Site icon PinterPolitik.com

Ada Apa dengan PKI dan Gatot?

Mantan Panglima TNI Jenderal (Purn.) Gatot Nurmantyo. (Foto: Istimewa)

Mantan Panglima TNI Jenderal (Purn.) Gatot Nurmantyo. (Foto: Istimewa)

Mantan Panglima TNI Jenderal (Purn.) Gatot Nurmantyo menyebut institusi Tentara Nasional Indonesia (TNI) telah disusupi ideologi komunisme. Apa sebenarnya kepentingan dan tujuan Gatot dibalik pernyataannya tersebut?


PinterPolitik.com

Seperti sudah menjadi agenda tahunan, isu seputar Partai Komunis Indonesia (PKI) selalu bangkit dari kuburnya setiap tanggal 30 September. Terbaru, publik dikejutkan dengan pernyataan mantan Panglima TNI Jenderal (Purn.) Gatot Nurmantyo yang menyebut institusi Tentara Nasional Indonesia (TNI) telah disusupi ideologi komunisme. Klaim itu didasarkan pada hilangnya patung diorama sejumlah tokoh G30S/PKI di Museum Darma Bhakti Kostrad.

Tudingan itu mendapat reaksi keras dari petinggi militer, Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) Letjen Dudung Abdurachman memaparkan bahwa apa yang diungkap seniornya tersebut tak lebih dari sebuah tuduhan yang keji. Terkait hal ini, pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studios (ISESS), Khairul Fahmi, menilai ada unsur kepentingan politik dalam pernyataan yang dilontarkan mantan Panglima TNI tersebut.

Fahmi menilai Gatot sengaja konsisten mengangkat isu ini setiap mendekati peringatan peristiwa 30 September 1965 atau G30S untuk menjaga popularitasnya. Hal ini dikarenakan isu tersebut dinilai masih sangat menarik bagi sebagian masyarakat, terutama kelompok-kelompok Islam maupun kelompok-kelompok yang terasosiasi dengan militer.

Lalu, jika benar demikian, seberapa efektifkah isu ini? Apa sebenarnya kepentingan dan tujuan Gatot dibalik isu tersebut?

Manfaatkan Momentum?

John McBeth dalam tulisannya Military Ambitions Shake Indonesia’s Politics memberikan penjelasan penting. Menurutnya, Gatot adalah satu-satunya Panglima TNI setelah Reformasi yang secara terang-terangan menunjukkan ambisi politiknya saat masih menjabat. Secara spesifik, McBeth juga menyebut Gatot secara terbuka mendekati kelompok-kelompok agama dengan harapan meningkatkan keterpilihannya.

Dalam tulisannya, McBeth melampirkan pernyataan dari analis militer Barat terkait Gatot yang tampaknya menjadi jawaban mengapa Gatot kerap memainkan isu tentang Partai Komunis Indonesia (PKI). “Dia tidak memiliki karisma personal dan kecerdasan politik yang besar,” tulis McBeth.

Terkait hal ini Susan Baer dalam PowellThe Political General His Political Acumen Is Viewed as Both A Plus and A Minus menyebut bahwa eks-anggota militer yang bergelut dalam politik harus memiliki political acumen (kecerdasan politik) untuk menempatkan diri secara proporsional dan membaca situasi politik secara luas dan komprehensif.

Kecerdasan politik dalam membaca tendensi kejenuhan akan isu komunisme dan kebangkitan PKI tentu harus diperhatikan oleh Gatot. Terlebih, isu semacam ini jamak dianggap menjadi template isu tahunan dan jamak dinilai sebagai bumbu politik belaka. Apalagi, momentum Gatot melempar isu tersebut berdekatan dengan tanggal 30 September yang menjadi hari peringatan pemberontakan PKI, sehingga mudah saja dari berbagai pihak untuk menyebutkan Gatot hanya memanfaatkan momen ini.

Jika analisis tersebut tepat, maka mudah memahami mengapa Gatot kerap memainkan isu PKI. Itu karena Gatot tidak memiliki kecakapan dalam memainkan dan membuat narasi. Oleh karenanya, menjadi taktik yang mudah untuk memilih guna memainkan isu yang telah ada dan mudah mendapat atensi publik, yakni isu PKI.

