Site icon PinterPolitik.com

2030: Saudi, Indonesia, Michael Porter

Kunjungan Raja Salman bin AbdulAziz Al-Saud ke Indonesia telah berakhir. Selain melakukan penandatanganan kerjasama bilateral dengan pemerintah dan berlibur di Bali, kedatangan Raja dari Arab Saudi ini juga untuk memperkenalkan Visi Saudi 2030 ke negara-negara Asia, termasuk Indonesia.


pinterpolitik.com

“Kami (generasi yang lebih muda) berpikir dengan cara yang berbeda. Mimpi-mimpi kami pun berbeda.” ~ Mohammed bin Salman, Wakil Putra Mahkota Arab Saudi

Euforia kedatangan rombongan Raja Salman bin AbdulAziz Al Saud dari Arab Saudi awal Maret lalu, telah mulai mereda. Ada banyak peristiwa dan pro kontra menyertai kunjungan kenegaraan yang baru pertama kalinya setelah 47 tahun tersebut, termasuk kabar diperpanjangnya liburan Raja Salman di Bali selama tiga hari.

Walau hasil dari lawatan Raja Arab Saudi ini di luar ekspektasi, karena jumlah investasi yang digembar-gemborkan akan mencapai US$ 25 miliar, ternyata hanya terealisasi sebesar US$ 1 miliar atau sekitar Rp 13 triliun saja. Namun Indonesia ternyata cukup gembira dengan ditandatanganinya 11 nota kesepahaman diberbagai bidang.

Dibalik semua itu, kegiatan tur Asia yang dilakukan Raja Salman beserta para pangeran dan menteri-menterinya tersebut, juga terselubung adanya misi lain. Saat berbincang dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi), Raja Salman menjelaskan mengenai transformasi perekonomian negaranya, melalui fase transisi yang disebut sebagai “Visi 2030”.

“Saya yakin, Indonesia dapat menjadi mitra strategis dalam upaya mencapai visi 2030 Arab Saudi, yaitu melalui kerjasama ekonomi yang erat sebagai sesama negara Muslim,” kata Presiden Jokowi di Istana Bogor, Jawa Barat, Rabu (1/3), mengenai penilaiannya terhadap penjelasan Raja Arab Saudi tersebut.

Melepas Ketergantungan Minyak Bumi

Visi 2030 merupakan konsep transisi ekonomi jangka panjang Saudi, yaitu berupa pembentukan sovereign wealth fund atau lembaga investasi. Tujuannya adalah untuk melepaskan ketergantungan Saudi dari minyak bumi, termasuk melakukan privatisasi Aramco,  membangun industri militer, memperkuat real estate, mencegah korupsi, dan upaya meningkatkan kunjungan wisatawan ke Saudi hingga mencapai 80 juta di tahun 2030.

Visi ini juga merupakan respon dari merosotnya harga komoditas sejak tiga tahun lalu. Harga minyak bumi yang sebelumnya mencapai US$ 120 per barrel, anjlok hingga menyentuh harga terlemah, yaitu US$ 30, sampai akhirnya stabil di nilai 40-an dollar. Penurunan harga minyak bumi yang sangat signifikan ini, ternyata cukup menggoyang perekonomian Saudi.

Tahun lalu saja, anggaran Saudi mengalami defisit US$ 98 miliar, dan tahun ini diperkirakan US$ 87 miliar. Cadangan devisa negara tersebut juga merosot dari US$ 746 miliar pada 2014, menjadi US$ 616 miliar saat ini. Penurunan pendapatan ini, kemungkinan akan berkelanjutan karena harga minyak bumi diprediksi akan terus rendah hingga tahun depan.

Seperti diketahui, perekonomian Saudi masih sangat bergantung pada pendapatan dari penjualan minyak bumi. Penduduknya mendapatkan subsidi yang sangat besar dari pemasukan tersebut, sebab mereka memiliki cadangan minyak terbesar di dunia, yaitu mencapai 267 miliar barrel dan potensinya diperkirakan 900 miliar barrel.

