Site icon PinterPolitik.com

Pemerintah Pahami Corona sebagai Black Swan?

Pemerintah Pahami Corona sebagai Black Swan?

Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan (kiri) bersama Menko Polhukam Mahfud MD (tengah) dan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto dalam rapat bersama Badan Anggaran DPR pada Senin, 22 Juni 2020. (Foto: Beritasatu)

Sejak awal, berbagai pihak menilai pemerintah tidak memiliki rencana jangka panjang untuk menghadapi pandemi Covid-19. Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan juga pernah menyebutkan bahwa pemerintah memang tidak siap menghadapi pandemi. Lantas, mungkinkah pemerintah memahami pandemi sebagai black swan?


PinterPolitik.com

Persis pada tanggal 1 Januari 2020, penduduk DKI Jakarta dan sekitarnya dikejutkan dengan bencana banjir hebat. Benar-benar seperti kejutan, setelah semalam menghelat pesta penyambutan tahun baru, beberapa jam setelahnya hujan deras justru menjadi balasan.

Jika boleh mengait-ngaitkan, boleh jadi banjir yang terjadi di awal tahun tersebut seperti tanda akan adanya bencana hebat, yakni pandemi Covid-19. Tentu kita sepakat, pandemi yang saat ini menghancurkan berbagai sendi kehidupan merupakan bencana yang mungkin tidak pernah dibayangkan akan terjadi sebelumnya.

Pada 24 Maret lalu, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan juga telah menegaskan bahwa pemerintah memang tidak siap menghadapi pandemi. Lanjutnya, memang tidak ada negara yang siap menghadapi kondisi ini. Negara besar seperti Amerika Serikat (AS) bahkan disebut kesulitan dalam menghadapi pandemi yang tengah terjadi.

Pengakuan Luhut tersebut juga terlihat dari kebijakan penanganan pandemi pemerintah yang terlihat lebih bersifat responsif daripada terencana. Akan tetapi, konteks ini memang perlu sedikit dimaklumi. Pasalnya, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang dijadikan rujukan pengambilan kebijakan juga melakukan blunder di awal pandemi. Yang paling jelas tentunya terkait kebijakan WHO yang pada awalnya meminta penggunaan masker hanya bagi mereka yang sakit.

Saat ini, setelah sebelumnya diributkan perihal dilema antara kesehatan dan ekonomi, pemerintah tampaknya lebih memfokuskan diri pada persoalan ekonomi. Kendati tidak diakui secara lugas, pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) baru-baru ini tampaknya menjadi pembenaran tersendiri. Tegasnya, lockdown jangan dilakukan karena akan mengorbankan kehidupan masyarakat.

Suka atau tidak, pernyataan Presiden Jokowi tersebut memang benar adanya. Pasalnya, dengan situasi ekonomi saat ini, melakukan lockdown justru akan memperparah situasi sosial-ekonomi yang dapat memicu gejolak. Terlebih lagi, memberlakukan lockdown saat ini juga sudah terlambat karena virus sudah terlanjur menyebar luas.

Dengan situasi serba tidak pasti di tengah pandemi, kebijakan adaptif semacam itu tentunya menjadi opsi yang harus diambil. Selain itu, menegaskan bahwa pandemi merupakan black swan adalah pembenaran yang memadai atas kebijakan responsif yang ada. Namun, pertanyaannya, benarkah pandemi Covid-19 merupakan black swan?

Black Swan

Istilah black swan dipopulerkan oleh Nassim Nicholas Taleb dalam bukunya yang berjudul The Black Swan pada 2007 lalu. Seperti namanya, istilah tersebut bertolak dari peristiwa mengejutkan setelah ditemukannya angsa hitam pada abad ke-18 di Australia. Padahal, selama ini diyakini bahwa angsa mestilah berwarna putih.

Atas peristiwa tersebut, black swan kemudian didefinisikan sebagai peristiwa yang luput dari segala prediksi karena kelangkaannya yang ekstrem, dan ketika terjadi memiliki konsekuensi bencana yang begitu besar. Taleb misalnya mencontohkan krisis keuangan 2008 sebagai angsa hitam karena fenomena tersebut seolah luput dari prediksi berbagai pihak, termasuk oleh para ahli ekonomi.

Justin Yifu Lin dan Volker Treichel dalam tulisannya The Unexpected Global Financial Crisis: Researching Its Root Cause juga menyebutkan bahwa krisis keuangan 2008 merupakan krisis yang tidak diduga oleh berbagai ekonom. Bahkan pada April 2007, International Monetary Fund (IMF) dalam World Economic Outlook juga menyimpulkan bahwa risiko krisis ekonomi global telah menjadi sangat rendah, sehingga tidak ada kekhawatiran besar akan terjadinya hal tersebut.

