Di cuitannya yang terbaru, Rizal Ramli menyatakan bahwa Prabowo-Sandi memenangi Pilpres 2019. Rizal mengutip omongan dari seorang perwira TNI AD yang mendapatkan data dari Babinsa. Jenderal Andhika Perkasa membantah, kabar itu bohong semata.
Pinterpolitik.com
[dropcap]J[/dropcap]ika Twitter Rizal Ramli (RR) mencuitkan kemenangan Prabowo-Sandi, tidak ada yang baru dan mengagetkan. Namun yang teranyar, Rizal mengatakan bahwa klaim tersebut tidak berasal dari dirinya, tetapi dari TNI. Sang Letkol TNI AD yang memberitahu pada RR menyatakan bahwa data tersebut berasal dari Babinsa (Bantara Pembina Desa).
Sang perwira bersama dengan isterinya menyerukan agar Rizal terus bersuara keras, sebab ada kecurangan dan sudah keterlaluan.
Menanggapi hal tersebut, Kepala Staf Angkatan Darat, Jenderal Andhika Perkasa menggelar konferensi pers dan menyatakan bahwa informasi yang diterima oleh Rizal Ramli tidak benar. Dia juga mengatakan bahwa TNI tidak memiliki akses ke formulir C1.
Yang menarik adalah mengapa TNI kemudian yang ditarik oleh Rizal Ramli, tentu perkara perhitungan suara adalah perkara teknis, lembaga survei juga lingkar kajian politik tentu lebih arif dijadikan rujukan oleh Rizal Ramli dalam konstestasi politik.
Sementara itu, dia justru membawa lembaga yang netral. Lembaga yang bahkan lingkup kerjanya adalah di bidang keamanan, bukan politik, seperti pemilu 2019. Dan lembaga yang dibawa tersebut mengungkap keberpihakan pada Prabowo-Sandi yang selama ini dia dukung.
Militer dalam Politik
Di masa Orde Baru, militer memiliki kekuasan yang begitu eksesif, dia tidak hanya berfungsi sebagai alat keamanan, namun juga alat politik. Ini tak terlepas dari bagaimana manuver Soeharto untuk memperkokoh kekuasaannya, dengan jalan menjadi Presiden sekaligus Panglima ABRI dan Menhankam.
Sejarah panjang militer di Indonesia bermula dari orde lama yang menjadikan TNI AD menerima kekuasaan sipil semenjak 1949. TNI memiliki tanggung jawab terhadap bangsa dan negara, ini disebut sebagai “Jalan Tengah”. Pada tahun 1957, TNI AD memperlebar kekuasaannya di ekonomi dan administrasi politik.
Harold Crouch (2007) di bukunya yang berjudul The Army and Politics in Indonesia, menyatakan bahwa tentara adalah entitas yang mampu menentukan kebijakan dan arah negara hingga tingkat yang paling tinggi. Dan bahkan bisa melampaui parlemen dan kekuatan lain sebut Haramain.
Krusialnya militer dalam politik bahkan melahirkan Panglima Tertinggi TNI, Presiden pemegang kuasa ini. Jabatan ini berlaku dari Soekarno hingga Jokowi. Bukan tupoksi lain yang dipilih semisal ekonomi, namun militer, menandakan TNI adalah kekuatan tersendiri dalam politik bernegara.
Pada tahun 1966, TNI kemudian terus bertransformasi sebagai kekuatan yang lebih besar, dengan rencana stablisasi politik dan ekonomi negara. Di masa Soeharto, hal ini diresmikan secara kelembagaan, tidak lagi perorangan. Sehingga jabatan strategis dari menteri, gubernur, lembaga legislatif, perusahaan milik negara, hingga peradilan diisi oleh ABRI.
Barusan belanja buah di supermaket. Didatangi ibu2 dan bapak yg saya tidak kenal. Ibu2 katakan, “Pak Ramli harus bicara lebih keras, ini sudah ndak benar ! Kemudian datang seorang LetKol AD, “Pak ini sudah kebangetan, laporan2 Babinsa PS sudah menang. Bahkan di komplex Paspamres!
— Dr. Rizal Ramli (@RamliRizal) May 5, 2019
Kekuatan politik Soeharto bertumpu pada hal ini, terlebih dia melihat masyarakat sebagai yang fungsional, masyarakat dipilah berdasarkan fungsi kerjanya di sosial. Yang jika disatukan akan membentuk satu Golongan Karya yang disokong dibelakangnya oleh militer.
Senjata dan sistem komando dijadikan Soeharto sebagai alasan demi masuknya militer di tingkat politik, hal ini demi memperbaiki kondisi ekonomi negara. Di saat itu militer dianggap sebagai stabilitator, dwi-fungsi ABRI menjadi pegangan militer dari tingkat atas hingga bawah.