Sebenarnya, bukan kali ini saja Pemerintah Saudi melontarkan gagasannya untuk mendiversifikasi perekonomian. Apalagi Visi 2030 tersebut dipandang sangat ambisius oleh beberapa pejabat di dalam negeri. Mohammed menargetkan peningkatan penerimaan non-minyak meningkat hingga US$ 160 miliar pada 2020, dan US$ 267 miliar di 2030, dari hanya US$ 43,6 miliar di tahun lalu.

Meski begitu, pasar internasional menyambut positif rencana yang intinya membangun Dana Investasi Umum senilai US$ 2 triliun tersebut. Dana ini berasal dari penjualan saham perusahaan minyak Aramco yang jumlahnya kurang dari 5 persen, nilainya diperkirakan akan mencapai US$ 2-2,5 triliun.

Walau perekonomian Indonesia memiliki kesamaan dengan Saudi, yaitu sebagai negara pengekspor minyak dunia dan memiliki ketergantungan pada komoditas minyak. Namun perekonomian Indonesia masih lebih stabil, sehingga mampu mempertahankan pertumbuhan ekonomi di angka lima persen. “Semoga semester ini menjadi titik balik untuk naiknya kembali perekonomian kita,” harap Presiden Jokowi, di Istana Negara.

Indonesia Tahun 2030

Saat ini, Indonesia memang belum semakmur Saudi. Namun beberapa lembaga riset internasional yakin kalau Indonesia akan menjadi salah satu negara maju pada 2030. Baik Lembaga Riset McKinsey Global Institute dan Standard Chartered, sama-sama memprediksi Indonesia akan mengalami transisi sebagai negara maju.

Posisi Indonesia yang naik ke peringkat 28 di tahun 2000, diperkirakan akan ‘melompat’ menjadi nomor 5 dunia, bersama Tiongkok, Amerika Serikat, India, dan Brazil. Prediksi ini dibenarkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang juga memproyeksikan Indonesia akan menjadi negara dengan kekuatan ekonomi ketujuh terbesar dunia pada 2030. “Saat ini pun, Indonesia sudah cukup diperhitungkan dunia,” ujarnya.

Namun Sri Mulyani memberikan catatan, peluang itu bisa diraih Indonesia kalau pemerintah mampu mengelola perekonomian nasional dengan baik. Menurutnya, sebagai negara dengan sumber daya alam melimpah, peluang untuk menjadi motor penggerak ekonomi dunia bisa terwujud. Apalagi, Indonesia juga didukung bonus demografi yang relatif besar.

Bahkan dibanding Tiongkok, tingkat populasi Indonesia jauh lebih memberikan kontribusi terhadap perekonomian global. “Walaupun Tiongkok saat ini kekuatan ekonomi terbesar kedua, prospeknya akan sangat menantang karena dihadapkan pada kondisi demografi yang menua. Ini yang menyebabkan Tiongkok mengalihkan ekonominya ke sektor yang high value added,” terangnya.

Karena itu, perencanaan kebijakan yang matang haruslah menjadi prioritas pemerintah ke depan. Sri Mulyani mengatakan, meskipun berpeluang menjadi salah satu negara dengan kekuatan ekonomi terbesar, bukan berarti jalan untuk menuju ke arah sana lebih mudah. “Pemerintah terus melakukan upaya untuk membuat potensi negara ini terealisasi. Tapi kami juga menghadapi berbagai tantangan,” akunya.

Visi 2030 Menurut SBY

“Saya yakin bahwa dalam abad ke-21 ini, Indonesia akan mampu menjadi negara yang maju dan sejahtera,” kata mantan Presiden SBY saat meluncurkan buku yang berisi pemikirannya tentang pertumbuhan Indonesia 15 tahun mendatang, pada tahun 2007. Buku tersebut, menunjukkan keseriusan pemerintah dalam meningkatkan perekonomian Indonesia di tahun 2030.

Menurut SBY, pemikiran yang tertuang dalam buku “Kerangka Dasar Visi Indonesia 2030” ini memiliki visi dan misi yang sama dengan semangat UU No.17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025. “Kedua pemikiran tersebut memiliki semangat yang sama, tujuan yang sama, dan akan mempermudah kerja sama kita semua,” ujarnya.

