Sejak kemenangannya bersama Joko Widodo (Jokowi), nama Ma’ruf Amin terus mendapatkan sorotan minor karena dinilai tidak berperan signifikan dalam pemerintahan. Di berbagai lini media massa, julukan wakil presiden AFK (away from keyboard) terus tersematkan kepadanya. Akan tetapi, mungkinkah terdapat upaya sistematis untuk menenggelamkan nama sang wakil presiden?
PinterPolitik.com
“Jika Anda benar-benar memperhatikan peliputan tentang Perang Teluk sejak Agustus (1990), Anda akan menemukan beberapa aspirasi yang hilang” – Noam Chomsky dalam Media Control: The Spectacular Achievements of Propaganda
Kendati namanya bercokol sebagai ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), nama Ma’ruf Amin mungkin tidak akan pernah begitu besar apabila tidak berperan dalam kasus mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (BTP) atau Ahok. Kala itu, fatwa Ma’ruf yang menegaskan Ahok telah melakukan penistaan agama disebut-sebut sebagai salah satu pemantik derasnya gelombang demonstrasi yang berujung pada mendekamnya politisi PDIP tersebut di penjara.
Atas namanya yang disebut dapat menyerap suara umat Islam, tidak sedikit yang menyebutkan bahwa terpilihnya Ma’ruf sebagai pasangan Jokowi pada Pilpres 2019 lalu, tidak lain untuk menjadi tameng atas tuduhan anti kelompok Islam yang terus mendera mantan Wali Kota Solo tersebut.
Menariknya, setelah terpilih sebagai pemenang, nama Ma’ruf seolah redup. Ini kemudian memunculkan berbagai spekulasi bahwa sang kiai hanya dibutuhkan untuk mendulang suara di Pilpres lalu. Kritik pun bermunculan di berbagai lini media sosial, Ma’ruf dijuluki tengah AFK (away from keyboard). Ini adalah sebutan dalam game online bagi pemain (player) yang tidak lagi terlibat dalam permainan. Artinya, Ma’ruf dinilai tidak aktif dan terlibat dalam pemerintahan Jokowi saat ini.
Akan tetapi, apabila kita melihat jejak pemberitaan, nama Ma’ruf sebenarnya kerap muncul untuk memberikan pandangan. Terbaru, pada 8 Agustus, Ma’ruf mendorong MUI berperan sebagai agen perubahan. Pada 6 Agustus, Ma’ruf memberikan dukungan terhadap rencana penggabungan atau merger bank syariah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang sempat ditolak oleh Muhammadiyah.
Pada 5 Agustus, Ma’ruf menegaskan bahwa kunci penanganan pandemi Covid-19 ada di kepatuhan masyarakat dalam mengikuti protokol kesehatan. Pada 19 Juli, Ma’ruf memberikan perhatiannya terhadap pondok pesantren yang dikhawatirkan menjadi kluster baru penularan Covid-19.
Pada 8 Juni, Ma’ruf mewanti-wanti masyarakat bahwa new normal atau adaptasi kebiasaan baru akan lebih sulit daripada Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), sehingga sangat dibutuhkan kepatuhan masyarakat dalam mengikuti protokol kesehatan.
Melihat berita-berita yang ada, Ma’ruf sebenarnya sangat vokal dalam memberikan pendapat. Bahkan, mungkin lebih sering mengeluarkan pernyataan daripada Presiden Jokowi. Lantas, mungkinkah terdapat upaya sistematis untuk memunculkan narasi bahwa Ma’ruf tidak berperan di pemerintahan?
Masyarakat Butuh Simbol?
Graeme Gill dan Luis F. Angosto-Ferrandez dalam tulisan mereka yang berjudul Introduction: Symbolism and Politics menjelaskan bahwa simbol adalah fitur sentral dari kehidupan manusia yang terorganisir. Simbol membantu manusia untuk mendefinisikan persepsi, membentuk cara dalam memandang dunia dan memahami apa yang terjadi di dalamnya.
Pada tatanan politik, Gill dan Angosto-Ferrandez menunjukkan bahwa gestur pemimpin, seperti Hitler dan Mussolini merupakan simbol yang begitu bermakna bagi masyarakat.
Giovanni Maddalena dalam tulisannya Political Communication in the (Iconic) Trump Epoch mencatat terdapat peran signifikan kehadiran televisi, karena teknologi ini tidak hanya membuat pemimpin diperhatikan suaranya, melainkan juga gestur tubuhnya.
Sejak debat presiden Amerika Serikat (AS) pada tahun 1960 yang mempertemukan Kennedy dan Nixon, bahasa tubuh seperti senyuman bahkan menjadi variabel yang diperhatikan oleh masyarakat. Sebelumnya, ketika debat ataupun pidato politisi hanya disiarkan melalui radio, simbol visual semacam itu tentunya belum menjadi perhatian serius.
