Pembiaran PDIP kepada Ganjar Pranowo untuk bermanuver agaknya menguak makna lain mengenai dibukanya opsi mengusung sang Gubernur Jawa Tengah sebagai calon presiden (capres) 2024, plus, menyingkirkan Puan Maharani di menit akhir. Itu agaknya dipengaruhi oleh tak dihiraukannya citra positif oleh Puan.
Sebagai partai politik (parpol) yang tak pernah absen mengusung kandidat RI-1, PDIP kiranya cukup cermat dengan membiarkan Ganjar Pranowo tetap bermanuver keliling Indonesia jelang 2024. Itu agaknya dikarenakan Puan Maharani yang selalu digadang akan diusung tampak tak peduli dengan citranya sendiri.
Hal itu dapat terlihat dari bagaimana Ganjar beberapa kali mengunggah aktivitasnya melakukan konstruksi citra politik ke berbagai daerah di akun Instagram pribadinya.
Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Mamuju, Sulawesi Barat, hingga Makassar, Sulawesi Selatan menjadi tiga kota yang disambangi Ganjar dalam dua pekan terakhir.
Itu kemudian menimbulkan tanya tersendiri mengingat Ganjar sempat disindir secara tidak langsung oleh Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP Hasto Kristiyanto pada akhir Juli lalu. Kala itu, Hasto menegaskan manuver kader PDIP ke luar daerah harus berlandaskan penugasan maupun surat resmi.
Apa yang disampaikan Hasto itu berdekatan dengan suara internal sejumlah parpol lain yang berniat mengusung Ganjar sebagai capres 2024, bersamaan dengan PDIP yang bersikukuh menyebut akan mengusung Puan Maharani sebagai kandidat RI-1.
Pekan lalu, Hasto kembali mengungkapkan sindiran yang sama. Akan tetapi, kali ini tafsir terhadap sindiran itu agaknya lebih mengarah pada “bumbu” politik, persis seperti yang pernah terjadi jelang Pilpres 2014.
Di edisi delapan tahun lalu, Puan juga digaungkan sebagai capres PDIP meskipun pada akhirnya Megawati Soekarnoputri tetap memilih Joko Widodo (Jokowi) berkat pilihan rasional terkait tingkat elektabilitas.
Namun, 2024 boleh jadi merupakan momentum yang berbeda dari 2014. Itu dikarenakan, Puan tampak membutuhkan jabatan politis level tertinggi agar mendapatkan legitimasi demi transisi kepemimpinan PDIP sebagai pewaris trah Megawati.
Itu kemudian menimbulkan pertanyaan sederhana, yakni mengapa PDIP kali ini tetap membiarkan Ganjar bermanuver di saat internal mereka seolah butuh sosok simbolis seperti Puan untuk memimpin?
Puan Maunya Sendiri?
Di era jamaknya sorotan terhadap manuver politik seperti saat ini, politisi seolah diwajibkan memiliki kepekaan diri terhadap perilakunya. Utamanya di hadapan kamera, baik dari para awak media hingga “video amatir” yang kini bisa diambil oleh siapapun tanpa terkecuali.
Politisi, bagaikan selebritis yang mana gerak-geriknya pasti mendapat komentar dari khalayak. Oleh karena itu, mereka berlomba-lomba menampilkan citra terbaiknya saat melakukan interaksi politik.
John Street dalam jurnal berjudul Celebrity Politicians: Popular Culture and Political Representation menjelaskan dua pengertian politisi selebritis dalam terminologi di dunia politik.
Pertama, yakni merujuk pada politisi tradisional yang mengadopsi budaya populer untuk meraih perhatian publik demi tujuan politik. Kedua, mengacu pada pekerja dunia hiburan yang terjun ke dunia politik dan mengklaim hak untuk mewakili rakyat.
Bagi mereka yang menapaki karier sebagai politisi, makna politisi selebritis pertama dari Street kiranya memang kerap dipraktikkan.
Tak hanya mengadopsi budaya populer, sikap mereka dalam mengaktualisasikannya di hadapan publik juga menjadi penting. Tak lain demi popularitas yang positif dan dapat menarik simpati.
Menurut Matthew Wood, Jack Corbett, dan Matthew Flinders dalam Just like us: Everyday celebrity politicians and the pursuit of popularity in an age of anti-politics, fenomena politisi selebritis berangkat dari menguatnya sentimen anti-politisi yang berkembang.
Selama ini, para politisi kawakan dianggap tidak terhubung dengan masyarakatnya dan cenderung bersifat elitis.
Pesatnya perkembangan media sosial juga “memaksa” para politisi berlomba-lomba eksis di setiap platform dengan citra kekinian dan terbaik yang bisa mereka tampilkan. Tak hanya sekadar eksis, mereka pun wajib memiliki kemampuan komunikasi politik di depan layar yang mumpuni.
Di Indonesia, hampir semua politisi, terutama yang digadang pantas bersaing di Pilpres 2024, tampak memaksimalkan predikat politisi selebritis. Mulai dari Ridwan Kamil, Erick Thohir, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), hingga Ganjar Pranowo memiliki karakteristik dan citranya sendiri sebagai seorang politisi selebritis.
