Site icon PinterPolitik.com

Ada Empat Poros di 2024?

Ada Empat Poros di 2024?

Presiden Jokowi bersama para ketua umum partai politik koalisi pemerintah di Istana Kepresidenan Jakarta, Rabu (15/6/2022) jelang perombakan kabinet (Biro Pers Kepresidenan)

Dibutuhkan setidaknya 115 kursi DPR untuk mengusung capres-cawapres di Pilpres 2024. Berdasarkan syarat itu, setidaknya sudah ada empat poros yang dapat mengusung capres-cawapres. Lantas, mungkinkah Pilpres 2024 berisi pertarungan empat pasangan calon (paslon)?


PinterPolitik.com

Pilpres 2019 adalah sebuah pembelajaran besar. Kompetisi yang hanya berisi pasangan calon (paslon) dipercaya membuat masyarakat menjadi terpecah belah. Sampai sekarang residunya bahkan masih terasa kuat. Frasa cebong, kampret, dan kadrun masih menghiasi linimasa.

Namun untungnya, keputusan mengejutkan Prabowo Subianto bergabung ke koalisi pemerintah telah meredam eskalasi konflik. Ini setidaknya dikemukakan oleh Greg Fealy, Sally White, dan Burhanuddin Muhtadi dalam penelitiannya yang berjudul Counter-polarisation and political expediency.

Fealy, White, dan Muhtadi berangkat dari rilis Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada April 2021 yang menunjukkan 11 persen responden merasa Indonesia sangat terpolarisasi, 27 persen cukup terpolarisasi, 33 persen sedikit polarisasi, dan 16 persen lainnya tidak melihat adanya polarisasi.

Kemudian, sebesar 81 persen responden tidak keberatan untuk tinggal di dalam satu lingkungan dengan pendukung capres maupun pendukung partai politik yang berbeda dengan pilihan mereka.

Polarisasi dikatakan hanya menjadi perhatian elite di wilayah perkotaan yang terdiri dari para profesional dan mereka yang memiliki tingkat pendidikan dan pendapatan lebih tinggi.

Menurut Fealy, White, dan Muhtadi, tingginya persepsi Indonesia sangat terpolarisasi adalah buah dari paparan internet. Ini dibuktikan dengan data, di mana 46 persen responden yang menggunakan internet mengatakan Indonesia sangat atau cukup terpolarisasi. Sementara, responden yang tidak menggunakan internet hanya 24 persen yang melihat polarisasi.  

Kendati polarisasi mulai memudar sejak bergabungnya Prabowo ke koalisi pemerintah, agar kondisi Pilpres 2019 tidak terulang, tidak sedikit pihak berharap agar Pilpres 2024 berisi pertarungan lebih dua paslon. 

Lantas, mungkinkah harapan itu terwujud?

Jika melihat situasi politik terbaru, harapan itu mungkin saja terwujud. Berdasarkan Pasal 22 UU Pemilu, syarat partai politik atau gabungan partai politik mengusung capres-cawapres adalah minimal memperoleh 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional pada pemilihan legislatif (pileg) sebelumnya.

Berdasarkan syarat 20 persen kursi DPR atau sebesar 115 kursi, kita dapat membentuk empat poros kekuatan. 

Poros PDIP

Poros pertama adalah PDIP, satu-satunya partai yang dapat mengusung capres-cawapres tanpa harus berkoalisi dengan partai lainnya. PDIP memperoleh 128 kursi DPR. Terkait calon yang diusung, nama Ketua DPP PDIP sekaligus Ketua DPR Puan Maharani adalah yang terdepan. Untuk saat ini, PDIP masih mengusahakan Puan menjadi capres. 

Namun, seperti yang pernah disebutkan Direktur Eksekutif Voxpoll Center Research and Consulting Pangi Syarwi Chaniago, PDIP adalah partai rasional yang melihat dan membaca realitas politik secara objektif. Jika dinilai kurang potensial untuk menang, Puan kemungkinan ditempatkan sebagai cawapres.

Ketua Bappilu PDIP Bambang “Pacul” Wuryanto juga pernah menyebutkan soal rumus “teh botol sosro”. Siapa pun presidennya, wakil presidennya adalah Puan Maharani. 

Dennis Chong dalam tulisannya “Degrees of Rationality in Politics” di buku The Oxford Handbook of Political Psychology, menyebut keputusan itu sebagai kalkulasi rasional. 