Terkait hal ini, dalam manajemen isu, terdapat dua kategori. Pertama, menciptakan isu baru untuk dimainkan. Kedua, mengkapitalisasi isu yang telah ada untuk dimainkan. Terkhusus yang kedua, ini disebut sebagai pengelolaan isu organik.

Baca Juga: Apa yang Terjadi Bila PKI Berkuasa?

Dalam isu PKI yang akhir-akhir ini kembali menjadi headline pemberitaan dan top of mind masyarakat, Gatot tampaknya mendapatkan durian runtuh karena ia memiliki kesempatan emas untuk memainkan isu organik ini untuk mendapat atensi politik. Meski begitu, taktik Gatot ini pun perlu diuji kembali.

Apa iya dengan mengangkat isu Gatot juga akan menjadi top of mind di masyarakat? Atau, mungkin, Gatot memiliki siasat lain di balik pengangkatan isu PKI ini?

Isu PKI, Efektif?

Isu PKI sebenarnya bukan baru kali ini saja disinggung Gatot. Berdasarkan catatan pemberitaan, mantan Panglima TNI tersebut sudah membahas persoalan PKI sejak 2016.

Peter Hays Gries dalam Does Ideology Matter? menyebut bahwa ideologi inheren yang tertanam, baik secara langsung maupun tidak langsung, di suatu negara tetap merupakan penggerak dan pemersatu sikap masyarakat yang kuat.

Survei yang dilakukan Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) terhadap 2.858 responden menyatakan sebanyak 12.6 persen masyarakat percaya akan isu kebangkitan PKI. Sisanya, 86,8 persen mengatakan tidak percaya dan 0,6 persen tidak tahu atau tidak menjawab.

Lebih lanjut, walaupun dalam survei tersebut terbukti saat ini masyarakat mayoritas sudah tidak percaya dengan isu PKI, SMRC menjelaskan isu ini dinilai masih konsisten mendapat tempat di berbagai kalangan – di antaranya kalangan pemilih yang terafiliasi dengan militer dan kelompok Islam. Menariknya, dua kalangan tersebut seperti yang diungkap ISEES dianggap merupakan segmentasi pemilih utama Gatot.

Dalam konteks ini, bisa jadi tujuan yang ingin direngkuh Gatot di balik isu PKI berada dalam dimensi survival atau keberlangsungan politik ia sendiri. Seperti yang diketahui sebagai salah satu sosok mantan petinggi militer yang dianggap secara terang-terangan menunjukkan ambisi politiknya, belakangan nama Gatot ini sendiri menghilang dari pemberitaan hal ini beriringan pula dengan terdepaknya mantan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) itu dari bursa calon presiden (capres) 2024.

Mengacu pada hal tersebut dan jika dilihat dengan saksama, meredupnya Gatot juga karena Ia tidak memiliki wadah politik yang benar-benar relevan, yakni sokongan partai politik (parpol). Manuver terakhir Gatot sendiri yang cukup mencolok ialah saat menolak menghadiri penyematan Bintang Mahaputera Adipradana pada November 2020 lalu. Setelah itu, praktis tak ada langkah berarti dan justru sikap politiknya nyaris tak terdengar hingga saat ini.

Terkait hal ini, peneliti politik dari University of Essex, Britania Raya (Inggris), Roi Zur menyebutkan istilah distinguished ideological position yang mana ihwal ini cukup penting bagi kesuksesan aktor politik secara elektoral serta juga merupakan bentuk survival atau mempertahankan eksistensi aktor politik dalam perpolitikan karena secara khusus merepresentasikan segmen tertentu dengan jelas.

Sejauh ini, tampaknya posisi ideologi semacam itulah yang mungkin dianut Gatot di balik sokongannya terhadap isu PKI. Hal ini selaras dengan argumen Ioannis Kolovos dan Phil Harris dalam Political Marketing and Political Communication, bahwa dalam mencapai tujuan elektoral maupun signifikansi politik, terus mempertahankan relevansi atau engagement dengan publik menjadi hal yang penting – utamanya dalam menyelaraskan opini publik yang tengah berkembang dengan visi sang aktor maupun kelompoknya.

