HomeNalar PolitikAda Apa dengan Pertamina?

Ada Apa dengan Pertamina?

PT Pertamina akhir-akhir ini dilanda polemik panas. Mulai dari pernyataan Komisaris Utama (Komut) Pertamina, Basuki Tjahaja Purnama terkait sejumlah kontrak yang merugikan, sampai aksi mogok kerja dan tuntutan pemecatan Direktur Utama (Dirut), Nicke Widyawati. Ada apa sebenarnya dengan Pertamina? 


PinterPolitik.com 

Pada awal Desember ini, Komisaris Utama (Komut) Pertamina, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok mengungkapkan kepada publik bahwa terdapat sejumlah kontrak BUMN yang merugikan, dan bahkan justru menguntungkan pihak lain. Tak terkecuali sejumlah kontrak yang menyangkut Pertamina. 

 
Pernyataan ini memancing respons Menteri BUMN, Erick Thohir, yang mengatakan bahwa apa yang disampaikan Ahok sesungguhnya sudah disampaikan oleh Erick sendiri pada tahun 2020, terkait perlunya perbaikan lima fondasi BUMN yakni perbaikan korporasi dan pelayanan publik, fokus bisnis inti, inovasi berbasis digitalisasi, proses bisnis yang baik, dan transformasi sumber daya manusia. 

Erick pun meminta Ahok untuk meninjau kontrak-kontrak merugikan yang ada di Pertamina. Ia juga tak menjelaskan lebih lanjut apakah pihaknya sudah mengetahui secara persis kontrak-kontrak mana saja yang merugikan ini.  

Tidak berhenti di situ, pada akhir Desember 2021 ini, Pertamina juga diguncang dengan munculnya aksi dari Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB), yang berencana melakukan mogok kerja bersama pada 29 Desember 2021 sampai 7 Januari 2022. Gerakan ini muncul setelah ada wacana bahwa Pertamina akan memotong gaji karyawan, kecuali Direksi dan Komisaris. 

Kepala Bidang Media FSPPB, Marcellus Hakeng Jayawibawa mengatakan pihaknya juga mendorong Erick untuk memecat Direktur Utama (Dirut) Pertamina, Nicke Widyawati karena dinilai gagal membangun hubungan kerja yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan. 

Melihat semua hiruk pikuk ini, wajar bila kemudian timbul pertanyaan, sebenarnya ada masalah apa di dalam Pertamina? 

Baca juga: Ahok Jadi Hotline Pertamina?

Dilema Ekonomi dan Kesejahteraan? 

Untuk mendapatkan gambaran jelas tentang apa yang sesungguhnya terjadi di dalam Pertamina, kita perlu menarik garis ke akar-akar permasalahannya. Salah satunya adalah benturan antara kebijakan publik dan kepentingan finansial. 

Kalau kita melihat kembali ke awal Joko Widodo (Jokowi) menjabat sebagai Presiden pada periode 2014-2019, ia menggembar-gemborkan kebijakan energi yang sering dianggap publik sebagai terobosan revolusioner, yaitu program bahan bakar minyak (BBM) satu harga. 

Pada dasarnya, program ini bertujuan untuk menyamakan harga BBM di wilayah terluar, terdepan dan tertinggal (3T) Indonesia, dengan harga yang diterapkan di Pulau Jawa. 

Namun, kebijakan satu harga ini menimbulkan permasalahan keuangan, karena untuk menyelaraskan harga, pemerintah dan Pertamina mau tidak mau harus merogoh kocek lebih dalam. Untuk tahun ini saja, per November 2021, realisasi subsidi energi pemerintah tercatat mencapai Rp 102,5 triliun, naik 15,7% dari Rp 88,6 triliun pada periode yang sama tahun 2020. 

Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani mengatakan hal ini jelas akibat dari kenaikan konsumsi barang yang disubsidi pemerintah, seperti BBM. Ia bahkan terang-terangan mengatakan bahwa rakyat mungkin memang terlindungi, tetapi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang memikul bebannya. 

Baca juga :  PDIP Gabung Prabowo, Breeze atau Hurricane? 

Di sisi lain, Pertamina juga ikut dirugikan, karena turut memberi subsidi BBM melalui skema public service obligation atau PSO. Menurut Kemenkeu, ini adalah penugasan dari pemerintah kepada BUMN untuk menyelenggarakan fungsi kemanfaatan umum dengan tetap mempertahankan maksud dan tujuan kegiatan BUMN itu sendiri, yaitu untuk membuka akses layanan ke rakyat seluas-luasnya.  

Karena hal ini, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada tahun 2018 mencatat bahwa Pertamina tergerus kerugian pendapatan sebesar Rp 26 triliun. Kemudian dari data Pertamina sendiri, pada tahun 2020 mereka mencatat penurunan pendapatan besar-besaran, dengan hanya mencapai angka Rp 15 triliun, turun 60 persen dari Rp 36 triliun pada tahun 2019.  