Mengacu pada rational choice theory, politisi akan membuat kalkulasi berdasarkan data dan informasi yang dimilikinya untuk mengambilkan kebijakan yang dinilai paling menguntungkan atau paling kecil kerugiannya.

Dengan PDIP yang begitu berambisi mengusung Puan di Pilpres 2024, potensi kekalahan sekiranya lebih kecil dengan menempatkan Puan sebagai cawapres daripada capres. Pekerjaan rumah PDIP selanjutnya adalah mencari capres yang dapat mengerek keterpilihan Puan Maharani.

Sejauh ini, ada dua nama yang beredar sebagai capres PDIP, yakni Panglima TNI Andika Perkasa dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.

Poros Gerindra-PKB

Poros kedua adalah Partai Gerindra dan PKB yang membentuk koalisi bernama Kebangkitan Indonesia Raya. Poros ini memiliki 136 kursi. Partai Gerindra memperoleh 78 kursi dan PKB memperoleh 58 kursi. Untuk paslon yang diusung, sejauh ini ada dua pilihan. Jika bukan Prabowo Subianto-Muhaimin Iskandar (Cak Imin), maka yang dipilih adalah Prabowo Subianto-Khofifah Indar Parawansa.

Terkait kenapa Gerindra memilih PKB, alasannya telah dijabarkan dalam artikel PinterPolitik yang berjudul Bukan PKS, Kenapa PKB Pilih Gerindra?. Sedikit mengulang, berkoalisi dengan PKB akan menambal kelemahan Gerindra. Berdasarkan survei Charta Politika yang dirilis Juli 2022, Prabowo terpantau unggul di Jawa Barat, namun tertinggal di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Mengacu pada basis massa PKB yang berpusat di Jawa Timur, koalisi Gerindra-PKB diprediksi akan menyerap dukungan dari Jawa Barat dan Jawa Timur. Dua provinsi ini adalah provinsi dengan penduduk terbanyak di Indonesia.

Kemudian, ini yang terpenting, koalisi dengan PKB dapat meningkatkan keterpilihan Prabowo dari kalangan warga Nahdlatul Ulama (NU).

Lalu, terkait potensi paslon, apakah sebaiknya Prabowo-Cak Imin atau Prabowo-Khofifah?

Jika dihadapkan antara Cak Imin atau Khofifah, mungkin kalkulasinya akan mengarah pada Khofifah. Seperti yang diketahui, Cak Imin terlibat ketegangan dengan keluarga Gus Dur dan PBNU. Ketua DPW PAN Jawa Timur Ahmad Rizki Sadig juga menilai Khofifah sukses memimpin Muslimat NU, organisasi perempuan terbesar di Indonesia. 

Kembali mengutip rational choice theory, untuk memaksimalkan dukungan dari warga NU, sang Gubernur Jawa Timur mungkin yang akan dipilih.

Poros KIB

Poros ketiga adalah Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) yang memiliki 148 kursi. PPP memperoleh 19 kursi, Partai Golkar memperoleh 85 kursi, dan PAN memperoleh 44 kursi. Terkait nama yang diusung, koalisi ini belum memperlihatkan diri mengerucutkan nama.

Kemudian, koalisi ini juga ditempa isu-isu minor, seperti koalisi akan bubar, hingga adanya isu KIB hanyalah sekoci Ganjar Pranowo untuk maju di Pilpres 2024. 

Well, terlepas dari isu-isu minor yang ada, jika diminta menyebut nama, yang pasti Airlangga Hartarto akan berusaha diusung sebagai capres. Untuk mendampingi Airlangga, ada empat nama yang dapat dimunculkan.

Pertama, ada nama Menteri BUMN Erick Thohir. Berhubung biaya kampanye pilpres begitu besar, diperkirakan setidaknya mencapai Rp7 triliun, kekuatan kapital Erick adalah daya tarik yang menggiurkan. 

Dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) pada 31 Maret 2022, kekayaan Erick mencapai Rp2,3 triliun. Itu belum termasuk jaringan bisnis Erick, yang mana itu dapat membuatnya mencari banyak sponsor jika benar-benar maju di Pilpres 2024.

Kedua, ada nama Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Jika Ganjar sangat berambisi maju, tetapi pintunya ditutup PDIP, KIB dapat menjadi sekoci. Popularitas dan elektabilitas Ganjar yang tinggi dapat memberikan efek ekor jas (coattail effect).