Baca Juga: Di Balik Gatot dan Poros Serpong

Di sinilah mungkin kita mendapatkan jawabannya, isu PKI seperti yang dikatakan di atas dianggap masih sangat relevan bagi beberapa kalangan khususnya segmentasi pemilih yang dekat dengan Gatot. Maka dari itu, menjadi penting baginya untuk terus mempertahankan relevansi dan menyelaraskan opini dengan pendukungnya tersebut untuk terus menjaga eksistensi.

Sudut pandang itu yang mungkin membuat Gatot merasa perlu untuk kembali mengungkit isu ideologis seperti komunisme ke dalam tatanan politik kontemporer tanah air untuk kesekian kalinya.

Jika benar demikian, maka langkah yang dilakukan Gatot dinilai  tepat. Di sini, mantan Panglima TNI tersebut justru pandai memainkan momentum dan menjaga eksistensinya di balik isu PKI ini – sekaligus mematahkan asumsi McBeth bahwa dia tidak memiliki kecerdasan dalam membangun narasi politik. Lantas, apa sebenarnya kepentingan dan tujuan Gatot di balik isu tersebut?

Menyasar Jokowi?

Selain untuk mempertahankan eksistensi politik, manuver Gatot yang kembali memainkan narasi PKI ini juga bisa dimaknai lain. Bisa jadi, dalam kasus terbaru ini institusi TNI yang dituduh mantan Panglima TNI tersebut telah disusupi PKI hanyalah sasaran antara – secara tidak langsung Gatot mungkin ingin menyerang Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Hal ini menjadi masuk akal karena beberapa faktor, pertama, secara positioning, selama ini Gatot merepresentasikan dirinya sebagai oposisi pemerintah. Manuver politik Gatot yang cukup mencolok bersama Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) dianggap semakin menegaskan posisi mantan Panglima TNI tersebut berseberangan dengan pemerintah.

Kedua, salah satu politisi yang dianggap menjadi sasaran utama dari maraknya isu PKI yang selama ini beredar adalah Presiden Jokowi. Dalam konteks yang lebih luas, isu PKI merupakan bagian dari kampanye yang masif tercatat sejak 2014 lalu. Pada saat itu, seperti yang diketahui, isu ini dimunculkan oleh orang-orang yang punya tendensi politik berseberangan dengan Jokowi.

Terkait hal ini survei SMRC menunjukkan ada 5,1 persen responden percaya bahwa Jokowi adalah PKI. Bahkan, secara angka, diprediksi ada 9 juta warga Indonesia yang percaya bahwa mantan Wali Kota Solo tersebut adalah PKI.

Dari kedua alasan tersebut, sah-sah saja kita menilai bahwa TNI hanya merupakan sasaran antara Gatot dalam manuvernya yang kembali mengangkat isu PKI. Karena dilihat dari situasi dan kalkulasi politik, rentan bagi mantan Panglima TNI tersebut untuk menyerang langsung Presiden Jokowi dalam isu ini.

Langkah Gatot tersebut dapat kita pahami melalui politik catur. Saat ini, permainan catur telah dijadikan metafora untuk memahami situasi dan strategi politik. Hugh Patterson dalam tulisannya The Politics of Chess menyebutkan, baik dalam catur ataupun politik, menghindari serangan yang prematur adalah taktik yang penting untuk meminimalisir risiko kekalahan. Artinya, suatu pergerakan harus dilakukan dengan cermat.

Pada akhirnya, pemaparan-pemaparan di atas menunjukkan bahwa sulit untuk tak menilai bahwa ada unsur kepentingan politik dibalik pernyataan mantan Panglima TNI tersebut tentang isu PKI. Namun, terlepas dari semua pro-kontra dibalik itu, bagi Gatot, tampaknya bulan September memang masih menjadi momentum yang tepat untuk melakukan manuver politik. (A72)

Baca Juga: Kudeta Demokrat Untungkan Gatot?

Exit mobile version