Belakangan muncul spekulasi dan dugaan bahwa Ali Mochtar Ngabalin “berjasa” dalam terciduknya Edhy Prabowo karena dirinya berada di lokasi kejadian saat penangkapan, namun tak turut diringkus KPK. Lantas, mengapa spekulasi itu bisa mengemuka?
Kasus rasuah yang menjerat eks Menteri Kelautan dan Perikanan (Men KP) Edhy Prabowo terus bergulir dan menimbulkan sejumlah interpretasi hingga saat ini, baik dalam ranah diskursus publik maupun yang muncul dari para pengamat politik tanah air.
Dari mereka yang berpolemik mengenai apakah benur atau bibit lobster itu layak dijadikan komoditas ekspor atau tidak, hingga kemungkinan dan konsekuensi politik seperti apa yang mengiringi kasus ini.
Terkuaknya kasus ini sendiri memang cukup mengejutkan ketika menjerat menteri pertama di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di periode keduanya. Terlebih, sosok tersebut juga menjabat sebagai Wakil Ketua Umum (Waketum) Gerindra, partai politik (parpol) yang baru saja kembali mesra dengan PDIP di kekuasaan setelah rekonsiliasi Pilpres 2019.
Karenanya, kemudian muncul penafsiran maupun dugaan bertendensi politis tertentu di balik kasus yang menjerat salah satu orang kepercayaan Prabowo Subianto itu.
Salah satu yang cukup menarik ialah ketika nama Ali Mochtar Ngabalin masuk ke dalam perhitungan dan spekulasi yang ada. Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) itu sempat dipertanyakan eksistensinya karena turut serta dalam rombongan Edhy Prabowo yang terbang ke Honolulu, Hawai, Amerika Serikat (AS), namun tak digelandang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), paling tidak untuk dimintai keterangan.
Meskipun terdapat rasionalisasi bahwa Ngabalin secara teknis tak terkait langsung dengan kasus Edhy, spekulasi tetap saja bermunculan. Dalam salah satu acara di kanal Youtubenya, jurnalis senior, Karni Ilyas sempat mempertanyakan hal ini kepada penyidik senior KPK Novel Baswedan.
Karni merasa heran karena Ngabalin memisahkan diri pada saat petugas KPK menangkap Edhy. Namun pada konteks ini, Novel enggan memberi tanggapan dan menyerahkannya untuk bertanya kepada Humas KPK.
Ihwal senada dipertanyakan dan disiratkan pula oleh pakar hukum tata negara (HTN) Refly Harun. Ia berharap gerak langkah KPK selanjutnya agar lebih tegas dalam bertindak. Selain itu dirinya juga berharap, dalam kasus Edhy ini tidak ada politik belah bambu dalam artian “menginjak” seseorang tapi di sisi lain melindungi orang tertentu.
Presumsi yang lebih menarik datang dari pengamat politik Muhammad Yunus Hanis. Yunus bahkan menduga jika Ngabalin sebagai orang yang “berjasa” dalam tertangkapnya Edhy. Menurutnya, ada permainan kelas tinggi di balik peristiwa dijebloskannya Edhy Prabowo ke penjara KPK.
Lantas, mengapa eksistensi Ngabalin di TKP tercokoknya Edhy kemudian mengarah pada spekulasi yang seolah mengarah bahwa dirinya punya peran dalam penangkapan tersebut?
Perkara Perspektif dan Reputasi?
Tak bisa dipungkiri, meskipun narasi yang ada biasanya berasal dari para politisi maupun pengamat, corong dari berbagai dugaan maupun spekulasi yang terjadi dalam dinamika politik di era modern ialah media atau jurnalisme.
Christy Wampole dalam What Is the Future of Speculative Journalism? menjabarkan bahwa hasrat untuk mengetahui apa yang akan terjadi selanjutnya, terutama yang berkaitan dengan isu politik terhangat, termanifestasi dalam rasa “lapar” terhadap sumber-sumber informasi, khususnya jurnalisme.
Percepatan arus informasi telah meningkatkan ketidaksabaran kita atas ketidaktahuan. Dalam upaya untuk menangkap dan menganalisa sebuah peristiwa yang baru saja terjadi, atau bahkan sebelum itu terjadi, produk jurnalistik terkadang cenderung menjadi kurang faktual dan lebih bersifat hipotetis.
Hipotesis tersebut seringkali didapatkan dari upaya mengaitkan sejumlah variabel yang kemudian terkonstruksi dan terartikulasikan dalam sebuah spekulasi politik. Istilah “tomorrowism” kemudian digunakan Wampole untuk menganalisa absurditas fenomena tersebut.
Pada konteks spekulasi yang tertuju pada sosok Ngabalin dalam kasus Edhy seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, kemungkinan pula terdapat pertautan atau komparasi variabel yang membuat spekulasi tersebut terkonstruksi, dan kemudian bermuara menjadi sejumlah produk jurnalistik atau berita.
Secara substansial, dalam menganalisa eksistensi Ngabalin dalam kasus tersebut kiranya tidak bisa dilepaskan dari isu politik secara umum yang memang sedang berkembang saat ini, plus dari track record atau sepak terjang Ngabalin sendiri selama berkiprah di dunia politik tanah air.
