Kengototan PKS untuk mendapatkan posisi cawapres menimbulkan pertanyaan besar. Benarkah hanya untuk meningkatkan posisi tawar partai di depan koalisi Prabowo atau ada agenda terselubung lain yang ingin dicapai partai lewat posisi wakil presiden tersebut?
PinterPolitik.com
“A political party is about an ideology.”
:: Kamal Haasan, politisi India ::
[dropcap]K[/dropcap]isah tentang partai politik memang selalu menarik untuk dibahas. Dalam konteks bentuk kepartaian sebagai organisasi formal, sejarah Glorious Revolution pada tahun 1688 dengan partai The Whigs sebagai salah satu penggerak utamanya mungkin menjadi catatan sejarah tertua tentang partai politik.
Namun, semangat untuk perubahan dan meraih kekuasaan dalam gerakan berbasis faksi politik, sesungguhnya telah ada sejak era Romawi lewat populares (kelompok populis) melawan optimates (kelompok aristokrat). Kelompok-kelompok inilah yang mewakili perebutan kekuasaan di Romawi kala itu dan menentukan berbagai perubahan yang terjadi.
Setelah 2 abad berlalu, kini nuansa perebutan kekuasaan serupa sedang terjadi di Indonesia dalam tajuk Pilpres 2019. Layaknya populares dan optimates, semua parpol menghitung langkah dan mengukur posisi. Salah satunya terjadi pada Partai Keadilan Sejahtera (PKS) lewat wacana ajaib nan mencengangkan: abstain pada Pilpres 2019 – yang membuatnya mirip dengan faksi populares.
PKS: jk Gerindra tdk akumudir cawapres mk PKS akan abstain pd Pilpres 2019.
Belum pernah dlm sejarah ada parpol abstain dlm kontestasi di Pilpres. Krn di situs uang besar beredar, jd mana kuat mrk menahan diri utk mencicipinya.— Abah Ka'Ab (@embah72) August 3, 2018
Faktanya, seiring merapatnya Partai Demokrat ke koalisi Partai Gerindra, posisi PKS sebagai “partner in crime” Gerindra mulai terancam. PKS sebelumnya memang ingin agar Prabowo Subianto menunjuk salah satu kader PKS sebagai cawapres. Namun, dengan masuknya Demokrat, posisi PKS dirugikan karena Gerindra tak harus berkoalisi dengan PKS untuk bisa mencalonkan pasangan capres dan cawapres.
Akibatnya, partai dakwah yang identik dengan warna putih-putih itu mempertimbangkan berbagai opsi lain, termasuk abstain dalam Pilpres kali ini. Direktur Pencapresan PKS, Suhud Aliyudin menyebutkan bahwa jika opsi koalisi mengalami kebuntuan, maka PKS bisa saja tidak ikut berkontestasi pada Pilpres kali ini dan memilih abstain.
Pilihan politik ini cukup ekstrem, mengingat dalam kontestasi politik bertajuk pemilihan umum, sulit membayangkan ada partai politik yang justru menarik diri dari kontestasi tersebut. Manuver PKS ini memang beralasan di tengah makin sulitnya posisi partai tersebut dalam koalisi Prabowo.
Sebagai partai yang punya kader militan – sekalipun juga dirundung perpecahan internal – banyak yang menilai strategi PKS ini adalah cara untuk meningkatkan posisi tawar di mata Prabowo. Ibaratnya, ini adalah gertak politik yang ditunjukkan kepada koalisi.
Berbekal kepercayaan diri pada Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu, PKS mencoba “jual mahal”, dan menuntut posisi cawapres sebagai tawaran politik mereka. Tentu pertanyaannya adalah apa sebetulnya yang ingin dikejar oleh PKS melalui posisi cawapres tersebut? Dan kalau Prabowo “mencuekkan” ancaman PKS, benarkah PKS akan menjadi partai yang abstain?
Agenda Terselubung PKS?
Ada diskursus yang terpecah di antara para ahli politik tentang PKS. Beberapa tokoh menilai PKS sebagai partai politik murni yang berorientasi pada kekuasaan, sementara sebagian melihat ada agenda tertentu yang diperjuangkan olehnya.