Melihat fenomena kerugian kebijakan publik ini, sepertinya pantas bila kita kemudian meminjam pandangan dari tulisan Chris Mooney yang berjudul Science Confirms: Politics Wrecks Your Ability to Do Math. Mengutip pemahaman Profesor Dan Kahan, dkk dari Yale Law School, disebutkan bahwa ambisi politik ternyata mampu merusak penalaran seorang politisi dengan sangat mendasar.  

Bahkan, seseorang yang sangat pandai dalam matematika sekalipun bisa gagal menyelesaikan masalah matematis yang sederhana, jika ia terjun ke politik. Hal ini karena sebagai pengambil keputusan kebijakan, seorang politisi tidak boleh bertentangan dengan keyakinan politiknya, ataupun kelompok yang diwakilinya. 

Kembali ke kasus BBM satu harga, sebetulnya sudah menjadi hal yang rasional jika pemerataan harga akan membutuhkan subsidi yang besar. Akan tetapi, karena terjebak ingin menyejahterakan rakyat, pemerintah kemudian malah menggali lubangnya sendiri, dan ikut merugikan Pertamina. Sebagai imbasnya, bisa kita pahami bahwa akan ada upaya menyelamatkan keuangan, seperti pemotongan gaji. 

Namun, permasalahan Pertamina tidak hanya dari kebijakan-kebijakan yang manis di muka saja. Masih banyak faktor-faktor lain yang sangat merugikan finansial perusahaan migas ini, contohnya adalah lambatnya proyek pembangunan kilang minyak BBM, yang sempat membuat Jokowi murka di hadapan jajaran direksi dan sejumlah menteri, pada November 2021 lalu. 

Deputi Bidang Kedaulatan Maritim dan Energi Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves), Purbaya Yudhi Sadewa, menyatakan bahwa alasan terbengkalainya pembangunan kilang minyak Pertamina adalah dikarenakan adanya permainan para mafia minyak dan gas bumi (migas). 

Lantas, kenapa sampai sekarang masalah mafia migas masih belum bisa teratasi? 

Baca juga: Mungkinkah Jokowi Tersandera Ahok?

Oligarki Kronis? 

Analis politik ekonomi, Asmiati Malik dalam artikelnya yang berjudul Why Indonesia’s Energy Sector Is So Corrupt, mengatakan bahwa suburnya oligarki dan korupsi di Pertamina adalah karena landasan aturan yang memang membuka celah pada praktik rent seeking atau pemburu rente. 

Asmiati mengambil contoh dari Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Migas yang pada awalnya disponsori oleh United States Agency for International Development agar dapat mengakomodasi kepentingan mereka dalam membebaskan sektor migas Indonesia.  

Namun, UU tersebut justru membuka pintu bagi praktik mafia di sektor energi, nilai Asmiati. Misalnya, UU Nomor 22 Tahun 2001 tidak membatasi cost recovery atau pemulihan biaya. Akibatnya, para elite mulai memainkan cost recovery ini. 

Baca juga :  Raib Dana Pensiun PNS Kacau BUMN Era Jokowi

Asmiati menilai, sesungguhnya pemerintah sudah mencoba mengatasi hal tersebut dengan mengeluarkan peraturan tentang biaya operasional. Namun, peraturan itu dikeluarkan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), dan dengan demikian bisa berubah dengan mudah seiring pergantian pemerintahan.  

Sebaliknya, UU Nomor 22 Tahun 2001 adalah undang-undang, dan dengan demikian memiliki lebih banyak kekuatan dan stabilitas politik. Untuk mengubah undang-undang, seperti yang kita tahu, akan membutuhkan proses pengadilan dan pemeriksaan yang panjang. 

Lebih lanjut, membuktikan praktik korupsi di sektor energi adalah tugas yang sangat berat karena melibatkan banyak rent seeker, termasuk aktor di pemerintahan, legislator, dan pengusaha, nilai Asmiati. Dan seringkali, tokoh-tokoh ini bermain di zona aman, di mana tindakan mereka dilindungi melalui peraturan yang menguntungkan atau menciptakan peluang bagi mafia untuk dapat “bermain”. 

Baca juga:  Manuver “Putih” Ahok di Pertamina

Dari perspektif yang lebih luas, kasus oligarki kompleks yang terjadi dalam Pertamina sesungguhnya menjadi cerminan permasalahan yang dihadapi mayoritas negara berkembang.  

Shahar Hameiri dan Lee Jones dalam tulisan Murdoch International: The ‘Murdoch School’ in International Relations, memperkenalkan pendekatan Murdoch School (MS). Mengutip pemahaman Richard Robinson dari Universitas Murdoch, pendekatan MS meyakini bahwa mayoritas permasalahan sosial, politik, dan ekonomi negara-negara berkembang di Asia Tenggara muncul dari persaingan kelompok-kelompok elite yang ingin menguasai dan mempertahankan sumber pendapatan nasional. 

