Spektrum warna lambang baru PKS tampak ekuivalen dengan lambang salah satu parpol kuat di Turki yang kerap dikatakan memiliki kedekatan ideologis dengan partai besutan Ahmad Syaikhu itu, yakni AKP. Lalu, apakah lambang baru ini akan membawa tuah bagi PKS?
Sebagai representasi visual yang cukup penting, logo atau lambang dari sebuah organisasi, perusahaan, hingga kelompok tertentu kerap mengalami sejumlah perubahan demi sebuah harapan baru dan adaptasi diri di era yang baru pula.
Hal itu yang kiranya menginspirasi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) saat memutuskan untuk mengubah lambangnya. Dalam Musyawarah Nasional (Munas) V partai yang digelar di Bandung pada ahad lalu, PKS meluncurkan lambang baru yang jamak dikatakan lebih segar dan tampak cukup revolusioner dari sebelumnya, dengan didominasi warna jingga.
Selain dari perkara pembaruan lambang, PKS juga mengumumkan line up kepengurusan baru periode 2020-2025. Yang menarik, terdapat nama tokoh muda eks anggota tim pemenangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno di Pilpres 2019 lalu, yakni Gamal Albinsaid.
Seperti yang disampaikan oleh Sekretaris Jenderal (Sekjen) PKS Aboe Bakar, penyusunan kepengurusan teranyar ini dilakukan dengan mengedepankan keterwakilan perempuan serta menampilkan sejumlah wajah baru yang lebih segar.
Lantas pertanyaannya, mengapa perubahan yang tampak cukup signifikan ini dilakukan PKS saat ini? Serta apakah perubahan ini mengindikasikan sebuah fenomena politik tertentu?
Faktor Ahmad Syaikhu?
Sebagai partai beraliran Islam, PKS dinilai memang harus pandai-pandai menempatkan dan mengekspresikan diri di kancah politik tanah air. Hal ini mengingat, meskipun berpredikat negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, partai politik (parpol) berhaluan Islam sepanjang sejarahnya belum pernah ada yang mendominasi pemilu legislatif (Pileg).
Dalam publikasi berjudul Brand New Party, Alex Marland mengatakan bahwa parpol secara periodik memang membutuhkan rebranding atau “pengemasan ulang” dalam rangka meningkatkan citra, reputasi, posisi kompetitif, maupun koneksi emosional dengan para pemilih.
Pada konteks PKS, secara momentum pembaruan yang dilakukan tampaknya sudah cukup tepat. Jika dilihat secara lebih seksama, parpol besutan Ahmad Syaikhu itu mungkin juga menjadi yang pertama dalam melakukan rebranding masif, hingga perkara merombak lambang partai.
Jika berkaca pada apa yang disampaikan Marland, kesesuaian rebranding masif PKS mungkin saja mengacu pada tiga hal. Pertama, sebagai parpol satu-satunya yang tegas menyatakan diri sebagai oposisi, PKS dinilai memang harus selalu mempertahankan relevansinya di mata konstituen dan publik secara umum.
Jika tak dilakukan, bukan tidak mungkin PKS akan tergerus citra dan reputasinya sebagai sebuah parpol – termasuk karena berhaluan Islam – ketika belakangan mulai muncul kelompok penekan non-parpol yang membawa semangat oposan lebih visioner dan diperkuat tokoh-tokoh mentereng seperti Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI).
Paling tidak rebranding “mencolok” akan secara otomatis membuat perhatian tertuju pada PKS yang pada saat bersamaan juga mempromosikan visi dan kepengurusan anyar dengan tokoh-tokoh yang lebih segar, salah satunya Gamal Albinsaid.
Kedua, dalam hal koneksi emosional dengan para pemilih, PKS kemungkinan juga ingin mengubah impresi konservatif ketika tren politik ke depan, yakni di 2024, akan didominasi pemilih yang kerap disebut generasi milenial maupun generasi Z.
Secara historis, parpol berhaluan Islam sendiri tampak cukup langka untuk melakukan perubahan lambang secara radikal. Masyumi, NU, PPP, hingga parpol Islam lain yang eksis kini secara diakronis terpaku pada pakem simbol bulan, bintang, maupun masjid atau Ka’bah dengan latar berwarna primer.
Tak dipungkiri kombinasi warna dan simbol tersebut dinilai mengiringi dan terkonstruksi sebagai konservatisme tersendiri dengan impresi politik yang tak melulu mencitrakan progresivitas.
Perkara itulah yang bisa saja dimaknai serius oleh PKS ketika memutuskan rebranding hingga ke aspek lambang yang dianggap sakral secara radikal. Kesan minimalis plus sepuhan spektrum warna pastel jingga yang catchy, agaknya ingin meninggalkan citra awal yang luwes dan terbuka bagi aspirasi segmen pemilih potensial di 2024.
Ketiga, faktor kepemimpinan baru dinilai juga menjadi variabel yang tak bisa dipisahkan. Ahmad Syaikhu yang kini memimpin PKS, kemungkinan ingin menajamkan reputasi partai yang berbeda dengan partai berhaluan Islam lainnya.