Gerak masyarakat akhirnya bisa senada, berkat militer Orba, di mana struktur kekuasaan berlangsung menggunakan komando atas-bawah, birokrasi menjadi alatnya. Di sanalah kemudian militer terus merangsek ke masyarakat dan akan dirasakan sangat nyata oleh masyarakat ketika mereka memilih Golkar sebagai yang terafiliasi dengan militer sebagai pilihannya di pemilu. Wilayah mereka akan dikedepankan dalam pembangunan ekonomi.
Namun sejarah panjangnya bersama kita membentuk satu konsepsi yang magis di tubuh militer. Militer berhasil mengusir penjajah, sebuah kekuatan lokal yang mampu menandingi kekuatan yang menggempur Indonesia, militer menjadi dewa keselamatan. Di zaman Orba, militer menjelma masuk bersama rakyat, dia turut membangun ekonomi masyarakat, maka dia menjadi dewa kemakmuran.
Torehan sejarah ini yang menjadikan seluruh kerja militer selalu diamini oleh masyarakat. Terlebih setelah dia dilucuti di masa reformasi, militer tetap memiliki sumber daya yang tidak dimiliki sipil, jejaring dan kekuatan yang mampu ditransformasikan dalam bentuk apapun termasuk politik. Tak heran jika militer bahkan ikut membangun infratruktur dan bersama membantu petani.
Militer masih memiliki kuasa di negeri ini, untuk sampai bahkan ke pelosok negeri. Militer disebar di seluruh Indonesia, hingga paling terpencil. Dia bisa dikatakan tahu segalanya, dan mencakup semuanya. Dia adalah perwajahan dari kekuatan ultima dari imaji masyarakat soal sosok kuat yang menaungi masyarakat.
Namun yang jelas bahwa tidak semua yang dikatakan oleh TNI adalah kebenaran, dia adalah insitusi biasa. Bias kebenaran ini muncul sebab adanya label kemistisan yang tersemat dalam lembaga TNI. Bahwa TNI serba tahu, dan serba benar. Terlebih soal pemilu, menurut pasal 390 UU Nomor 7 tahun 2017 TNI dan polisi tidak memiliki hak untuk merekap hasil perhitungan suara.
Selain itu, bahwa Prabowo sendiri memiliki kedekatan dengan militer. Dia adalah lulusan militer, mantan ketua Kopassus, sebuah lembaga elite. Seorang militer pangkat atas juga biasanya memiliki loyalis yang tidak sedikit. Hal ini membuat sebagian orang percaya bahwa militer cenderung akan dengan mudah jika harus mendukung Prabowo.
Prabowo-Sandi menang hasil hitungan TNI, kata Rizal Ramli. Share on XMemboncengi Pikiran Masyarakat
Hal yang tidak nampak dari pernyataan Rizal Ramli bahwa dia sejatinya sedang memboncengi pikiran masyarakat yang memang sedari dahulu selalu mengidolakan militersime. Segala tindakan TNI akan selalu dianggap benar, bahkan TNI yang melakukan tindak kekerasan juga akan dirasionalisasi oleh masyarakat.
Terlebih ini dalam situasi yang masih sangat runyam, meski ada kecenderungan kuat ke salah satu kubu, namun dengan tetap ngeyelnya kubu oposisi dengan kecurangan yang terjadi, maka memberikan informasi dari lembaga yang dipuja oleh masyarakat, dianggap netral dan dekat dengan Prabowo tentu akan lebih baik. Di tengah isu bahwa Pemerintah sedang bermain dengan KPU, maka TNI adalah lembaga yang paling pas untuk dibawa.
Di sisi lain, memang TNI sendiri masih memiliki kuasa yang begitu besar hingga hari ini, sebab mereka adalah orang-orang yang memegang senjata, merekalah kekuatan politik sesungguhnya. Sehingga secara naluriah mereka mau tidak mau adalah lembaga yang akan selalu terseret ke pusaran politik, apapun alasannya.
Unsur penciptaan kontrak sosial, yang berbentuk negara hari ini bahkan mengandaikan keamanan sebagai basis dari asumsi tersebut. Sebab manusia ingin aman, manusia tidak ingin berkonflik. Maka superioritas keamanan harus diciptakan. Asal muasal dari bernegara adalah soal membentuk sistem keamanan. Disanalah lembaga militer di manapun berada tumbuh bersama dengan politik itu sendiri.
Maka dari unsur kemagisan, kekuatan militer, adanya angin ketidakpercayaan pada pemerintah, dan kesadaran masyarakat yang masih mengidolakan militer dibaca oleh Rizal Ramli, dan seperti biasa layaknya seorang ekonom, yaitu bekerja memberikan stimulus, demi mendapatkan respons yang sesuai dengan keinginannya. (N45)