Kerangka dasar Visi Indonesia 2030 ini dihimpun oleh Yayasan Indonesia Forum yang diketuai Chairul Tanjung, dan memiliki empat kerangka pencapaian. Pertama, Indonesia akan masuk dalam lima besar kekuatan ekonomi dunia dengan tingkat pendapatan per kapita sebesar 18.000 dollar Amerika Serikat (AS) per tahun. Ini berarti, Indonesia berada di posisi setelah Tiongkok, India, AS, dan Uni Eropa.

“Kedua, tahun 2030, sedikitnya 30 perusahaan Indonesia masuk daftar 500 perusahaan besar dunia. Ketiga, adanya pengelolaan alam yang berkelanjutan dan keempat, terwujudnya kualitas hidup modern yang merata,” terang Chairul yang menilai Indonesia kini masih berada pada kelompok negara berpendapatan menengah ke bawah.

Menurutnya, posisi ini akan bertahan hingga tahun 2015. Setelah itu, Indonesia masuk sebagai negara berpendapatan menengah ke atas. “Industrialisasi menjadi katalisator akumulasi modal menuju negara maju dengan kontribusi terbesar dari sektor jasa,” paparnya lagi.

Visi Indonesia 2030 mengasumsikan pencapaian itu terealisasi jika pertumbuhan ekonomi riil rata-rata 7,62 persen, laju inflasi 4,95 persen, dan pertumbuhan penduduk rata-rata 1,12 persen per tahun. Pada 2030, dengan jumlah penduduk sebesar 285 juta jiwa, produk domestik bruto (PDB) Indonesia mencapai 5,1 triliun dollar AS.

Namun, untuk mewujudkan visi itu, Yayasan Indonesia Forum mensyaratkan tercapainya tiga keharusan. Pertama, ekonomi berbasis keseimbangan pasar terbuka dengan dukungan birokrasi yang efektif. Kedua, adanya pembangunan berbasis sumber daya alam, manusia, modal, serta teknologi yang berkualitas dan berkelanjutan. Ketiga, perekonomian yang terintegrasi dengan kawasan sekitar dan global.

Visi 2030 Versi Nawa Cita

Indonesia diprediksi akan mendapatkan bonus demografi pada tahun 2020-2030. Bonus demografi adalah jumlah usia angkatan kerja dengan usia 15-64 tahun mencapai 70 persen. Sedangkan 30 persen penduduknya adalah berusia tidak produktif  yaitu usia 14 tahun ke bawah dan di atas 65 tahun.

Dalam penelitiannya selama enam bulan, McKinsey menemukan karakteristik pertumbuhan ekonomi Indonesia ternyata berbeda dengan negara macan Asia lainnya. Bila negara maju Asia seperti Tiongkok besar karena ditunjang ekspor yang tinggi, Indonesia lebih banyak diuntungkan dari konsumsi domestik dalam negeri yang sangat besar. Sedangkan kontribusi PDB Indonesia dari komoditas ekspor hanya 11 persen.

Besarnya konsumsi domestik inilah yang menjadi salah satu faktor bagi Indonesia, untuk dapat menstabilkan laju pertumbuhan perekonomiannya. Sehingga tujuan menggapai Indonesia sebagai negara maju bukanlah sebuah mimpi. Saat ini, lembaga tersebut menyatakan kalau Indonesia sudah berada di jalur yang benar. Walau hingga kini, masih banyak komponen bangsa yang percaya kalau Indonesia akan menjadi negara maju.

Sebagai penerus tampuk pimpinan, Presiden Jokowi juga telah menyatakan komitmennya untuk mencapai impian Indonesia sebagai negara maju dalam 15 tahun mendatang. “Momentum ini hanya sampai 15 tahun ke depan, kalau kita tidak bisa memanfaatkan, maka kita hanya akan tinggal di landasan saja,” katanya di Jakarta, Minggu, 24 Juli 2016.

Visi 2030 versi Jokowi ini kemudian dikenal sebagai Nawa Cita. Target pertumbuhannya disesuaikan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals, SDGs) yang telah disahkan oleh PBB di New York, September 2015. Visi misi dari Nawacita ini sendiri, menurut Jokowi mengutamakan kerjasama global.

