Sejumlah alutsista asal Prancis akan memperkuat TNI dalam beberapa tahun ke depan, termasuk jet tempur canggih Rafale. Namun, mengapa Prancis yang seolah diimpresikan sebagai “pemasok prominen” oleh Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto? Mungkinkah ada kesepakatan atau latar belakang khusus di baliknya?
Persekutuan pertahanan di antara Indonesia dan Prancis tampaknya semakin mesra. Terbaru, kapal induk amfibi Dixmude (L9105) dan kapal fregat kelas La Fayette (F710) merapat di Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta sejak 25 Maret kemarin.
Kehadiran dua kapal elite Angkatan Laut (AL) Prancis itu adalah bagian dari misi bertajuk “Jeanne D’Arc 2023” yang akan berlayar melintasi kawasan Indo-Pasifik. Jakarta sendiri terpilih sebagai salah satu titik yang disinggahi Prancis, di antara Singapura dan Townsville, Australia.
Jika dilihat secara kasat mata, kunjungan AL Prancis itu mungkin hanya lawatan biasa seperti yang pernah juga dilakukan pada tahun 2018.
Akan tetapi, jika merajut berbagai variabel serta relasi militer dan pertahanan Prancis dan Indonesia dalam beberapa waktu ke belakang, kunjungan Marine Nationale ke Jakarta kiranya memiliki makna tertentu.
Ya, sejak Prabowo Subianto mengampu jabatan Menteri Pertahanan (Menhan), relasi pertahanan dengan Prancis tampak meningkat dengan pesat.
Pertama kali, Prabowo bertandang ke Paris pada Januari 2020 dan bertemu dengan Menteri Angkatan Bersenjata Nasional Republik Prancis (setara Menhan) saat itu Florence Parly.
Dalam pertemuan komprehensif bersama sejumlah delegasi terkait saat itu, Prabowo mengajak industri pertahanan Prancis berkolaborasi dan membantu mengakselerasi industri pertahanan Indonesia.
Setelah proses pendekatan di balik layar, pada Juni 2021 Prabowo dan Parly melakukan prosesi krusial dengan menandatangani perjanjian kerjasama di bidang pertahanan atau Defence Cooperation Agreement (DCA).
Setelahnya, Prabowo menjamu Parly pada Februari 2022 dan menyaksikan penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) plus satu kesepakatan monumental, yakni kontrak pembelian 42 pesawat tempur Dassault Rafale.
Tak hanya itu, MoU terkait pengadaan berbagai alutsista lain juga disepakati bersamaan dengan rencana kerjasama di bidang pendidikan dan pelatihan militer lintas matra kedua negara.
Sébastien Lecornu yang menggantikan Parly pun tak mengendurkan hubungan Prancis dan Indonesia. Ihwal yang ditunjukkannya melalui kunjungan ke kantor Kementerian Pertahanan RI pada November 2022.
Pada Desember 2022, Prabowo pun telah menerima pesawat angkut VIP produksi Dassault, yakni Falcon 7X dan 8X yang disebut merupakan “paket” pembelian Rafale.
Kedekatan Indonesia dan Prancis kemudian tampak menarik untuk ditelisik lebih dalam, mulai dari pertanyaan mengapa Prancis yang dipilih dan menyambut baik Prabowo? Hingga pertanyaan seputar format pertahanan apa yang dapat terjadi dari relasi kedua negara, terutama di kawasan Asia-Pasifik?
Semua Karena AS?
Memilih Prancis kiranya memang pilihan paling logis bagi Prabowo. Satu determinan yang kiranya mendasari hal itu adalah sanksi belanja senjata dan alutsista Amerika Serikat (AS) dalam bingkai Countering America’s Adversaries Through Sanctions Act (CAATSA).
Sebagai informasi, CAATSA mengatur sanksi bagi negara yang melakukan pembelian senjata dan alutsista kepada Rusia, Iran, dan Korea Utara.