Cita rasa dan ideologi partai yang sangat Islami memang membuat banyak orang menaruh “curiga”, terutama jika menilik rekam jejak pendiri partai tersebut, Hilmi Aminuddin. Nama terakhir dikenal sebagai pendiri gerakan Tarbiyah, yang menurut Imam Supriyanto – salah satu pentolan Negara Islam Indonesia (NII) – bercita-cita untuk mendirikan negara Islam.
Hilmi sendiri merupakan anak dari Panglima Militer Darul Islam, Danu Muhammad Hasan. Untuk diketahui, Darul Islam merupakan kelompok yang menjadi cikal bakal NII. Artinya ada pertalian yang cukup kental antara sejarah PKS dengan cita-cita ideologisnya.
Hal ini diperkuat dengan fakta bahwa Hilmi juga membawa napas perjuangan Ikhwanul Muslimin (IM) dari Mesir ke Indonesia. PKS dianggap sebagai “anak ideologis” IM dan mendapatkan pendanaan dari Timur Tengah saat awal-awal didirikan. IM memang dikenal sebagai gerakan yang bernafas Pan Islamisme untuk menyatukan semua umat Islam di bawah satu negara atau Khilafah.
Jurnalis Sadanand Dhume dalam tulisannya yang berjudul Radical March on Indonesia’s Future seperti dikutip dari Abu Rokhmad dalam Jurnal Walisongo menyebut PKS sebagai “gerakan gradual dan evolusioner untuk menegakkan negara Islam di Indonesia”.
Salah satu pendiri PKS – yang baru meninggal beberapa hari lalu – Yusuf Supendi, pernah menuturkan bahwa pertautan Hilmi dengan NII memang telah menjadi cerita lama di Partai Keadilan (PK) yang menjadi cikal bakal PKS. Namun, ia menegaskan bahwa PK dan PKS tidak lagi membawa perjuangan tersebut.
Menurutnya kini nafas PKS adalah NKRI. PKS memang punya sejarah dari gerakan Tarbiyah yang berorientasi pada perubahan, namun setelah menjadi partai politik, orientasinya berubah menjadi kekuasaan.
Hal inilah yang juga disebut oleh pengamat politik Burhanudin Muhtadi sebagai dilema PKS. Sebagai partai yang berakar dari gerakan sosial, PKS punya visi tentang perubahan. Namun, visi itu berganti seiring makin bergesernya arah perjuangan.
Maka, dalam kasus ancaman PKS yang ingin mengambil posisi abstain untuk Pilpres 2019 nanti, ada beberapa kemungkinan yang bisa dibaca. Secara koalisi, menyebut opsi abstain tentu saja adalah “gertakan” bagi Gerindra. PKS tentu saja ingin menaikkan posisi tawarnya dalam koalisi ini. Artinya, yang diperjuangkan adalah murni posisi tawar.
Namun, hal tersebut juga bisa dibaca bahwa mungkin saja posisi cawapres adalah jabatan kekuasaan yang sedang benar-benar diinginkan PKS. Setelah berkiprah selama 20 tahun, sulit untuk membayangkan PKS tidak ingin “mengincar” posisi yang lebih tinggi, dalam hal ini mendorong kadernya untuk menjadi RI-2.
Dalam konteks kekuasaan, PKS ingin meningkatkan posisi politiknya. Posisi wapres tentu punya kewenangan yang lebih banyak. Bahkan, jika suatu hal tertentu terjadi terhadap presiden, kader PKS bisa menjadi orang nomor satu di negeri ini secara konstitusional.
Kalo abstain bagus jg tuh!!?
Tapi hati" nanti jadi kompor.
Apalgi nanti dekati jokowi mau termehek" mau ada di jajaran kabinet ..
Di PKS terllu banyk ular derik beracun???— ad'dailami hasyim al gifari (@algifari_winer) August 2, 2018
Berartinya upgrade posisi politik ini disebut membuat PKS membuka opsi membentuk poros ketiga bersama PAN yang sepertinya juga masih menghitung peluang politik dalam koalisi Prabowo, serta PKB yang sepertinya “dikendalikan” oleh hasrat politik sang Ketum Muhaimin Iskandar (Cak Imin). Dengan demikian, ada posisi politik kekuasaan dalam gambaran yang lebih besar yang sedang diperjuangkan oleh PKS.