Ada sembilan agenda prioritas yang diharapkan akan menjadi prioritas dan sebagai jalan perubahan menuju Indonesia yang berdaulat secara politik, serta mandiri dalam bidang ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan.

Pertama, adalah melindungi dan memberikan rasa aman seluruh warga melalui politik luar negeri bebas aktif, keamanan nasional yang terpercaya dan pembangunan pertahanan negara Tri Matra terpadu yang dilandasi kepentingan nasional dan memperkuat jati diri sebagai negara maritim.

Kedua, Membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis, dan terpercaya, dengan memberikan prioritas pada upaya memulihkan kepercayaan publik pada institusi-institusi demokrasi dengan melanjutkan konsolidasi demokrasi melalui reformasi sistem kepartaian, pemilu, dan lembaga perwakilan.

Ketiga, membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan. Empat, menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan terpercaya. Kelima, meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia melalui peningkatan kualitas pendidikan dan pelatihan.

Enam, meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional sehingga bangsa Indonesia bisa maju dan bangkit bersama bangsa-bangsa Asia lainnya. Tujuh, mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik.

Delapan, melakukan revolusi karakter bangsa melalui kebijakan penataan kembali kurikulum pendidikan nasional dengan mengedepankan aspek pendidikan kewarganegaraan. Sembilan, memperteguh kebhinnekaan dan memperkuat restorasi sosial Indonesia melalui kebijakan memperkuat pendidikan kebhinnekaan dan menciptakan ruang-ruang dialog antarwarga.

Walau tidak menyebutkan secara rinci angka dan target yang akan dicapai, namun Jokowi mengatakan akan terus mengambil sejumlah langkah, seperti deregulasi ekonomi, serta percepatan pembangunan infrastruktur dan reformasi bidang hukum. “Deregulasi untuk menyelesaikan kerumitan dalam pengambilan keputusan terus kita lakukan. Sehingga kita dapat mengambil keputusan dengan efisien dan cepat,” jelasnya.

Visi Generasi Muda Saudi

Kembali ke Visi Saudi 2030, gagasan ini bukan datang dari  anak tertua Raja Salman, yaitu Wakil Putra Mahkota Muhammed bin Salman Al Saud. Pangeran dari istri ketiga Raja Salman ini, juga menjabat sebagai Dewan Urusan Ekonomi dan Pembangunan Arab Saudi. Di usianya yang menginjak 31 tahun, Muhammed disebut-sebut sebagai putra mahkota termuda di dunia yang sangat mungkin menggantikan posisi ayahnya kelak.

“Kami tidak akan membiarkan negara kami menjadi korban volatilitas (jarak dari naik turunnya) harga komoditas atau pasar luar,” tegas Mohammed saat mengumumkan visi 2030, di Istana Riyadh, 25 April 2016. Ia menilai, negaranya sudah terlalu lama ‘kecanduan’ minyak, akibat menjadi negara eksportir minyak terbesar di dunia. Untuk mengakhiri kecanduan ini, ia berniat menjual saham perusahaan minyak Saudi Aramco pada publik.

Muhammed berharap, Saudi Aramco bisa divaluasi menjadi lebih dari US$ 2 triliun atau sekitar Rp 24,6 ribu triliun, setelah menjual sekitar 5 persen sahamnya lewat penawaran saham perdana atau IPO. Ia juga berencana untuk menaikkan modal dana investasi publiknya menjadi 7 triliun riyal  atau sekitar Rp 24 ribu triliun dari sebelumnya, yaitu 600 miliar riyal atau sekitar Rp 2,11 ribu triliun.

Rencana ini secara tidak langsung juga akan mengubah tata struktur sosial kerajaan ultrakonservatif itu, salah satunya melalui upaya mendorong kaum perempuan agar dapat berperan lebih besar dalam perekonomian. Bila saat ini perempuan Saudi tidak boleh keluar rumah tanpa seizin atau ditemani lelaki muhrimnya, di masa datang, perempuan Saudi akan diperbolehkan untuk mengendarai kendaraannya sendiri.

