Site icon PinterPolitik.com

Aa Gym dan Tuah Politiknya

Aa Gym

Abdullah Gymnastiar. (Foto: Istimewa)

Abdullah Gymnastiar jadi salah satu penceramah yang dinanti sikap politiknya.


Pinterpolitik.com

[dropcap]L[/dropcap]ama tak terdengar, nama KH Abdullah Gymnastiar atau Aa Gym belakangan kembali menjadi sorotan. Ini terjadi setelah nama pimpinan pesantren Daarut Tauhid itu dikait-kaitkan dengan perkara politik. Nama sang dai disebut-sebut terlibat dalam manuver politik Ketua Umum PPP M. Romahurmuziy atau Rommy.

Berdasarkan laporan yang lebih dahulu muncul, Rommy dianggap melakukan manuver untuk membuat Aa Gym untuk bersikap netral pada Pilpres 2019. Meski demikian, hal ini kemudian dibantah oleh Rommy seraya melakukan tabayyun atau klarifikasi kepada Aa Gym.

Di luar itu, Aa Gym sebenarnya mengaku dirinya memiliki pilihan tersendiri pada Pilpres nanti dan tidak akan bersikap netral. Meski begitu, ulama asal Bandung, Jawa Barat itu saat ini memprioritaskan untuk menjaga umat agar tidak terpecah belah jelang Pilpres 2019.

Terlepas dari hal itu semua, tampak bahwa sikap politik Aa Gym menjadi salah satu hal yang penting jelang Pilpres nanti. Meski dibantah, tentu ada alasan mengapa muncul kabar bahwa sang dai diminta netral pada pemilihan nanti. Lalu, seperti apa sebenarnya tuah politik Aa Gym dalam politik Indonesia?

Penceramah Kondang

Aa Gym merupakan sosok penceramah Islam yang amat terkemuka. Meski sempat diterpa isu pribadi, dai asal Bandung tersebut masih tergolong ke dalam penceramah yang memiliki banyak pengikut di negeri ini.

Ekspansi dakwah Aa Gym pada masanya memang tergolong sangat masif. Pesantren Daarut Tauhid di bawah asuhannya bahkan sampai membuka cabang tak hanya di Bandung saja, tetapi juga berdiri di tanah ibu kota Jakarta.

Di era kejayaannya, Aa Gym memang sangat fenomenal. Menurut James Hoesterey, sebagaimana dikutip oleh Julia Day Howell, rating acara televisi yang menampilkan dirinya sempat menyentuh angka 32 persen di tahun 2002. Tak hanya itu, menurut Time Asia sebagaimana dikutip Howell, sang dai juga sampai pada titik menerima 1.200 undangan per bulannya.

Saat ini, jika media sosial menjadi ukurannya, Aa Gym masuk ke dalam penceramah dengan jumlah pengikut terbanyak di Indonesia. Di Twitter, Aa Gym memiliki jumlah pengikut dengan total 2,8 juta. Sementara itu, di media sosial Instagram ada 3,6 juta pengikut.

Howell menyoroti mengapa Aa Gym bisa mendapatkan begitu banyak pengikut di negeri ini. Gaya ceramah Aa Gym cenderung tidak banyak mendikte tentang apa yang boleh dan tidak boleh dalam Alquran dan hadits. Ia justru cenderung lebih banyak mengajak masyarakat untuk berintrospeksi diri secara halus. “Jagalah hati” menjadi jargon yang amat identik dengan sosok Aa Gym.

Menuru Howell, Aa Gym mampu memasukkan unsur-unsur dakwah ke dalam cara penyampaian yang sebelumnnya tak tersentuh urusan religi. Hal ini misalnya meliputi pelatihan pengembangan diri, konsultasi bisnis dan pesan elektronik.

Gaya ceramah seperti ini membuatnya mudah diterima oleh banyak kalangan. Dari kelas sosial-ekonomi, masyarakat miskin dan kaya sama-sama menggemarinya. Menurut Hoesterey, Aa Gym juga tidak hanya digemari kaum Muslim, tetapi juga non-Muslim.

Otoritas Politik

Di luar gaya ceramahnya yang khas, Aa Gym juga sebenarnya menjadi amat digemari masyarakat karena tumbuh di masa terjadinya pergesaran di dalam masyarakat. Era ini disebut sebagai The Rise of New Islamic Authority oleh Alexander Arifianto dari Rajaratnam School of International Studies.

Pasca reformasi, terjadi pergeseran otoritas dari ulama-ulama yang berhaluan tradisional menjadi ustaz-ustaz yang lebih populer baik melalui media sosial maupun televisi. Aa Gym boleh dibilang merupakan salah satu ulama pertama – bahkan menurut Howell pionir  ulama yang meraup banyak popularitas melalui televisi.