Ya, PKS memang beda, dengan semangat kepemimpinan yang tak bergantung pada ketokohan atau figur. Menurut analis politik Burhanuddin Muhtadi, sejak pembentukannya dan ketika masih bernama Partai Keadilan (PK) pada tahun 1999, parpol ini telah mengedepankan egalitarianisme dan mementingkan kekuatan kolektif.
Semangat inilah yang kemudian dinilai membuat PKS menjadi lebih fleksibel dalam hal kepemimpinan, untuk kemudian mengartikulasikan visi partai dengan relevansi sosial politik kontemporer.
Lantas pada konteks berbeda dan sebagai partai berhaluan Islam, apakah rebranding PKS ini sebenarnya menyiratkan sebuah visi politik yang lebih besar dari sekadar pergantian lambang maupun upaya menghimpun citra?
Tapaki Kesuksesan AKP Turki?
Terdapat sejumlah kajian yang telah dilakukan mengkomparasikan PKS dengan partai penguasa Turki besutan Recep Tayyip Erdoğan saat ini, yakni Adalet ve Kalkınma Partisi (AKP). Latar belakang dalam mengusung konservatisme dan berbasis konstituen menengah Muslim dianggap menjadi benang merah keduanya.
Menariknya, corak warna jingga lambang baru PKS juga kini seirama dengan AKP. Sebuah ihwal yang membuat preseden bahwa PKS mungkin saja memang ingin menapaki kesuksesan AKP di bawah Erdoğan.
Apalagi Turki sendiri menjadi negara yang selalu membawa kabar gembira bagi PKS dalam kontestasi elektoral. Dalam dua laga terakhir Pileg edisi luar negeri, PKS selalu menjadi parpol pemenang di negeri Kemal Atatürk itu.
Kedigdayaan AKP di Turki sendiri awalnya dilatarbelakangi konsistensi berada di jalur konservatisme yang akomodatif, ketika disebut-sebut karakteristik dan visi partai mengacu pada tradisi masa lalu Ottoman Turki dan identitas Islamnya.
Konsistensi ideologis dan kemiripan visi partai itulah kemungkinan menjadi subjek inspiratif dari semakin terlihatnya upaya PKS menyelaraskan diri dengan AKP.
Akan tetapi, satu hal yang wajib diperhatikan PKS jika memang rebranding yang dilakukan benar-benar terinspirasi dari AKP. Seiring berjalannya waktu, AKP dinilai bertransformasi menjadi partai yang sangat pragmatis saat berusaha mempertahankan kekuasaan.
Berna Turam dalam Gulen, Erdogan and democracy in Turkey mengatakan bahwa Turki di bawah kekuasaan AKP belakangan dinilai mengembangkan sikap percaya diri dan otoriter yang semakin meningkat tanpa adanya oposisi yang kuat.
Hal itu kemudian berdampak pada penurunan kepercayaan dan simpati publik serta tercermin dari pemilu lokal yang baru tahun lalu dilangsungkan di sejumlah wilayah di Turki.
Meskipun tendensi yang mengarah pada hal tersebut masih ada di ujung horison bagi PKS, agaknya hal itu tetap dapat menjadi perhatian tersendiri bagi visi komprehensif rebranding partai yang memperoleh 8,21 persen suara di Pileg 2019 lalu itu.
Namun terlepas dari itu semua, rebranding PKS sendiri dinilai mencerminkan sebuah “gejala” politik tersendiri yang terjadi saat ini. Apakah itu?
Nasib Parpol Islam
Pada dimensi berbeda, rebranding PKS terlihat mencerminkan sebuah persoalan tersendiri yang tengah dihadapi parpol berhaluan Islam. Benedict Rogers dalam tulisannya di The Diplomat menyebut bahwa hasil Pilpres 2019 menjadi manifestasi kekalahan dan penolakan terhadap “koalisi Islam” serta politik identitas yang dibangun Prabowo Subianto.
Praktik politik identitas dan populisme Islam sebagai upaya memenangkan kontestasi elektoral lalu itu dikatakan telah begitu disadari oleh publik, sehingga menciptakan barrier atau penghalang bagi kohesivitas masyarakat.
PKS yang notabene ada di koalisi Prabowo dinilai terkena dampak penolakan itu yang bisa saja masih terasa hingga ini. Oleh karenanya, pembaruan yang baru saja dilakukan PKS agaknya menguak sebuah presumsi bahwa partai berhaluan Islam saat ini memiliki kendala dan tantangan yang lebih besar, dibandingkan parpol berhaluan nasionalis.
Sekadar mengganti lambang dan kepengurusan dinilai belum cukup jika memang tujuan dari rebranding PKS ataupun potensi serupa yang akan dilakukan partai berhaluan Islam lain ke depannya merupakan upaya political marketing.
Harus ada upaya konstruktif dari parpol tersebut yang dapat terlihat dan terasa bagi publik dalam menanggalkan konservatisme yang kaku, maupun saklek terhadap strategi politik identitas.
Pendekatan yang lebih moderat, inklusif, menyejukkan, dan konsisten dinilai menjadi kunci jika parpol Islam, termasuk PKS ingin memperoleh kemanfaatan dari ceruk mayoritas penduduk Muslim terbesar dunia.
Lantas, akankah rebranding PKS dapat berjalan mulus sesuai dengan tujuannya? Atau bahkan bisa mengartikulasikan kesuksesan AKP di Turki? Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.