Jumlah TKI asal NTT di luar negeri mencapai 1 juta orang, namun dari jumlah tersebut, 800 ribu di antaranya adalah TKI illegal. Artinya, 80 % dari jumlah seluruh TKI asal NTT adalah illegal.
PinterPolitik.com
“Every single tomato has a story. It’s a story of transnational families and shattered dreams” – Evelyn Encalada, peneliti dunia kerja.
[dropcap size=big]P[/dropcap]embicaraan tentang Tenaga Kerja Indonesia (TKI) sepertinya akan tetap menjadi cerita yang menarik untuk dibicarakan – seperti ‘tomat’ yang dianalogikan oleh Evelyn Encalada. Menjadi pekerja di negara orang dengan harapan akan upah yang lebih baik dan masa depan yang cerah sepertinya masih menjadi mimpi bagi banyak orang Indonesia yang memutuskan untuk menjadi TKI. Sayangnya, tidak semua mampu mencapai mimpi tersebut, bahkan tidak sedikit yang harus berakhir di liang lahat.
Kabar terbaru, pada Sabtu, 29 April 2017 lalu, 1 orang lagi TKI asal NTT meninggal di Malaysia. Yakobus Makola (28), TKI asal Kampung Korea, Desa Oenak, Kecamatan Noemuti, Kab Timor Tengah Utara (TTU), NTT, meninggal di Serawak, Malaysia. Yakobus bekerja di Perusahaan WTK Refo yang bergerak di bidang kayu dan kertas, di Sungai Asap, Serawak, Malaysia. Ia diketahui meninggal karena pendarahan hebat di bagian otak, sehingga darah terus keluar melalui mulut dan hidung, demikian dikutip dari laman Kompas.com.
Kabarnya, keluarga Yakobus tidak memiliki biaya untuk memulangkan jenazahnya, sehingga Yakobus kemungkinan akan dimakamkan di Malaysia. Keluarga juga takut dua saudara Yakobus yang lain akan dikeluarkan dari perusahaan kalau jenazahnya dipulangkan ke Indonesia.
Yakobus Makalo menambah daftar panjang TKI yang meninggal di luar negeri, khususnya yang berasal dari provinsi NTT. Yakobus menjadi TKI asal NTT ke-29 yang meninggal di luar negeri dalam 4 bulan terakhir antara Januari hingga April 2017. Sebelumnya telah ada 28 TKI asal NTT lain yang meninggal di luar negeri.
Jumlah ini sudah lebih dari separuh jumlah keseluruhan TKI asal NTT yang meninggal di luar negeri pada tahun 2016 yang mencapai 49 orang – menurut data dari Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BP3TKI) Kupang. Dari 49 orang tersebut, diketahui hanya 7 orang yang berangkat secara legal. Sementara, rilis lain dari BBC Indonesia, menyebutkan total ada 54 orang TKI asal NTT yang meninggal di luar negeri pada tahun 2016 lalu.
Untuk 4 bulan pertama di tahun 2017, sudah 29 orang yang meninggal dan yang memprihatinkan, 27 orang di antaranya merupakan TKI yang berangkat secara illegal.
Kasus-kasus kematian tersebut dan fakta bahwa mayoritas TKI asal NTT yang meninggal tersebut merupakan TKI illegal menimbulkan pertanyaan, ada apa dengan NTT? Mengapa semakin banyak TKI asal NTT yang berangkat secara illegal?
NTT: Produsen TKI Ilegal?
Faktanya, NTT masih menjadi salah satu provinsi pengirim TKI terbesar di Indonesia – saat ini menduduki peringkat ke-9. Tercatat setiap tahunnya NTT mengirim antara 2.000 hingga 5.000 orang TKI ke luar negeri – lewat jalur resmi tentunya. (Baca: Dilema Pejuang Devisa) Sementara jumlah TKI asal NTT yang sudah bekerja di luar negeri diperkirakan mencapai angka 1 juta orang.
Ketua DPR RI, yang juga merupakan wakil rakyat dari daerah pemilihan (dapil) NTT, Setya Novanto, dalam kunjungannya ke Kantor Pelayanan Terpadu TKI di Kupang pada November 2016 lalu pernah mengatakan bahwa jumlah TKI asal NTT di luar negeri mencapai 1 juta orang, namun dari jumlah tersebut, 800 ribu di antaranya adalah TKI illegal. Artinya, 80 % dari jumlah seluruh TKI asal NTT adalah illegal. Adapun mayoritas TKI asal NTT bekerja di Malaysia.
Tentu saja fakta ini mengejutkan. Artinya, setiap tahun banyak warga NTT yang berangkat ke luar negeri lewat jalur illegal. Bahkan dalam skala nasional, NTT dianggap sebagai pemasok TKI illegal terbanyak di Indonesia. Maka, tidak heran kasus-kasus kematian paling sering menimpa TKI asal NTT, khususnya yang berangkat lewat jalur ilegal – terlepas banyak TKI lain yang mengalami kekerasan atau kasus kematian yang tidak wajar.
