Dengan kondisi politik saat ini, mengalahkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) adalah pekerjaan yang sangat berat bagi Prabowo Subianto jika ingin maju lagi pada Pilpres 2019. Namun, peluang akan ada jika isu ekonomi digunakan dengan maksimal.
PinterPolitik.com
“Tersenyumlah di depan kesulitan, hinalah bahaya, berani hadapi kekalahan, dan murah hati saat menang”.
– Sumitro Djojohadikusumo (1917-2001) –
[dropcap]P[/dropcap]ortal South China Morning Post (SCMP) mengeluarkan tulisan tentang peluang kembali bertarungnya Jokowi dan Prabowo. Tulisan berjudul Prabowo vs Widodo: What Makes General Think Indonesian Election Will Be a Case of Second Time Lucky? membeberkan peluang kemenangan Prabowo jika kembali bertarung melawan Jokowi pada Pilpres 2019 – sekalipun ihwal kembali bertarungnya purnawirawan jenderal itu pun masih dipenuhi tanda tanya. Hal ini juga menimbulkan pertanyaan terkait apakah peluang untuk memenangkan dirinya cukup besar.
Jika berkaca pada kondisi saat ini, popularitas dan elektabilitas Jokowi sangat sulit terbendung. Hampir semua lembaga survei menempatkan Jokowi sebagai kandidat yang diunggulkan, baik secara elektabilitas maupun dari tingkat kepuasan terhadap kinerja. Dengan kondisi yang serupa, maka apa yang terjadi pada Pilpres 2014 lalu berpeluang terulang kembali dan Jokowi akan kembali keluar sebagai pemenang kontestasi tersebut.
Sementara itu, Indonesia makin terpuruk. Selama 3 bulan terakhir neraca perdagangan RI mencatat defisit. Impor lebih besar dari ekspor. Rupiah pun melemah.
Devisa negara terkuras
RI gunakan segala cara utk raih komitmen utang dari IMF & Bank Dunia
RI diambang krisis ekonomi
— Irene (@IreneViena) March 23, 2018
Padahal, jika berkaca pada kondisi pasca Pilkada Jakarta 2017 lalu, Prabowo sempat berada “di atas angin” dan secara politik lebih kuat dari Jokowi berkat kemenangan kadernya di ibukota. Namun, lambat laun elektabilitas Prabowo terus turun, bahkan hingga saat ini jauh tertinggal dibandingkan Jokowi.
Penurunan kekuatan politik Prabowo juga dipercaya menjadi alasan mengapa Ketua Umum Partai Gerindra itu terlihat “enggan” segera mengumumkan pencapresan dirinya kembali. Ada banyak faktor yang dipercaya menjadi penyebab sikap Prabowo ini, namun faktor kekuatan politik Jokowi dianggap sebagai salah satu perhitungan utama Prabowo.
Jika demikian, mungkinkah Prabowo mengalahkan Jokowi di 2019?
“Pedang” Ekonomi, Senjata Pamungkas Prabowo
Mengalahkan Jokowi adalah pekerjaan besar yang akan sangat sulit dilakukan oleh siapa pun lawan politik mantan Walikota Solo itu, termasuk juga Prabowo. Faktanya momentum Pilkada DKI Jakarta sepertinya akan sulit berlanjut pada Pilpres 2019.
Apalagi Jokowi telah “membentengi” dirinya dengan berbagai “penangkal” isu Suku, Agama, Ras, dan Antar-golongan (SARA) yang selama ini dianggap sebagai salah satu kelemahannya, katakanlah lewat Undang-Undang Ormas, pendekatan yang intensif dengan kelompok ulama, hingga berbagai kebijakan lainnya. Artinya, “dirty tricks” – demikian istilah yang digunakan oleh SCMP – akan sulit digunakan untuk melawan Jokowi.
Lalu, apakah itu berarti Jokowi tak terkalahkan? Tentu saja tidak. Isu ekonomi nyatanya adalah faktor yang paling masuk akal yang bisa digunakan untuk menyerang Jokowi.
Sekalipun membangga-banggakan berbagai program peningkatan kesejahteraan dan pembangunan infrastruktur, nyatanya Jokowi masih belum mampu mencapai target pertumbuhan ekonomi seperti yang dijanjikannya pada kampanye menjelang Pilpres 2014 lalu. Janji pertumbuhan ekonomi 7 persen sepertinya akan menjadi bumerang bagi Jokowi dan menjadi “makanan empuk” bagi kubu Prabowo untuk diotak-atik.