Kasus yang menjerat Edhy sendiri dilihat oleh pengamat politik dari universitas Al-Azhar Ujang Komarudin, mirip dengan kasus suap impor daging sapi yang menyeret Presiden PKS saat itu, Luthfi Hasan Ishaaq pada tahun 2013 silam. Ketika itu, PKS menjadi salah satu partai pendukung pemerintah, namun di saat yang sama partai yang baru saja berganti logo itu juga rajin mengkritik Istana.
Hal yang sama dilihat Ujang terjadi pada Gerindra ketika melalui Fadli Zon, kerap tampak bermain dua kaki, dan kritik yang dilontarkan tak jarang justru memperkeruh suasana serta mungkin saja tak jarang membuat “gerah” Istana.
Variabel itu dinilai membuka pertautan dengan konteks Ngabalin seperti yang diduga oleh Yunus sebelumnya. Seperti yang telah diketahui, Ngabalin merupakan sosok kontroversial yang cukup berani bermanuver dalam kariernya di dunia politik.
Ketika masih bernaung di Partai Bulan Bintang (PBB) misalnya, dirinya sempat berbeda suara dengan keputusan partai saat itu dalam Pilpres 2009. Setahun berselang Ia kemudian berubah haluan ke partai Golkar.
Kemudian saat Pilpres 2014, Ngabalin menjadi sosok yang sangat lantang dalam menyokong Prabowo Subianto dan Hatta Radjasa. Namun dinamika yang bergulir setelahnya membalikkan perspektif yang ada ketika Ngabalin direkrut Istana dan “membelot” dari Prabowo.
Selain memiliki jabatan di Istana, Ngabalin juga saat ini diketahui mengemban tugas sebagai staf ahli di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), dan mungkin saja, variabel pamungkas inilah yang mengeratkan kepingan kausalitas sebelumnya menjadi sebuah spekulasi yang muncul di sejumlah media atas peran Ngabalin dalam kasus Edhy Prabowo.
Namun terlepas dari hipotesa atau spekulasi tersebut, konteks lainnya kemudian menjadi tak kalah menarik saat sejumlah pihak menyarankan agar Prabowo dan Gerindra menarik diri dari koalisi pemerintah pasca tertangkapnya Edhy. Hal itu dinilai cukup pantas untuk dilakukan sebagai upaya pertanggungjawaban moral serta menghindari kemudaratan politik yang mungkin akan hadir. Lantas, akankah hal itu akan dilakukan Prabowo dan Gerindra?
Mundur Bukan Opsi Terbaik?
Saran untuk keluar dari koalisi pemerintahan berhembus dari politisi kontroversial Gerindra sendiri, Arief Puyuono. Arief menyebut bahwa Prabowo harus bertanggung jawab kepada para pemilih Gerindra atas ketidakmampuan menjaga disiplin para kadernya, hingga berpotensi besar menghancurkan marwah partai. Lebih lanjut, Arief menyarankan jika Prabowo genteleman, dirinya harus mundur dari kabinet.
Sementara pakar politik dan hukum Universitas Nasional Jakarta, Saiful Anam, menyebut jika kasus Edhy berkembang lebih lanjut, bukan tidak mungkin akan membawa preseden minor bagi Prabowo dan Gerindra di kemudian hari.
Karenanya Saiful mengatakan bahwa saat ini menjadi momentum yang tepat bagi Prabowo untuk segera menarik diri dari koalisi pemerintahan Presiden Jokowi.
Dalam sebuah tulisan yang berjudul How do you have an honourable resignation?, Alex Hudson menyoroti urgensi pengunduran diri dari sebuah jabatan secara terhormat setelah sebuah skandal, yang ketika tidak dilakukan dengan cepat justru akan merusak karier sosok tertentu secara permanen.
Postulat Hudson itu mengacu dari sampel komparasi dari efek lambatnya Richard Nixon mengundurkan diri saat skandal Watergate, hingga Sir Paul Stephenson, eks komisaris Polisi Metro London yang mengundurkan diri dengan cepat setelah skandal peretasan telepon mengemuka.
Kendati demikian, opsi pengunduran atau penarikan diri dari koalisi dan jabatan menteri agaknya bukan merupakan pilihan terbaik dalam konteks Prabowo.
Selain belum terbukti secara langsung terlibat, penarikan diri Prabowo dan Gerindra dinilai justru tak akan lebih menguntungkan, ketika kondisi sosial politik di luar kekuasaan agaknya tak berpihak pada Prabowo jika berkaca pada keputusan bergabung dengan pemerintah sebelumnya.
Kelompok konservatif maupun nasionalis yang mendukung Prabowo di Pilpres 2019 dinilai masih memendam residu kekecewaan atas cepatnya perubahan orientasi perjuangan haluan politik eks Pangkostrad. Yang mana hal itu mungkin saja membuat akan membuat Prabowo dan Gerindra tidak “nyaman” untuk berada di luar kekuasaan saat ini, meskipun sedikit terbebani secara politik atas kasus Edhy.
Namun, penjabaran di atas hanyalah probabilitas semata. Masih terdapat beragam kemungkinan lainnya jika berkaca pada sifat alami situasi politik itu sendiri yang begitu cair dan tidak jarang cukup mengejutkan. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.