Padahal, jika lewat jalur resmi, TKI akan dicek kesehatannya dan kondisi fisiknya serta berangkat lewat jalan dan jalur aman. Dengan demikian, frekuensi kasus-kasus kematian yang selama ini terjadi bisa diminimalisir. Selain itu, TKI juga akan terjamin keamanan dan keselamatannya di negara tujuan.
Kemiskinan Membuat Perempuan NTT Mudah ‘Dimangsa’ Calo TKI: Ketika merantau ke Malaysia dan me… http://t.co/8sEK3doYSY Via @Berita_NTT
— BERITA NTT (@Berita_NTT) August 11, 2015
BNP2TKI dalam keterangannya pada September 2016 lalu juga menyebutkan bahwa pengiriman TKI asal NTT lewat jalur resmi dan tercatat oleh BNP2TKI berkurang hingga 1.000 orang per tahun. Tahun 2016 misalnya, hanya ada 1.016 orang TKI asal NTT yang tercatat berangkat ke luar negeri. Sementara, pengiriman TKI lewat jalur illegal justru berpotensi terus meningkat. Hal ini tergambar dari semakin seringnya kasus-kasus kematian dan kasus-kasus lain yang menimpa TKI illegal asal NTT.
Proyek Bernama ‘TKI’
Banyak alasan mengapa TKI asal NTT lebih sering berangkat ke luar negeri lewat jalur illegal. Faktor yang paling sering terjadi adalah karena ketiadaan kelengkapan yang dibutuhkan untuk berangkat ke luar negeri, misalnya KTP, Kartu Keluarga (KK), Passport, serta syarat-syarat lainnya. Sementara untuk mengurus hal-hal tersebut seringkali membutuhkan waktu yang lama, dan biaya yang tidak sedikit. Seringkali, TKI pun masih ditipu atau diperas oleh oknum pemerintah.
Polisi Gagalkan Pengiriman Empat TKI Ilegal Asal NTT ke Malaysia https://t.co/7jfNHhKgqq
— SINDOnews (@SINDOnews) April 10, 2017
Karena alasan itulah banyak TKI asal NTT yang akhirnya mengalihkan pandangan pada calo yang mengiming-imingi ‘berangkat dengan aman tanpa perlu susah-susah mengurus syarat-syarat yang rumit’. Padahal, tidak sedikit yang ditipu dan diberangkatkan secara illegal. Saat ini terdapat banyak calo TKI yang beroperasi di NTT. Ada yang bahkan menawarkan jasanya secara door to door atau dari pintu ke pintu. Bahkan, seringkali calo-calo tersebut adalah keluarga dari para TKI sendiri.
Penulis berasal dari NTT, dan berdasarkan pengamatan dan pengalaman penulis, calo-calo TKI itu bahkan ada yang membuat papan-papan identitas atau baliho di rumah-rumah tinggal mereka dengan mencantumkan nama PJTKI (Perusahaan Jasa TKI) atau PPTKIS (Pelaksana Penempatan TKI Swasta) tertentu. Tulisan ‘Jasa Pengiriman TKI’ terpampang besar dengan nama PPTKIS tertentu – yang seringkali merupakan PPTKIS illegal.
Catatan dari BNP2TKI, hanya ada 3 PPTKIS resmi yang beroperasi di NTT. Namun, faktanya terdapat lebih banyak yang beroperasi secara tidak resmi. Beberapa waktu lalu pihak kepolisian sempat menggerebek PT Sere Multi Pertiwi di Kota Kupang, salah satu PJTKI yang diduga tidak punya izin operasi.
Kasus lain yang sering terjadi adalah penipuan yang dilakukan oknum PJTKI atau calo yang memberangkatkan TKI lebih dari jumlah yang diuruskan surat-suratnya. Fakta-fakta ini menggambarkan masih seringnya TKI dijadikan sebagai proyek oleh oknum-oknum tidak bertanggungjawab. Bahkan tidak sedikit TKI yang kemudian terjebak dalam perdagangan manusia.
TKI NTT dan Sandera Pembangunan Ekonomi
Fenomena ini tidak akan terjadi seandainya pembangunan ekonomi di NTT berjalan dengan baik. Faktanya, saat ini angka kemiskinan di NTT masih tinggi. Tahun 2014, angka kemiskinan di NTT masih 19,8 % terhadap jumlah keseluruhan penduduk NTT, atau sekitar 1 juta jiwa. Jumlah ini lebih tinggi dari angka kemiskinan nasional yang ada di kisaran 10 %.
Sementara pada saat yang sama, ketersediaan lapangan kerja sangat terbatas. Angka putus sekolah juga masih tinggi.
