Dari imej sederhana dan rendah hati, berubah menjadi sosok dinamis dan enerjik, Jokowi sedang mencoba menggaet massa anak muda?
PinterPolitik.com
[dropcap]P[/dropcap]enampilan Jokowi dengan moge berjenis Chopper saat touring di Sukabumi, menjadi bahan perbincangan masyarakat selama berhari-hari. Bagaimana tidak? Dirinya seakan berusaha menghidupkan sosok ‘Dilan’ yang saat ini menjadi prototipe lelaki idaman sebagian besar perempuan zaman now. Strategi politik Jokowi tersebut, bagaimana pula, perlu diapresiasi dan diteliti lebih jauh.
Menghadapi Pemilihan Presiden 2019 mendatang, Jokowi (dan timnya) barangkali sadar bahwa sosok sederhana dan rendah hati tak lagi relevan dengan dirinya. Penjagaan ketat dan segala fasilitas nomor satu yang didapat seorang presiden, tak lagi mudah dihubungkan dengan kata ‘sederhana’ yang menjadi penandanya pada Pilpres 2014 lalu. Perlu kiat khusus untuk tetap relevan, namun tak menghilangkan suara pendukung yang lama, dan menarik bagi pemilih muda.
Langkah Jokowi menggaet suara anak muda penting. Sebab Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah memperkirakan bahwa jumlah presentase pemilih muda berkisar di angka 30% hingga 35% dari total jumlah pemilih yang mencapai 196, 5 juta. Bila dijabarkan lagi, angka ini berkisar di antara 60 sampai 70 juta. Ini pun belum termasuk 7 juta pemilih pemula.
Melihat angka-angka di atas, memenangkan suara pemilih muda menjadi penting bagi Jokowi dalam Pilpres 2019. Bila hendak mengingat ke belakang, dirinya hanya menang tipis dari Prabowo dengan marjin 9 juta suara. Menggaet massa muda, berarti memiliki ‘senjata’ awal yang mumpuni untuk memulai kembali duel dengan Prabowo di Pilpres 2019.
Demi menggaet massa yang besar tersebut, pemakaian atribut yang lekat dengan anak-anak muda urban terlihat jelas dari keberadaan moge bergaya Chopper, jaket jeans, sepatu sneaker, aktivitas vlog (video blogging), hingga memperlihatkan hobinya pada musik metal dan rock. Peralihan ini, bisa dikatakan sebagai strategi re-branding Jokowi sebagai seorang politisi.
Apa yang dilakukan Jokowi dan timnya ini, pernah dijelaskan oleh Jennifer Lee-Marshment, profesor ilmu politik dari Universitas Auckland. Citra dan personalitas pemimpin dapat dibentuk oleh proses branding. Pembentukan branding itu juga bermanfaat membantu politisi mengubah dan memelihara reputasi serta dukungan dari publik.
Tak hanya itu, branding politik juga kerap melibatkan sisi emosional, sehingga masyarakat bisa terkesan dan tertarik mengikuti suatu figur dan tokoh. Hal ini, paling mudah diperlihatkan lewat penampilan gaya rambut, hingga pakaian, hingga gestur.
Apa yang disebutkan oleh Marshment, sangatlah menggambarkan keadaan Jokowi dalam menggaet massa mudanya. Nah, di sini Jokowi tidak sendiri. Politisi berpengaruh dari negara lain, yakni Justin Trudeau pun menempuh hal yang sama saat awal berkampanye di tahun 2016 sebagai calon Perdana Menteri. Berkat pemilih muda, dirinya memenangkan Pemilu.
Branding Politik Anak Muda ala Trudeau
Trudeau harus berterima kasih kepada para pemilih milenial yang memenangkannya sebagai Perdana Menteri (kedua) termuda sepanjang sejarah Kanada. Menjaring dukungan dari para milenial memang konsisten dilakukan Trudeau sepanjang masa kampanye politiknya. Partai Liberal, di mana dirinya berasal, mengembangkan kampanye media yang menargetkan ketertarikan para pemilih berumur 18 – 24 tahun. Hal itu, terlihat dari kebijakan-kebijakan seperti, legalisasi mariyuana, ketersediaan pekerjaan, pelestarian alam, pendidikan murah, dan dukungan terhadap LGBTQ.