Lantas, apakah pandemi Covid-19 layak disebut sebagai black swan?

Evan A. Laksmana dalam tulisannya Why the Covid-19 Pandemic was a ‘Strategic Surprise’ for Indonesia memberi penegasan bahwa pandemi Covid-19 di Indonesia bukanlah black swan. Menurutnya, para ilmuwan, ahli epidemiologi, dan pakar kesehatan global telah memperingatkan tentang pandemi selama bertahun-tahun.

Hal tersebut bertolak atas berbagai bencana kesehatan yang telah terjadi sebelumnya seperti Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) ataupun Ebola. Dengan adanya bencana kesehatan yang terus terjadi dalam sejarah manusia, sudah seharusnya berbagai pihak menyadari bahwa bencana kesehatan baru mestilah akan terjadi di masa depan.

Oleh karenanya, alih-alih menyebut Covid-19 sebagai angsa hitam, Evan lebih condong menyebut Covid-19 sebagai strategic surprise. Berbeda dengan angsa hitam yang tidak dapat diprediksi, strategic surprise adalah sesuatu yang sebenarnya dapat diprediksi, namun tetap terjadi karena kurangnya persiapan.

Senada dengan Evan, Bernard Avishai dalam tulisannya The Pandemic Isn’t a Black Swan but a Portent of a More Fragile Global System, dengan mengutip langsung pernyataan Taleb juga menegaskan bahwa pandemi Covid-19 bukanlah angsa hitam, melainkan bentuk dari kerapuhan sistem global. Taleb misalnya mencontohkan pada bulan Januari ketika virus masih terfokus di Tiongkok, berbagai pihak justru tidak melakukan langkah pencegahan. 

Dengan kata lain, seperti yang dijelaskan oleh Evan, besarnya dampak pandemi di Indonesia tampaknya terjadi karena pemerintah memang tidak menyiapkan diri dengan baik. Namun, jika kita melihat gelagat peraturan yang ada sebelum Covid-19 diidentifikasi di Indonesia, pemerintah tampaknya lebih ke “meremehkan” virus ini.

Menjadi Pembenaran?

Sampai saat ini memang tidak terdapat pernyataan tegas dari pemerintah untuk menyebutkan bahwa pandemi Covid-19 adalah black swan. Akan tetapi, dengan Luhut yang menegaskan bahwa tidak terdapat negara yang siap, sedikit tidaknya itu dapat dibaca bahwa pemerintah tampaknya memahami pandemi sebagai sesuatu yang tidak terprediksi.

Jika benar demikian, seperti yang pernah dilakukan oleh Luhut, maka mudah saja nantinya bagi pemerintah untuk melakukan pembenaran terkait kurang baiknya penanganan pandemi Covid-19 dengan merujuk pada black swan. Pasalnya, black swan tidak hanya merujuk pada sesuatu yang luput dari prediksi, melainkan juga pada peristiwa yang memiliki dampak yang besar.

Saat ini, untuk menangani pandemi yang telah memberikan dampak sosial-ekonomi yang besar, pemerintah tampaknya berfokus untuk mengatasi masalah ekonomi karena vaksin yang dinilai sebagai senjata ampuh diperkirakan tersedia di awal tahun depan.

Bagaimana pun, seperti yang disebutkan oleh Taleb, pandemi Covid-19 yang sebenarnya menunjukkan kerapuhan sistem sudah seharusnya menjadi pembelajaran ke depannya. Menurut Taleb, sistem yang diisolasi dari risiko pada akhirnya menjadi lebih rentan terhadap bencana dalam menghadapi peristiwa langka yang tidak dapat diprediksi. Oleh karenanya, risiko terburuk harus selalu diandaikan ada dalam setiap sistem.

Seperti dalam pribahasa Latin, “Qui desiderat pacem, bellum praeparat“. “Siapa yang menginginkan perdamaian, maka bersiaplah untuk perang“. Kendati perang mungkin adalah pilihan terakhir, namun opsi tersebut tentunya harus tetap dijaga.

Pada akhirnya, di tengah situasi yang sudah terlanjur terjadi seperti saat ini, kita hanya dapat berharap bahwa pemerintah dapat mengakhiri pandemi dengan segera. Kita pun juga harus terlibat aktif dengan mengikuti protokol kesehatan dan tidak mengulang kesalahan dengan meremehkan Covid-19. (R53)

Exit mobile version