Tercatat, antara 2014-2017 pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak beranjak dari 5 persen, bahkan pada tahun 2015 sempat menyentuh angka 4,79 persen. Angka ini adalah yang terendah dalam 8 tahun terakhir. Pada titik ini, dari sisi pertumbuhan ekonomi, Jokowi jelas gagal mewujudkan janji kampanyenya.
Selain pertumbuhan ekonomi yang tidak mencapai target, pembangunan infrastruktur yang dibangga-banggakan Jokowi nyatanya belum berdampak langsung terhadap peningkatan pertumbuhan ekonomi. Padahal, dalam rencana panjang jangka menengah (RPJMN) 2015-2019, anggaran infrastruktur direncanakan mencapai Rp 4.700 triliun.
Adapun total anggaran untuk pos infrastruktur ada di kisaran 18-19 persen terhadap APBN setiap tahunnya. Pada 2015, total anggaran infrastruktur mencapai Rp 290 triliun, 2016 jumlahnya Rp 313 triliun, 2017 naik menjadi Rp 387 triliun, dan 2018 mencapai Rp 410 triliun. Artinya, selama berkuasa Jokowi telah menghabiskan Rp 1.400 triliun untuk program pembangunan infrastruktur.
Jika dibandingkan dengan persentase pertumbuhan ekonomi yang diraih, jelas bahwa tidak ada signifikansi antara peningkatan anggaran infrastruktur tersebut yang berbanding langsung terhadap pertumbuhan ekonomi – walaupun harus diakui bahwa pembangunan infrastruktur membutuhkan waktu. Namun, jika melihat dampak keekonomiannya secara langsung, jelas program ini belum mampu menstimulus ekonomi Indonesia.
Hal ini memang sempat diungkapkan oleh Wakil Ketua Gerindra sekaligus Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon. Ia menyebutkan bahwa Jokowi terlalu berfokus pada pembangunan infrastruktur yang nyatanya tidak menstimulus perekonomian. Ia kemudian menawarkan jalan pembangunan yang lebih berfokus pada sumber daya manusia melalui apa yang disebutnya people centered development. Walaupun demikian, Fadli tidak menjabarkan lebih lanjut gagasan yang masih sangat abstrak tersebut seperti apa bentuknya.
Selain itu, dari 245 proyek infrastruktur yang direncanakan akan dikerjakan selama 5 tahun pemerintahan Jokowi, hingga September 2017 baru 5 proyek yang selesai dikerjakan. Sementara itu, ada sekitar 130 proyek dalam tahap konstruksi, 12 proyek dalam proses transaksi, dan 100 proyek baru dalam tahap penyiapan.
Fakta ini jelas menggambarkan bahwa secara matematis bisa dipastikan target 245 proyek akan sangat sulit terpenuhi hingga akhir masa pemerintahan Jokowi. Apalagi jika berkaca dari fakta hanya 5 proyek yang baru diselesaikan hingga tahun ke 4 pemerintahan Jokowi atau mencapai 54 persen jika dijumlahkan dengan proyek yang sedang dalam tahap konstruksi. Padahal, anggaran negara yang telah dihabiskan untuk proyek-proyek ini bahkan telah mencapai 10 persen dari total Gross Domestic Product (GDP) Indonesia yang pada tahun 2016 berjumlah Rp 13.000 triliun lebih.
Dampak lanjutannya adalah tentu saja tentang peningkatan jumlah utang pemerintah. Hingga tahun 2017, total utang Indonesia telah mencapai Rp 4.636 triliun, naik hampir 4 kali lipat dibanding era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 2014 lalu yang hanya mencapai Rp 1.298 triliun. Bahkan, baru beberapa bulan di tahun 2018, utang Indonesia telah naik 10,3 persen lagi menjadi Rp 4.915 triliun.
Jangan terlena dengan ucapan yang mengatakan bahwa rasio utang Indonesia masih dalam tingkat aman. Utang harus tetap dipandang sebagai masalah serius.
Apa kata pendiri bangsa, jika kita hanya bisa mewariskan utang kepada anak cucu kita? #ParadoksIndonesia pic.twitter.com/onrXXvhcWI— Partai Gerindra (@Gerindra) March 22, 2018
Utang yang meningkat, anggaran infrastruktur yang terus meningkat, target proyek yang kemungkinan besar tidak akan tercapai, dan pertumbuhan ekonomi yang loyo tentu saja akan menjadi serangan yang ampuh jika dikemas dan diarahkan pada Jokowi.