Selain anggaran atau budget, selama ini CAATSA seakan menjadi pertimbangan utama bagi Indonesia dan banyak negara lain saat berupaya memperkuat postur pertahanannya.
Bayang sanksi itu juga yang ditengarai mengurungkan rencana Indonesia membeli jet tempur Sukhoi Su-35 asal Rusia pada 2021 lalu.
Sebagai negara produsen alutsista terbesar dunia, AS seakan memiliki pengaruh kepada siapa sebuah negara memiliki kecondongan belanja pertahanan, termasuk probabilitas kepentingan menguasai pasar.
Namun, jika diperhatikan lebih saksama, AS tampaknya membiarkan negara konsumen alutsista tak sepenuhnya bergantung pada produk pertahanan miliknya.
Lalu pertanyaannya, mengapa ada kesan pembiaran itu?
Jean Belin, Keith Hartley, Sophie Lefeez dan kawan-kawan dalam publikasi berjudul Defence Industrial Links Between The EU and The US menyiratkan skema perdagangan senjata global bermula saat AS sebagai pemimpin sekutu memenangkan Perang Dunia II.
Keunggulan industri pertahanan dibandingkan negara manapun saat itu membuat AS seakan mampu mengendalikan postur pertahanan dan pasar senjata serta alutsista sebuah negara secara politik.
Mulai dari hibah senjata dan alutsista sebagai paket bantuan pasca perang, transfer teknologi dengan syarat kompleks, pembelian alutsista dengan syarat dan izin penggunaan, hingga sanksi dalam regulasi semacam CAATSA.
Belin, Hartley, Lefeez dan kawan-kawan pun menyebut Prancis masih di bawah “kendali” AS itu hingga saat ini.
Menariknya, dengan industri pertahanan yang cukup maju, Prancis seakan diberikan keleluasaan untuk menjadi alternatif suatu negara jika pengadaan alutsista kepada AS mandek.
Pembelian jet tempur Rafale, misalnya, selain menjadi alternatif Su-35, percepatan transaksi disebut-sebut sebagai buntut belum tercapainya titik temu pembelian jet tempur F-15 EX buatan AS.
Cerita serupa juga datang dari Uni Emirat Arab (UEA). Alasan mereka memborong Rafale dikatakan akibat kemandekan pembelian jet tempur F-35 dari AS.
Dalam prosesnya, AS dikatakan tak ingin teknologinya “dicuri” oleh Rusia via UEA. Sementara UEA pun tak ingin memperkeruh suasana dengan beralih ke Rusia. Pada akhirnya, Prancis lah yang jadi solusi penyedia alutsista terbaik.
Dalam dunia bisnis, praktik tersebut memiliki istilah piggyback strategy atau strategi tunggang-menunggang.
Richard P. Nielsen dalam tulisannya Piggybacking Strategies for Nonprofits: A Shared Costs Approach, menjelaskan piggyback strategy adalah strategi pemasaran di mana dua entitas berkolaborasi dan memasarkan produknya masing-masing, di suatu pasar yang kompetitif, daripada bersaing satu sama lain.
Dalam strategi ini, terdapat dua peran, yaitu peran penunggang (rider), dan peran pengangkut (carrier), yang ujung-ujungnya memiliki hubungan saling menguntungkan.
Di titik ini, AS tampaknya “menggunakan” Prancis sebagai salah satu aktor dalam strategi tersebut atas beberapa alasan.
Pertama, seperti kasus UEA, AS tentu tak ingin teknologinya jatuh ke tangan yang salah atau justru alutsista terbaiknya diakuisisi lebih masif oleh negara lain.
Kedua, sebagai pemain utama industri pertahanan dunia yang alutsista serta kebutuhan suku cadangnya cukup banyak digunakan, AS kiranya memiliki kendali untuk kapan mengambil keuntungan finansial, politik, maupun keduanya. Tampaknya, terdapat faktor ini di balik kemandekan pembelian F-15 EX oleh Indonesia.