Jika sangat berpotensi memberikan efek ekor jas, Ganjar dapat mengulang kisah sukses Joko Widodo (Jokowi) di Pilpres 2014.

Burhanuddin Muhtadi dalam bukunya Populisme, Politik Identitas, dan Dinamika Elektoral: Mengurai Jalan Panjang Demokrasi Prosedural, menyebut keputusan Megawati mengusung Jokowi sebagai capres pada 14 Maret 2014 telah mendongkrak keterpilihan PDIP di Pileg 2014 yang diselenggarakan pada 9 April 2014.

Seperti yang terlihat pada diagram di atas, sejak Oktober 2013 elektabilitas Jokowi selalu lebih besar dari daya tarik PDIP. Menurut Burhanuddin, saat itu PDIP mengalami penurunan elektabilitas. 

Berdasarkan survei Indikator Politik Indonesia pada 28 Februari-10 Maret 2014, elektabilitas PDIP yang semula hanya 16,6 persen melejit menjadi 24,5 persen setelah penetapan Jokowi sebagai capres.

Ketiga, ada nama Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil (RK). Sama dengan Ganjar, RK juga memiliki popularitas, khususnya daya tarik dari kalangan pemilih muda. RK dapat memberikan contrast effect (efek pembeda) karena sosoknya dipercaya dapat menjawab kebutuhan atas pemimpin cerdas, muda, dan penuh inovasi.

Keempat, ada nama Menparekraf Sandiaga Uno. Selain terlihat akrab dengan PPP belakangan ini, Sandi juga menyatakan kesiapannya maju di 2024 dalam acara PPP di Yogyakarta. Secara modal politik, Sandi dapat dikatakan cukup lengkap. Ia memiliki popularitas, elektabilitas, kapital, dan relawan sejak Pilgub DKI Jakarta 2017.

Sama dengan RK, Sandi juga dapat menghadirkan persepsi pemimpin muda yang cerdas dan penuh inovasi. Mengembalikannya pada rational choice theory, sama dengan kasus Puan, jika Airlangga dinilai tidak potensial sebagai capres, KIB mungkin akan mengusung Ganjar-Sandi, Ganjar-RK, Sandi-RK, Sandi-Ganjar, atau RK-Sandi.

Poros NasDem-Demokrat-PKS

Poros keempat adalah koalisi Partai NasDem, Partai Demokrat, dan PKS yang memiliki 163 kursi. Partai NasDem memperoleh 59 kursi, Partai Demokrat 54 kursi, dan PKS 50 kursi. Jika benar-benar terbentuk, koalisi ini menjadi yang terbesar dan berpotensi menggeser dominasi PDIP di Pilpres 2024.

Koalisi ini sangat menarik karena berisi tiga king maker, yakni Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Jusuf Kalla (JK), dan Surya Paloh. Bahkan, beberapa pihak melihat turun gunungnya SBY di Pilpres 2024 tengah membuat PDIP gusar hingga panik.

Terkait paslon yang diusung, saat ini mulai mengerucut pada Anies Baswedan sebagai capres dan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai cawapres. Terkait Anies, ini tentu soal popularitas dan elektabilitasnya yang tinggi. Banyak pihak juga menyebut JK sangat berambisi mendorong Anies menjadi capres.

Sementara AHY, penempatannya sebagai cawapres memiliki dua makna. Pertama, itu mungkin adalah syarat dari Demokrat agar bersedia gabung koalisi. Kedua, itu adalah kalkulasi rasional karena popularitas dan elektabilitas AHY masih dinilai rendah. Lagi-lagi, ini mengacu pada rational choice theory.

Refleksi

Sebagai penutup, jika peta poros koalisi tidak berubah, pertarungan antara poros PDIP dan NasDem-Demokrat-PKS sepertinya adalah yang paling sengit. Kita akan melihat pertarungan antara Megawati melawan trio SBY-JK-Surya Paloh. 

Namun, seperti yang disebutkan berbagai elite PDIP, partainya tidak mungkin akan maju sendirian di Pilpres 2024. Kendati dapat mengusung calon sendiri, mereka akan tetap menggandeng partai lain. 

Jika PKB, Golkar, atau NasDem memilih bergabung dengan PDIP, keinginan partai banteng agar Pilpres 2024 hanya berisi dua paslon sepertinya akan terwujud. Kita lihat saja kelanjutannya. (R53)

Exit mobile version