Sikap optimisme dan keyakinan Muhammed mengenai visi ini, diperlihatkan dengan adanya jaminan kalau visi yang ia gagas tersebut akan memberikan jawaban dari masalah sosial di Saudi. Khususnya bagi kaum muda yang menghadapi ancaman pengangguran dan kemunduran ekonomi, kendati negeri mereka kaya minyak.

Walau Saudi negara yang terlihat kaya raya, namun para ekonom menganggap kebijakan fiskal dan struktur ekonominya tidak tumbuh berkelanjutan. Banyaknya pengurangan pendapatan dari penjualan minyak bumi, telah membuat Pemerintah Saudi melihat transformasi ekonomi sebagai tindakan yang mendesak untuk dilakukan.

Sejalan dengan itu, di masa datang kemungkinan besar Saudi pun mulai mentransformasi sosial budaya penduduknya. Mohammed mengatakan, generasinya adalah generasi pertama dalam Dinasti Al Saud yang menggunakan jaringan internet dan video game. “Kami punya cara berpikir dan impian yang beda sekali,” terang pria kelahiran 31 Agustus 1985 ini.

Raja Salman sendiri sangat mendukung rencana putra sulungnya tersebut, salah satunya dengan merombak susunan kabinet pemerintahan. Visi 2030 ini pun langsung disetujui oleh Lembaga Kabinet Arab Saudi dan dikenal sebagai Rencana Transformasi Nasional untuk 15 tahun ke depan.

Mempertahankan Daya Saing

Saat harga minyak dunia membumbung tinggi selama tahun 2003 hingga 2013, Arab Saudi berhasil memberikan kesejahteraan ekonomi bagi masyarakatnya dan menjadi perekonomian terbesar ke-19 di dunia. Produk domestik bruto mereka bertambah dua kali lipat, pendapatan rumah tangga melonjak sampai 75 persen, dan 1,7 juta lapangan kerja tercipta, termasuk bagi kaum hawa.

Pemerintah Saudi mengalokasikan dana sangat besar di sektor pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan cadangan devisa sebanyak hampir seratus persen dari produk domestik bruto pada 2014. Namun di pertengahan tahun, harga minyak dunia mulai merosot tajam. Meskipun pengaruh penurunan harga minyak global terhadap sejumlah negara pemasok minyak terjadi secara bertahap, Saudi tetap yang paling terpukul.

Selain harus menanggung defisit anggaran yang sangat besar, rezim Al Saud juga menghadapi persoalan akibat membengkaknya biaya perang di Yaman dan Suriah. Alhasil, negara ini terpaksa mengambil cadangan devisa negaranya. Sayangnya, cadangan devisa tersebut juga tidak mampu memulihkan kondisi buruk finansial Saudi.

Visi 2030 Saudi ini, berdasarkan teori keunggulan daya saing atau competitive advantage yang diungkapkan Michael E. Porter, adalah upaya Saudi untuk mempertahankan kesejahteraan negerinya, dengan mempertahankan keunggulan daya saing atau competitive advantage. Menurut Porter, daya saing suatu negara ditentukan oleh kemampuan industri melakukan inovasi dan meningkatkan kemampuannya.

Perusahaan memperoleh keuntungan daya saing karena tekanan dan tantangan yang tengah dihadapi. Perusahaan menerima manfaat dari adanya persaingan di pasar domestik, supplier domestik yang agresif, serta pasar lokal yang memiliki permintaan tinggi. Perbedaaan dalam nilai-nilai nasional, budaya, struktur ekonomi, institusi, dan sejarah, semuanya memberi kontribusi pada keberhasilan dalam persaingan.

Menurut Porter, inovasi akan mampu meningkatkan daya saing, baik dengan meningkatkan teknis proses produksi maupun kualitas produknya. Melalui struktur Diamond Model, faktor-faktor yang memungkinkan terjadinya Keuntungan Daya Saing Nasional (National Competitive Advantage) adalah faktor kondisi, kondisi permintaan, industri yang terkait dan pendukungnya, strategi perusahaan, struktur, dan persaingan. (Berbagai sumber/R24)

Exit mobile version