaux dan Pritchard berargumen bahwa interest group berinvestasi dalam aktivitas politik untuk memaksimalkan investasi mereka.
Secara spesifik, kelompok semacam itu bisa saja memiliki bentuk berupa lembaga multilateral. Tim Lindsey misalnya menyoroti peran lembaga-lembaga multilateral seperti IMF, Bank Dunia bagi perubahan peraturan di negara-negara seperti Thailand, Korea Selatan, dan tentu saja Indonesia.
Menelusuri Kelompok Kepentingan
Dalam konteks Indonesia sendiri, amendemen yang lebih dahulu terwujud sebenarnya juga disinyalir terwarnai oleh gagasan dari kelompok kepentingan tertentu. Hal ini terungkap melalui berbagai pengakuan anggota panitia amandemen UUD 1945.
Pada amendemen UUD 1945 tahun 2002, anggota fraksi PDIP Amir Aryoso misalnya, mengeluhkan adanya campur tangan NGO asing dalam proses perubahan konstitusi tersebut. Ada sebuah lembaga asal Amerika Serikat (AS) yaitu National Democratic Institute for International Affairs (NDI) yang disebut-sebut berperan dalam amendemen konstitusi negeri ini.
Dalam pengakuan Amir Aryoso, PAH I BP MPR yang dipimpin oleh Jacob Tobing telah didanai oleh NDI. Tuduhan ini kemudian tentu saja dibantah perwakilan NDI Indonesia. Meski demikian, dugaan soal intervensi lembaga asing dalam amendemen Indonesia kemudian mulai bergulir.
Hal tersebut tentu masih belum termasuk dengan dugaan keterlibatan lembaga-lembaga multilateral seperti IMF. Ada dugaan bahwa amendemen UUD 1945 yang pernah terjadi di Indonesia terkait dengan beragam Letter of Intent dengan IMF. Perubahan peraturan semacam ini terungkap misalnya dalam catatan dari Simon Butt dan Tim Lindsey.
Selain itu, unsur interest group juga dapat berupa dari kepentingan aktor-aktor politik yang ada di sekitar pembahasan wacana amendemen ini. Mereka bisa saja memiliki agenda-agenda tersendiri yang ingin diwujudkan lewat perubahan UUD 1945 nanti.
Meski hal-hal semacam itu bukanlah sesuatu yang bisa dibuktikan secara sempurna, bukan berarti bahwa indikasi adanya gerak-gerik interest group dalam perubahan konstitusi di Indonesia otomatis tidak ada. Seperti yang diungkapkan oleh Boudreaux dan Pritchard, kelompok ini cenderung aktif dalam mendorong penulisan ulang dari konstitusi.
Merujuk pada kondisi tersebut, wacana amendemen yang belakangan kencang berhembus bukan tidak mungkin terwujud jika ada interest group khusus yang mendorongnya. Tentu, terlalu terburu-buru jika peniupan wacana amendemen saat ini adalah ulah dari kelompok semacam itu. Meski demikian, dengan peran penting interest group dalam gambaran Boudreaux dan Pritchard, hal itu bukan tidak mungkin bisa terjadi.
Amendemen UUD 1945 yang belakangan berhembus bisa saja terkait dengan kepentingan kelompok tertentu. Share on XJika melihat agenda yang tengah berhembus, boleh jadi kepentingan dari interest group tersebut berkutat di antara kewenangan presiden. Penguatan kembali MPR dan dimunculkannya kembali GBHN memang kerap diidentikkan dengan pelemahan sistem presidensial di mana MPR sebagai lembaga legislatif kembali tampil perkasa.
Dalam konteks tersebut, boleh jadi ada interest group yang secara ekonomi politik kepentingannya dapat terpenuhi jika sistem presidensial tak lagi sekuat yang diharapkan.
Pada akhirnya, wajar jika ada yang mencium bahwa ada kelompok tertentu yang berusaha agar kepentingannya dapat terpenuhi melalui amendemen UUD 1945. Lalu, seperti apa bola panas amendemen UUD 1945 akan bergulir ke depan? (H33)