Pertanyaannya adalah apakah hanya persoalan posisi tawar atau posisi cawapres-lah yang sebetulnya diincar oleh PKS?
Hanya PKS yang tahu pasti. Yang jelas, sebagai partai yang punya target pemilih kaum muda urban yang terpelajar, kekuatan politik PKS tidak dapat dianggap remeh. Jika memang mengincar posisi cawapres, maka PKS berpeluang besar punya akses terhadap berbagai hal yang sejalan dengan “ideologi partai”.
Selalu ada alasan mengapa banyak penulis menyebut PKS harus “diwaspadai”. Andrew Steele misalnya menyebut PKS secara spesifik sebagai partai yang memiliki agenda-agenda tersembunyi. Partai ini disebutnya “bermain-main” dengan isu anti korupsi dan yang sejenisnya, namun masih konsisten memperjuangkan nilai-nilai yang fundamentalistik.
Bukan tidak mungkin setelah mendapatkan akses terhadap kekuasaan eksekutif yang lebih besar, partai ini menampilkan kembali “wajah” aslinya sebagai gerakan yang punya cita-cita mendirikan negara Islam. Hal ini beralasan mengingat dalam AD/ART partai tersebut kata Pancasila dan UUD 1945 hanya ditemukan masing-masing satu kali dalam bagian Mukadimah.
PKS juga menjadi satu-satunya partai Islam yang tidak menempatkan Pancasila sebagai asas partai dan terlihat “mengesampingkan” ideologi tersebut. Artinya, sekalipun beberapa pihak menyebut PKS telah sepenuhnya mendukung NKRI, tidak muluk juga menduga partai ini masih punya keinginan tersembunyi mengarahkan Indonesia menuju negara seperti yang diperjuangkan IM di Mesir.
Jadi Third Party atau Bubar?
Jika agenda “tersembunyi” lah yang dikejar, maka mengancam dengan abstain sesungguhnya bisa efektif untuk menekan Gerindra. Bagaimanapun juga, koalisi dua partai ini punya sejarah panjang yang saling menguntungkan.
Adapun pilihan abstain sendiri dalam politik adalah hal yang lumrah. Namun, posisi politik ini umumnya terjadi di negara-negara dengan sistem parlementer atau terjadi dalam voting di parlemen. Jarang terjadi sebuah parpol menarik diri dari kontestasi dan memilih abstain.
Pada Pilpres 2014 lalu hal yang mirip juga sempat dialami oleh Partai Demokrat. Namun, partai tersebut pada akhirnya memilih untuk mendukung Prabowo sebagai capres.
Jika pada akhirnya tidak berkoalisi, maka PKS sangat mungkin akan menjadi third party. Posisi ini dikenakan Demokrat selama beberapa tahun terakhir di parlemen. Dalam kondisi dua kekuatan antara ruling coalition dan oposisi, third party adalah posisi yang juga menguntungkan secara politik bagi PKS.
Namun, akan ada banyak kerugian yang didapatkan oleh PKS jika opsi inilah yang diambil. PKS akan kehilangan akses terhadap kekuasaan, dan berpotensi 2 periode berada di luar pemerintahan. Artinya, ada ancaman kemunduran yang besar bagi PKS jika mengambil posisi politik tersebut.
Insya Allah PKS tdk akan abstain dlm pilpres,PKS terus berkomunikasi dgn berbagai pihak untuk kemaslahatan Umat , Bangsa dan Negara
— JazuliJuwaini (@JazuliJuwaini) August 3, 2018
Dengan demikian, secara matematis, posisi politik ini sangat sulit dibayangkan akan diambil PKS. Beberapa sumber terpercaya yang mengetahui sumber pendanaan partai ini juga menyebutnya demikian.
Pilihan jawabannya tersisa abstain untuk menaikkan posisi tawar di koalisi, atau memang punya agenda terselubung dengan mengincar posisi cawapres. Pada akhirnya, cita-cita PKS untuk perubahan memang tetap perlu diperhatikan, sekalipun parpol bisa menjadi sangat pragmatis pada titik tertentu.
Karena, layaknya populares – seperti kata Kamal Haasan di awal tulisan – sebuah partai politik adalah tentang ideologi. (S13)