Trudeau tak perlu susah-susah mengendarai moge, memakai jeans jaket, hingga vlogging untuk menang. Dirinya punya modal di penampilan yang tampan dan mengesankan, serta latar belakang keluarga yang menarik. Justin Trudeau adalah anak tertua dari Perdana Menteri (PM) Kanada periode tahun 1968 – 1979 dan 1980 – 1984, yakni Pierre Trudeau. Ayahnya adalah salah satu PM dengan jabatan terpanjang, yakni 15 tahun 164 hari.
Belum lagi ibunya yang sangat disukai oleh media Kanada. Margaret Trudeau dianggap sebagai penggambaran dari Putri Diana versi ‘bahagia’. Ibunya dikenal sebagai perempuan menarik, rebel, dan cenderung membenci kehidupan protokol negara. Hal ini terbukti dari caranya memasuki simposium resmi Meksiko untuk meneriakkan hak-hak perempuan serta memakai jeans di acara kenegaraan Havana, Kuba. Beberapa cerita pernah menyebut bila dirinya pernah dekat dengan Mick Jagger. Latar belakang ini, ditambah dengan branding Trudeau yang muda, enerjik, playfull, dan tentunya tampan, membuat anak-anak muda tertarik dengan sosoknya. Hal tersebut berpadu dengan kebijakan inklusif, seperti pro imigran dan feminisme, latar belakang keluarga, serta penampilan yang mengesankan, akhirnya mengeluarkan Partai Liberal dan sosok Trudeau menjadi dominan di Kanada.
Branding politik yang ditempuh Trudeau untuk menggaet anak muda memang sepatutnya ditiru Presiden Jokowi jika ingin memenangkan hati para milenial. Penampilan, seperti halnya pakaian yang dikenakan, kendaraan yang diperlihatkan, hingga gestur yang enerjik, memang punya andil mengulik sisi emosional anak muda karena merasa diperhatikan dan relevan terhadap suatu figur politik.
Tetapi, branding politik yang sangat cakap seperti Trudeau pun, juga terancam tak bertahan lama bila ternyata terlalu kaku memakai ‘topeng’-nya.
Kini, saat sudah terpilih menjadi Perdana Menteri, Trudeau malah mengalami penurunan popularitas secara signifikan. Citra sebagai PM tampan dan inklusif memang tak lepas, tetapi pilihan politiknya banyak mengundang pertanyaan. Seperti misalnya dukungannya pada pembangunan jalur pipa minyak dari tanah Alberta yang melewati Kanada ke AS, dianggap oleh reporter Bill Mckibeen sebagai bentuk dukungan pada perusakan lingkungan yang paling parah di Bumi. Dirinya juga menuai kritik tajam karena mengundang makan malam seorang ekstrimis Sikh saat berkunjung ke India. Padahal, saat itu segregasi terhadap kalangan Sikh sangatlah sensitif.
Layaknya aktor seperti yang disebut Erving Goffman, seorang sosiolog asal Kanada, Justin Trudeau ternyata tak mampu bermetamorfosis ke dalam berbagai macam karakter. Dari branding politik serta topeng yang dibangunnya, ia ternyata belum mampu membuat popularitasnya bertahan lama karena kebijakan yang diambilnya berseberangan dengan branding politik yang dibangunnya selama ini.
Tak Ada yang Baru
Apa yang dilakukan Trudeau dan Jokowi memang bukanlah hal yang baru. Seperti apa yang pernah dikatakan oleh King Solomon atau Nabi Sulaiman, tidak ada hal yang baru di bawah matahari (and there is no new thing under the sun), strategi branding menggaet massa muda dilakukan demi mendulang suara saat pemilihan berlangsung, baik di Kanada maupun Indonesia.
Walau begitu, strategi yang sama belum tentu melahirkan hasil yang sama pula. Strategi branding politik ini sudah terbukti berhasil pada Trudeau di masa kampanyenya, walau pada akhirnya dukungan perlahan merosot. Sementara pada Jokowi, hal ini belum terlihat secara signifikan. Saat ini, anak-anak muda memang lebih condong memilih Jokowi daripada Prabowo, seperti yang diberitakan oleh CSIS, namun suara-suara tersebut masih terus bisa berubah.
Seperti yang disebutkan oleh Marshment sebelumnya, permainan branding politik memang memainkan sisi emosi yang kental. Dan permainan secara ‘emosional’ ini pun, punya peluang besar pula menggerakan opini maupun pilihan tertentu.
Tetapi branding politik pun lekat pula dengan jargon kosong dan topeng pencitraan. Bila mampu mengesani pemilih muda, tetapi nihil menjalankan janji, maka tak menutup kemungkinan Jokowi hanya akan berakhir gigit jari seperti halnya Trudeau. (A27)