Belum lagi jika berbicara mengenai kebijakan menteri-menteri Jokowi di bidang ekonomi yang terus menerus mendapatkan kritik. Misalnya, Menteri BUMN yang suka gonta-ganti direksi perusahaan, Menteri Perdagangan yang tidak mampu memperbaiki kinerja ekspor dan cenderung larut dengan kebijakan impor, hingga kebijakan-kebijakan pengetatan anggaran dan perpajakan ala Menteri Keuangan.
Selain itu, pengurangan subsidi BBM yang digeser ke sektor infrastruktur nyatanya meningkatkan harga-harga kebutuhan hidup masyarakat. Kenaikan tarif dasar listrik antara Januari hingga Mei 2017 misalnya juga mempengaruhi tingkat inflasi dan kenaikan harga-harga kebutuhan pokok.
Hal lain lagi misalnya yang berkaitan dengan penurunan daya beli dan keluhan-keluhan yang disampaikan oleh para pengusaha. Artinya, angka-angka pertumbuhan ekonomi Indonesia dan jumlah utang jelas tidak bisa membohongi. Jokowi jelas akan kesulitan jika diserang dengan isu ekonomi tersebut.
Kemasan adalah Kunci!
Jokowi jelas telah mempersiapkan tembok pertahanan untuk menghadapi serangan isu ekonomi tersebut. Oleh karena itu, kunci bagi Prabowo adalah bagaimana isu tersebut dikemas dan digunakan dengan sebaik-baiknya.
Timothy John Leigh Bell atau yang dikenal dengan Lord Tim Bell – ahli periklanan dan hubungan masyarakat – pernah mengatakan bahwa dalam Pemilu, hanya ada dua hal yang menjadi topik utama kampanye. Bagi oposisi, slogannya adalah “kita butuh perubahan”. Sementara bagi petahana, slogannya adalah “kita sudah mencapai hal yang bagus, jangan biarkan ada yang merusaknya”. Sisanya hanyalah hal-hal detail biasa.
Yang jelas, pemahaman akan slogan kampanye tersebut membuat Lord Tim Bell sukses memenangkan Margaret Thatcher (1925-2013) dalam 3 kali Pemilu.
Kesuksesan Thatcher tersebut terjadi berkat strategi politik yang dilaksanakan oleh tim kampanyenya dengan jurus “serangan tanpa henti”. Hit first, hit harder, and keep on hitting. Demikianlah strategi kampanye untuk memenangkan Thatcher “The Iron Lady”.
Prabowo bisa berkaca dari strategi ini. Jika ingin mengalahkan Jokowi, maka serangan-serangan kampanye yang masif dan terus menerus perlu dipikirkan, terutama dalam isu ekonomi. Jika kembali menggunakan isu SARA, hal tersebut justru berpotensi mendatangkan dampak buruk bagi Prabowo sendiri. Bagaimanapun juga, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) adalah tokoh dengan latar belakang yang berbeda dibandingkan Jokowi. Artinya, isu SARA akan menjadi kurang efektif untuk digunakan.
Kalau baca sejarah..
Akhir tahun 80an itu Yogoslavia yg multietnik bubar krn gagal bayar utang (lalu bangkrut) dan terjadi disharmoni bangsa..
Bukan pesimis, tp itu bisa jd peringatan untuk berbenah agar Indonesia tidak senasib dgn Yugoslavia..Prabowo ingatkan itu#Jasmerah
— Young Lawyer (@dusrimulya) March 22, 2018
Mengalihkan pada isu ekonomi boleh jadi akan jauh lebih efektif. Persoalannya tinggal bagaimana mengemas isu itu. Hal ini juga bisa dilakukan dengan melakukan evaluasi terhadap kinerja Jokowi secara keseluruhan.
Pada akhirnya, semuanya tergantung pada Prabowo dan tim kampanyenya. Walaupun SCMP juga pesimis dan mengatakan bahwa hanya kasus korupsi-lah isu yang bisa menjatuhkan Jokowi, namun Prabowo bisa membalik kelemahan tata kelola ekonomi Jokowi menjadi fokus kampanye utama. Pertanyaannya adalah apakah Prabowo mau menggunakan strategi tersebut? Menarik untuk ditunggu. (S13)