Data dari BNP2TKI pada tahun 2015 lalu menyebutkan bahwa 99% TKI asal NTT yang bekerja di luar negeri adalah mereka yang hanya tamat SD dan SMP. Hal tersebut disampaikan oleh Kepala BNP2TKI, Nusron Wahid, saat berkunjung ke NTT pada pertengahan tahun 2015 lalu.
Sementara itu, di sisi lain NTT masih menjadi salah satu provinsi terkorup di Indonesia. Pada tahun 2015 lalu, ICW merilis daftar provinsi terkorup di Indonesia, dan NTT menempati peringkat keempat. Fakta ini tentu memprihatinkan, mengingat kemiskinan itu seolah terjadi secara sistematis karena kondisi sosial-politik dan mental pemerintahan yang korup.
Jumlah penduduk NTT tahun 2016 sebanyak 5.203.514, sementara angka pengangguran mencapai 3,25 % dari total keseluruhan populasi (169.114 orang). Dengan pertumbuhan ekonomi daerah sebesar 4,77 %, atau lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi nasional, pemerintah daerah jelas berharap ketersediaan lapangan kerja mampu menopang ekonomi. Faktanya, ketersediaan lapangan kerja di NTT masih sangat terbatas. Oleh karena itu, tidak heran banyak yang memilih untuk menjadi TKI.
Bagi yang berkesempatan mengenyam pendidikan hingga bangku kuliah, umumnya hanya ada dua jurusan favorit bagi para orang tua di NTT untuk menyekolahkan anak-anaknya. Dua jurusan itu adalah guru dan perawat. Faktanya memang dua jurusan itulah yang cukup terbuka dari sisi lapangan pekerjaan di NTT. Selain dua jurusan itu, apa lagi pekerjaan yang lebih menjanjikan, selain menjadi TKI di luar negeri. Dengan iming-iming gaji di atas 6 juta rupiah per bulan, tentu saja banyak orang yang berminat. Sisanya, bagi yang beruntung, bisa mencari penghidupan di luar daerah.
Semua hal tersebut menggambarkan bahwa persoalan TKI di NTT merupakan perpanjangan dari persoalan ekonomi di daerah tersebut. Para TKI tersandera problem ekonomi serta birokrasi yang korup. Oleh karena itu, selama akar persoalan tersebut tidak diselesaikan, maka permasalahan TKI illegal tidak akan bisa diselesaikan secara tuntas.
Fakta bahwa masalah ini masih saja terus terjadi juga menunjukkan bahwa tidak ada good willing atau niat baik dari birokrat lokal. Pemerintah dan aparat di NTT masih sering membiarkan masalah ini berlarut-larut, bahkan ada rumor dan selentingan bahwa ada oknum pemerintah dan aparat penegak hukum yang justru mengambil keuntungan dari masalah ini.
Selentingan itu beralasan jika melihat beberapa kasus yang pernah terjadi, misalnya yang menimpa Brigadir Polisi Rudy Soik yang dipecat atasannya gara-gara menyelidiki kasus perdagangan manusia? Brigpol Rudy Soik juga kabarnya ditangkap setelah tampil di acara Mata Najwa yang disiarkan oleh Metro TV.
Rudy Soik seperti bertempur seorang diri di NTT melawan human trafficking. Isunya tak meluas ke nasional. Saya respect sekaligus sedih.
— Kokok Dirgantoro (@kokokdirgantoro) May 29, 2016
Masalah ini harus diperhatikan dengan lebih serius, baik oleh pemerintah daerah maupun oleh pemerintah pusat. Calo-calo harus ditertibkan, dan kalau perlu diberikan sanksi hukum yang tegas. Selain itu, perlu ada sosialisasi dan pendampingan yang lebih intens kepada masyarakat yang ingin menjadi TKI. Para TKI yang sudah terlanjur berangkat secara illegal juga perlu didata dan diberikan prioritas untuk pengurusan dokumen-dokumen yang diperlukan.
Memang, akan ada banyak kesulitan, terutama untuk meyakinkan masyarakat dengan tingkat pendidikan yang terbatas agar mengikuti cara-cara yang resmi. Mayoritas masyarakat di NTT selalu menganggap urusan-urusan yang berhubungan dengan birokrasi sebagai hal yang rumit, bertele-tele, dan kadang takut ditipu atau dipersulit. Hal-hal semacam ini bisa diubah jika ada niat baik dari pemerintah daerah sendiri untuk meyakinkan masyarakat terkait kemudahan pengurusan hal-hal tersebut – hal yang juga sering ditegaskan oleh Presiden Jokowi sendiri.
Meningkatnya kasus kematian TKI asal NTT ini harus menjadi catatan penting untuk perubahan. Selama niat untuk perbaikan ekonomi dan mental birokrasi tidak terjadi, akan makin banyak Yakobus lain yang meninggal di luar negeri. Pada akhirnya, seperti analogi ‘tomat’ yang dipakai Evelyn Encalada di awal, cerita tentang TKI dari NTT tidak selalu berujung di peti mati. (S13)