Menurut Arifianto, dai yang besar di era tersebut cenderung bisa memobilisasi massa kelompok konservatif dengan baik. Secara spesifik, Aa Gym sendiri memang menurut Hoesterey mengambil langkah ini sebagai rebranding dirinya yang mulai ditinggalkan akibat isu pribadinya.

Salah satu langkah rebranding yang dilakukan oleh Aa Gym adalah dengan membangun kedekatan dengan ulama dan politisi berhaluan konservatif. Dalam catatan Hoesterey, Aa Gym misalnya pernah hadir di acara milik Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) di tahun 2007.

Menurut penasihat Aa Gym, sebagaimana dikutip Hoesterey,  kedekatannya dengan kelompok konservatif tidak berarti bahwa ia setuju sepenuhnya dengan ide radikal, tetapi untuk menunjukkan bahwa ia masih memiliki otoritas dan bisa mendatangkan banyak massa.

Otoritas Aa Gym yang tak sepenuhnya sirna membuatnya menjadi sosok dai yang memiliki pengaruh dalam politik. Oleh karena itu, dukungannya kerap menjadi sangat penting untuk menjadi pendorong elektabilitas kandidat tertentu. Tak hanya itu, ia sendiri bahkan sempat dipertimbangkan untuk melaju pada Pilgub Jabar 2018.

Otoritas politik Aa Gym ini membuatnya masuk ke dalam jajaran ulama yang paling berpengaruh secara politik versi survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA. Ia masuk ke dalam jajaran tersebut bersama dengan penceramah lain seperti Yusuf Mansur, Abdul Somad dan Arifin Ilham.

Berdasarkan survei tersebut, Aa Gym menjadi sosok paling terkenal dengan tingkat pengenalan sebesar 69,3 persen. Sementara itu, dari segi pengaruh, ia berada di urutan keempat dengan 24,9 persen responden yang mendengarkan pendapatnya.

Menanti Sikapnya

Berdasarkan kondisi tersebut dukungan politik Aa Gym menjadi hal yang sangat krusial jelang Pilpres 2019. Tuah politiknya terlampau sayang untuk tidak dikapitalisasi kandidat manapun karena sosoknya yang bisa memobilisasi massa. Oleh karena itu, wajar jika nama sekaliber Aa Gym akan selalu dikait-kaitkan dengan urusan politik.

Pada Pilpres 2014 lalu, Aa Gym secara terbuka memberikan dukungannya kepada pasangan Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa. Kala itu, Aa Gym menganggap bahwa pasangan tersebut sudah lama dirindukan oleh Indonesia.

Sikap politik Aa Gym jadi salah satu yang paling ditunggu jelang Pilpres 2019. Share on X

Sejarah dukungannya di 2014 tersebut membuat orang banyak mengidentifikasi dirinya sebagai ulama yang dekat dengan Prabowo. Secara khusus, namanya bahkan sempat diusulkan beberapa pihak untuk menjadi cawapres bagi Prabowo. Jika Aa Gym kembali berlabuh ke Prabowo, hal ini jelas mampu menjadi suntikan berarti bagi pemenangan mantan Danjen Kopassus tersebut.

Di luar itu, wajar pula jika ada politisi seperti Rommy – meski sudah dibantah – atau siapapun yang bermanuver agar Aa Gym bersikap netral. Jika pengaruh politik Aa Gym jatuh ke salah satu kubu, maka kubu tersebut dapat mendapatkan keuntungan yang cukup besar. Kemampuannya mendatangkan massa jelas menjadi hal yang bisa memberikan keuntungan tersendiri.

Secara spesifik, jika dukungan Aa Gym ini kembali jatuh ke Prabowo seperti di tahun 2014, kubu kandidat nomor urut 01, Joko Widodo berpotensi akan lebih berat langkahya di Pilpres 2019. Hal ini terutama jika melihat riwayat politiknya yang lebih lekat dengan Prabowo. Pada titik ini, jika Aa Gym bersikap lebih netral, maka pengaruh dan otoritas politiknya juga akan lebih ternetralisir karena tidak jatuh ke kubu manapun.

Aa Gym sendiri mengaku bahwa dirinya punya pilihan politik dan tidak mengambil jalan netral. Hanya saja, hingga saat ini, ia tidak mengungkapkan kepada publik siapa yang menjadi pilihannya tersebut. Ia menilai bahwa saat ini sebagai mubalig, ia lebih baik mengajak masyarakat agar menciptakan suasana Pilpres yang sejuk.

Pada akhirnya, tuah politik Aa Gym jelas merupakan hal yang terlalu kuat jika tak dimaksimalkan salah satu kubu. Dengan tak mengungkapkan pilihannya, Aa Gym tentu bisa menjaga keseimbangan, sehingga tak ada kubu yang merasa lebih kuat. Akan tetapi, publik tetap saja ingin tahu siapa kandidat yang jadi pilihan hatinya. Lalu, siapakah kandidat yang menjadi pilihan Aa Gym? (H33)

Exit mobile version