Sayangnya, Puan sebagai sosok simbolis yang diharapkan bagi soliditas PDIP seolah kurang memaksimalkan fenomena politisi selebritis itu.
Bahkan, apa yang diperagakan Puan justru kontraproduktif terhadap citranya sendiri dalam beberapa kesempatan. Baik bagi citranya dalam berinteraksi langsung dengan publik, maupun citranya dalam konteks yang lebih substansial seperti kepemimpinan.
Sebut saja saat dirinya sebagai pimpinan DPR mematikan microphone anggotanya yang memberikan interupsi dalam sebuah rapat. Sebagai pimpinan dan tentu dirinya menyadari bahwa sorotan kamera pasti tertuju pada tingkah lakunya, itu tentu mengherankan untuk dilakukan.
Atau pada kasus lain saat dirinya tampak menampilkan raut wajah kurang menyenangkan saat berinteraksi dengan rakyat sambil membagikan kaos di Bekasi, Jawa Barat pada September lalu.
Tertangkap kamera netizen, video raut wajah Puan sontak menjadi viral dan seolah menambah variabel sentimen minor terhadapnya.
Dalam kasus tersebut, pengamat politik dari Universitas Esa Unggul, Jamiluddin Ritonga
bahasa tubuh dan raut wajah Puan dalam momentum itu mengesankan ketidakramahannya.
Menurutnya, sikap Puan tampak aneh karena ditunjukkan di depan masyarakat. Padahal Puan besar dan berkembang di PDIP, partai yang dikenal karena menggaungkan kepentingan wong cilik.
Bahkan, Jamiluddin menilai hal krusial itu kiranya membuat Puan sulit diterima masyarakat.
Di titik ini, PDIP secara organisasi boleh jadi menyadari hal itu. Ihwal yang kemudian membuka interpretasi bahwa memberikan ruang bagi Ganjar untuk bermanuver adalah hal logig bagi demi tetap membuka peluang capres alternatif internal di 2024.
Apalagi, Ganjar tampil dengan lebih berkarakter dan dapat diterima masyarakat di setiap manuver politiknya yang terdokumentasikan di media sosial.
Lantas, apakah kecenderungan itu bermakna suram bagi karier politik Puan setelah 2024?
Puan Seperti Ibas?
Meskipun tampak canggung dan kurang peduli terhadap publisitasnya sendiri, Puan kiranya bukan satu-satunya politisi dengan karakteristik tersebut.
Tak sulit mencari komparasi karakteristik Puan, seperti misalnya terdapat pula pada diri Edhie Baskoro Yudhoyono atau Ibas dari Partai Demokrat dan Prananda Surya Paloh dari Partai NasDem.
Ibas dan Prananda juga tampaknya memiliki semacam kesulitan untuk tampil di hadapan khalayak sebagai seorang politisi selebritis yang dapat mengadopsi budaya populer maupun mengekspresikan diri sebagaimana mestinya.
Menariknya, baik Puan, Ibas, dan Prananda adalah anak kandung dari ketua umum (ketum) atau eks ketum parpol mereka masing-masing.
Dan PDIP kiranya dapat belajar dari Partai Demokrat dan Partai NasDem dalam mengatasi persoalan atas kekakuan putri mahkotanya.
Partai Demokrat dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), misalnya, yang tampak rela “mengorbankan” potensi karier militer cemerlang AHY untuk menjadi suksesor kepemimpinan. Disebut-sebut, salah satu faktornya dikarenakan Ibas kurang memiliki kecakapan, baik dalam kepemimpinan maupun performa di depan media.
Sementara Partai NasDem tampak cukup cermat menempatkan Prananda hanya dalam momentum tertentu. Dengan kemampuan dan karisma politik yang belum setara dengan sang ayah, Surya Paloh, Partai NasDem sejauh ini berhasil melakukan placement terhadap Prananda sesuai kemampuannya.
Meskipun relevansi dan urgensi PDIP-Puan tampak berbeda, partai banteng kiranya tetap tidak bisa serta merta memaksakan Puan sebagai capres di 2024, yang memang wajib memiliki kemampuan ciamik di depan layar.
Walau dengan probabilitas dramaturgi seperti di 2014, ketika bisa saja Ganjar memang nantinya benar-benar diusung di 2024, PDIP kiranya tidak bisa “mengorbankan” Puan dengan memaksanya terus menampilkan kontraproduktivitas di hadapan publik.
Kata kunci placement atau penempatan Puan di belakang layar, misalnya, tampak lebih ideal menyongsong 2024 jika PDIP membutuhkan suksesor Megawati yang tetap memiliki kewibawaan politik.
Namun demikian, maksud dan tujuan sebenarnya dari PDIP bersikukuh “memaksakan” Puan di depan layar dan tetap memberikan ruang manuver bagi Ganjar masih menjadi misteri.
Yang jelas, gerak-gerik PDIP demi mempertahankan hegemoni politik plus mencari cara mengangkat Puan sebagai penerus ideal Megawati masih akan cukup menarik untuk dinantikan. (J61)