Ketiga, manajemen impresi kiranya dibutuhkan AS agar tak terkesan memonopoli keuntungan politik dan finansial, serta mencegah tensi di internal sekutu Barat.
Keempat, tetap eksisnya kendali tak langsung. Ya, alternatif yang disediakan oleh sekutu seperti Prancis kemungkinan tetap akan mengakomodasi pengaruh politik AS di negara pembeli alutsista tersebut.
Lalu, apa yang dapat dimaknai dari pola transaksi alutsista bernuansa pengaruh politik itu dalam relasi Prabowo-Prancis?
Simbiosis Tepat?
Faktor dipilihnya Prancis sebagai mitra pertahanan yang sejauh ini paling strategis kiranya berlandaskan kalkulasi khusus Menhan Prabowo.
Selain memang menjadi kebutuhan Indonesia untuk memperkuat pertahanan dan akibat faktor politik yang dijelaskan di bagian sebelumnya, “kapabilitas dan kepentingan” Prancis terhadap pertahanan Indonesia pun tampak relevan.
Prancis diketahui mampu memproduksi alutsista secara komprehensif, mulai dari senjata, radar, artileri, pesawat terbang, kendaraan tempur, kapal selam, beserta amunisi dan suku cadangnya.
Reputasi alutsistanya pun telah teruji secara global dengan misi operasi militer dan non-militer yang masih berlangsung sampai saat ini di berbagai negara.
Status Prancis dalam perpolitikan dunia sebagai nuclear power atau negara dengan kemampuan nuklir, plus anggota tetap Dewan Keamanan PBB juga menjadi salah satu daya tarik khusus yang kemungkinan dilihat Prabowo.
Dalam sejumlah publikasi, Prancis juga dikenal lebih luwes dalam mengekspor alutsista sebagaimana disiratkan Harrison Stetler dalam France’s Weapons Industry Is Growing Rich off Dictatorships.
Itu yang juga terjadi dalam riwayat transaksi pembelian alutsista Indonesia ke Prancis selama ini yang cenderung stabil.
Lalu, jika muncul pertanyaan mengapa tidak menjadikan alutsista Tiongkok yang sedang berkembang pesat? Jawabannya tentu mengacu pada sejumlah faktor seperti pengalaman tempur alutsista, serta riwayat tensi dengan Indonesia di Natuna.
Lebih dalam, alasan itu telah dijelaskan di bagian “Tiongkok Sebenarnya Lemah?” dalam artikel PinterPolitik sebelumnya yang berjudul Garuda Shield, Ajang “Mempermalukan” Tiongkok?.
Lantas bagi Prancis, menjadikan Indonesia sebagai mitra strategis baru yang berbasis transaksi alutsista agaknya juga cukup menguntungkan.
Secara geopolitik, Prancis tampak akan dibuat lebih “tenang” dengan keberadaan mitra anyar mengingat kepemilikan beberapa teritori di Pasifik, wilayah di timur Indonesia.
Kembali, “restu” AS atas kehadiran Prancis di percaturan penyedia alutsista negara-negara Asia-Pasifik kiranya juga menjadi bagian dari memperkuat kehadiran Barat di kawasan tersebut disamping pakta pertahanan AUKUS.
Namun, terdapat beberapa catatan yang patut menjadi perhatian di balik relasi Prabowo-Prancis maupun pengadaan alutsista asal negara lainnya.
Pertama, perihal apakah mekanisme pembayaran alutsista yang dibeli secara masif itu sudah cukup ideal dan tak “berbahaya” bagi Indonesia di masa depan.
Kedua, apakah sinkronisasi maupun jaminan ketersediaan suku cadang dan amunisi setiap alutsista oleh setiap matra TNI pengguna alutsista lama dan baru mampu dilakukan.
Ketiga, sejauh mana transfer teknologi yang didapatkan Indonesia atas berbagai transaksi alutsista yang telah dilakukan.
Lalu, bagaimana kelanjutan dan realisasi saga transaksi alutsista di bawah Menhan Prabowo? Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)