Pada titik ini, kita tentu memahami, di tengah era internet saat ini, tidak hanya konten pernyataan, gestur tubuh politisi – apalagi presiden – adalah variabel sentral yang diperhatikan oleh masyarakat. Oleh karenanya, menjadi pertanyaan tersendiri, mengapa Presiden Jokowi justru jarang menunjukkan dirinya bersama dengan Wapres Ma’ruf Amin.
Suka atau tidak, gestur tersebut tentunya akan melahirkan simbol dan persepsi di tengah masyarakat bahwa Presiden Jokowi bekerja sendiri dan tidak dibantu oleh Wapres Ma’ruf. Pasalnya, mantan Wali Kota Solo tersebut kerap terlihat di depan media hanya bersama dengan orang-orang kepercayaannya, seperti Erick Thohir, Luhut Binsar Pandjaitan, Sri Mulyani, ataupun Airlangga Hartarto.
Di berbagai lini sosial media, tidak sedikit warganet yang mempertanyakan mengapa Wapres Ma’ruf tidak terlihat bersama Presiden Jokowi? Atas ini pula, tidak mengherankan kemudian narasi Ma’ruf AFK atau menghilang dalam pemerintahan Jokowi berseliweran sampai saat ini. Narasi ini juga menguatkan sentimen yang menyebutkan bahwa Ma’ruf hanya berperan sebagai pendulang suara pada Pilpres 2019 lalu.
Membandingkan dengan wapres sebelumnya, terlihat jelas peran signifikan Jusuf Kalla (JK) di pemerintahan. JK bahkan mendapatkan porsi tugas yang besar di bidang ekonomi dan diplomasi, baik dalam dan luar negeri.
Ma’ruf vs Erick Thohir?
Adanya dugaan terdapat agenda penenggelaman Ma’ruf juga dapat kita disimpulkan dengan membandingkannya dengan kasus Menteri BUMN Erick Thohir. Menariknya, setelah menjabat sebagai menteri, narasi Erick adalah menteri hebat dan merupakan kandidat di Pilpres 2024 tiba-tiba ramai bermunculan.
Beberapa waktu yang lalu, uniknya, Erick justru ditunjuk sebagai Ketua Komite Penanganan Covid-19. Tentu menjadi pertanyaan serius, mengapa harus Erick? Bukankah itu domain Menteri Kesehatan? Kendatipun alasannya karena komite tersebut lebih berfokus pada persoalan ekonomi, mengapa bukan Menteri Keuangan atau Menko Perekonomian yang dtunjuk sebagai ketua?
Penunjukan itu kemudian menguatkan persepsi di tengah publik bahwa Erick adalah sosok yang begitu dipercaya oleh Presiden Jokowi saat ini. Narasi bahwa mantan bos Inter Milan tersebut tengah dipromosikan untuk maju di gelaran Pilpres 2024 juga tidak sedikit berdengung.
Noam Chomsky dalam bukunya Media Control: The Spectacular Achievements of Propaganda dapat membantu kita memahami fenomena kontras Ma’ruf dan Erick ini. Menariknya, tidak seperti pandangan umum yang menyebutkan bahwa media adalah pilar keempat demokrasi, Chomsky justru berusaha menjelaskan bahwa media adalah alat propaganda kekuasaan.
Chomsky misalnya mencontohkan kasus pemerintahan Presiden ke-28 AS Woodrow Wilson yang menggunakan media sebagai alat propaganda yang berhasil membuat rakyat AS yang notabene anti perang menjadi massa yang histeris dan bernafsu menghancurkan semua yang berbau Jerman.
Mengacu pada Chomsky, tidak menutup kemungkinan terdapat kekuasaan yang tengah membuat agenda untuk meredupkan nama Ma’ruf, dan terdapat pula agenda untuk membuat nama Erick menjadi bersinar. Pasalnya, kedua narasi tersebut banyak ditemukan di judul-judul berita.
Misalnya, kita dapat menemukan berbagai judul pemberitaan yang mempertanyakan peran Ma’ruf selama pandemi. Di sisi lain, kita dapat menemukan berbagai pemberitaan yang mengisahkan langkah hebat Erick, ataupun narasi dirinya sebagai kandidat di Pilpres 2024.
Di titik ini, kita tentu tidak mengetahui apakah memang benar terdapat kekuasaan di luar sana yang memiliki agenda untuk meredupkan nama Ma’ruf atau tidak. Namun yang jelas, narasi wapres AFK memang benar-benar ada, dan tidak terbantahkan telah dipersepsikan oleh publik.
Kita lihat saja, apakah ke depannya terdapat perubahan narasi yang memperlihatkan peran signifikan Ma’ruf di pemerintahan. Kita tentu berharap bahwa Presiden Jokowi dan Wapres Ma’ruf dapat menjadi kombo yang menghantarkan Indonesia menjadi lebih baik. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (R53)