Robinson mencontohkannya dengan gerakan ekonom-ekonom mantan Presiden Suharto yang disebut ‘Mafia Berkeley’, yang secara besar-besaran ditantang oleh koalisi antara politisi-birokrat, pengusaha dan kroni kapitalis etnis-Tionghoa yang kepentingannya sangat membentuk kontur kebijakan ekonomi.  

Sejak fenomena itu muncul, Robinson berpendapat kapitalis oligarki di Indonesia semakin mampu melampaui kekuatan politisi yang mensponsori birokrasi mereka dan melakukan aksi-aksinya untuk mencapai tujuan mereka sendiri. 

Oleh karena itu, Robinson berkesimpulan bahwa siapapun yang memimpin Indonesia, kuat ataupun lemah, mereka akan selalu diberatkan, dan mungkin cenderung lebih sering kalah oleh kepentingan para oligark, karena kelompok-kelompok elite inilah yang sesungguhnya memegang kunci ke sumber daya nasional. 

Kembali ke konteks polemik Pertamina, kita perlu melihat bahwa saat ini terlihat jelas ada upaya tekan menekan dari berbagai pihak demi mempertahankan atau mengakuisisi kekuatan yang ada di tahta perusahaan migas terbesar milik Indonesia ini.  

Di sisi lain, sejumlah kebijakan pemerintah pun malah semakin membuat permasalahan rumit di internal Pertamina, contohnya urgensi finansial. Sebenarnya, inilah yang perlu lebih ditunjukkan oleh Pertamina kepada publik. Sedikit demi sedikit mereka harus mulai memiliki kesadaran bahwa masyarakat harus tahu tentang luka-luka yang selama ini disembunyikan Pertamina. 

Barang kali, ini saatnya Pertamina membangun divisi hubungan masyarakat (humas) yang lebih terbuka, karena sesuai dengan apa yang dikatakan Niccolò Machiavelli dalam bukunya Diskursus, tidak ada gunanya penguasa berbohong jika hal itu malah merugikan kerajaan atau negaranya. (D74) 

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Prabowo & Trump: MAGA vs MIGA? 

Sama seperti Donald Trump, Prabowo Subianto kerap diproyeksikan akan terapkan kebijakan-kebijakan proteksionis. Jika benar terjadi, apakah ini akan berdampak baik bagi Indonesia? 

The War of Java: Rambo vs Sambo?

Pertarungan antara Andika Perkasa melawan Ahmad Luthfi di Pilgub Jawa Tengah jadi panggung pertarungan besar para elite nasional.

Menguji “Otot Politik” Andika Perkasa

Pilgub Jawa Tengah 2024 kiranya bukan bagaimana kelihaian politik Andika Perkasa bekerja di debutnya di kontestasi elektoral, melainkan mengenai sebuah hal yang juga lebih besar dari sekadar pembuktian PDIP untuk mempertahankan kehormatan mereka di kandang sendiri.

Menyoal Kabinet Panoptikon ala Prabowo

Pemerintahan Prabowo disebut memiliki kabinet yang terlalu besar. Namun, Prabowo bisa jadi memiliki kunci kendali yakni konsep "panoptikon".

Tidak Salah The Economist Dukung Kamala?

Pernyataan dukungan The Economist terhadap calon presiden Amerika Serikat, Kamala Harris, jadi perhatian publik soal perdebatan kenetralan media. Apakah keputusan yang dilakukan The Economist benar-benar salah?

Ridwan Kamil dan “Alibaba Way”

Ridwan Kamil usulkan agar setiap mal di Jakarta diwajibkan menampilkan 30 persen produk lokal. Mungkinkah ini gagasan Alibaba Way?

Hype Besar Kabinet Prabowo

Masyarakat menaruh harapan besar pada kabinet Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

Rahasia Kesaktian Cak Imin-Zulhas?

Dengarkan artikel ini: Audio ini dibuat menggunakan AI. Di tengah kompetisi untuk tetap eksis di blantika politik Indonesia, Zulkifli Hasan dan Muhaimin Iskandar tampak begitu kuat...

More Stories

Prabowo & Trump: MAGA vs MIGA? 

Sama seperti Donald Trump, Prabowo Subianto kerap diproyeksikan akan terapkan kebijakan-kebijakan proteksionis. Jika benar terjadi, apakah ini akan berdampak baik bagi Indonesia? 

Tidak Salah The Economist Dukung Kamala?

Pernyataan dukungan The Economist terhadap calon presiden Amerika Serikat, Kamala Harris, jadi perhatian publik soal perdebatan kenetralan media. Apakah keputusan yang dilakukan The Economist benar-benar salah?

Indonesia First: Doktrin Prabowo ala Mearsheimer? 

Sejumlah pihak berpandangan bahwa Indonesia di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto akan lebih proteksionis. Seberapa besar kemungkinannya kecurigaan itu terjadi?