Dengarkan artikel ini:
Audio ini dibuat menggunakan AI.
Ekspektasi terhadap Anies Baswedan tampak masih eksis, terlebih dalam konteks respons, telaah, dan positioning kebijakan pemerintah. Respons dan manuver Anies pun bukan tidak mungkin menjadi kepingan yang akan membentuk skenario menuju pencalonannya di Pilpres 2029.
Merespons disahkannya UU TNI versi terbaru, Anies Baswedan memberikan telaah kritis. Bahasa yang digunakan cukup alus, khas seorang Anies Baswedan.
Intinya, Anies mempertanyakan mengapa perubahan UU itu seakan buru-buru digarap di DPR dan minim partisipasi khalayak yang komprehensif.
Selain itu, Anies pun mempertanyakan sekaligus menyatakan hal ideal tentang bagaimana agar TNI tetap fokus di tugas utamanya menjaga pertahanan.
Walaupun Pilpres 2029 masih cukup, ekspektasi, eksistensi, dan respons Anies di isu politik-pemerintahan yang krusial membuka satu proyeksi menarik, yakni mengenai positioning Anies menuju 2029. Tentu, mengingat Anies di Pilpres 2024 meraih peringkat dua.
Lalu, mengapa nama Anies bisa dikatakan tetap akan diperhitungkan di kontestasi elektoral 2029 mendatang?
โUji Oktan Bahan Bakarโ Anies
Anies tampak memiliki social fuel atau bahan bakar sosial yang cukup baik, yakni dengan tetap menjaga relasi dan dekat dengan ceruk suaranya di Pilpres 2024 lalu, terutama kelompok anak muda progresif.
Konsep social fuel yang mengadopsi social capital sebagaimana dikemukakan oleh Pierre Bourdieu dalam Language and Symbolic Power, mengacu pada modal sosial dan simbolik yang dapat menggerakkan seseorang dalam arena politik.
Bourdieu menekankan pentingnya habitus dan kapital simbolik dalam membangun legitimasi politik.
Dalam konteks Anies Baswedan, social fuel ini terbentuk dari kombinasi modal sosial, reputasi akademik, dan jejaring politik yang tampaknya masih kuat sejak Pilpres 2024.
Sekali lagi, salah satu elemen kunci dari social fuel Anies adalah kedekatannya dengan kelompok pemilih muda progresif.
Data dari Pilpres 2024 menunjukkan bahwa segmen pemilih ini memberikan kontribusi signifikan terhadap suara Anies. Jelas, bukan hal yang bisa dipandang sebelah mata saat melihat kemungkinan tren peningkatan jumlah pemilih muda yang kritis di 2029.
Karakter Anies yang mengedepankan narasi intelektual, santun, dan berbasis gagasan menjadikannya figur yang menarik bagi segmen ini.
Tantangan terbesar Anies adalah mempertahankan dan memperluas basis ini, terutama jika kelompok muda progresif mulai mencari figur baru dengan gagasan politik yang lebih segar.
Selain itu, relasi politik Anies masih bersifat cair. Koalisi yang mendukungnya di Pilpres 2024, seperti NasDem, PKB, dan PKS, kini merapat ke pemerintahan Prabowo-Gibran.
Hal ini kemudian menciptakan situasi di mana Anies tampak โsendirianโ dalam peta kekuatan politik nasional.
Meski demikian, ia tidak menunjukkan sikap oposisi yang frontal terhadap pemerintahan, melainkan lebih memilih jalur moderat dengan kritik yang konstruktif.
Strategi ini bisa menjadi keuntungan, yakni fleksibilitas, andai ia ingin membangun kembali jejaring politiknya tanpa harus berhadapan langsung dengan pemerintah saat ini.
Lalu, berkaca pada dinamika kontestasi elektoral terakhir di level daerah, relasi dengan PDIP bisa saja berkembang ke arah yang positif bagi Anies ke depan sejauh probabilitas Anies mendirikan partai politik sendiri masih tanda tanya.

PDIP adalah Koentji?
Pilkada Jakarta 2024 seakan membuka babak baru dalam relasi politik Anies dengan PDIP. Anies dinilai menjadi katalis dan faktor kemenangan Pramono Anung dan Rano Karno.
Hal ini membuktikan bahwa meskipun Anies dan PDIP pernah berada dalam rivalitas sengit sejak Pilkada Jakarta 2017 hingga masa pemerintahannya di Jakarta, kini terdapat peluang bagi keduanya untuk menjalin simbiosis politik yang lebih cair menuju 2029.
Dalam analisis politik elektoral, keberlanjutan suatu aliansi sangat bergantung pada kepentingan pragmatis dan konstelasi kekuatan.
PDIP, sebagai partai dengan struktur organisasi yang kuat, dinilai akan sangat mempertimbangkan relasi politiknya dengan Anies jika melihat potensi elektoralnya tetap besar di 2029.
Apalagi, jika PDIP merasa bahwa kandidat internal mereka tidak cukup kompetitif, menggandeng Anies bisa menjadi strategi rasional.
Namun, ada beberapa faktor penentu yang dapat memengaruhi relasi ini. Utamanya, sikap PDIP terhadap Pemerintahan Prabowo-Gibran serta variabel lainnya.
Pertama, jika PDIP tetap memilih berada di luar pemerintahan dan ingin membangun kekuatan oposisi yang solid, maka peluang kerja sama dengan Anies akan semakin besar.
Namun, andai PDIP justru mulai menunjukkan gelagat merapat ke pemerintah, maka posisinya bisa saja menjadi lebih sulit bagi Anies.
Kedua, suksesi kepemimpinan pasca Megawati Soekarnoputri kiranya akan menentukan arah politik PDIP. Jika Puan Maharani atau figur lain dari faksi yang lebih pragmatis mengambil kendali, maka kerja sama dengan Anies bisa lebih terbuka atau justru sebaliknya mengacu pada dinamika variabel pertama.
Ketiga, Prabowo diprediksi akan tetap menjadi decision maker utama dalam konstelasi politik 2029. Jika Presiden ke-8 RI itu memilih untuk maju kembali atau mengorbitkan sosok lain dari lingkarannya, maka akan ada polarisasi yang jelas antara kubu pemerintahan dan kubu oposisi.
Dalam skenario ini, Anies bisa diuntungkan jika mampu membangun poros alternatif dengan PDIP.
Keempat, faktor Joko Widodo (Jokowi) agaknya masih memiliki pengaruh kuat dalam politik nasional. Jika ia tetap menjadi kingmaker dan mengendalikan arah politik pasca 2024, maka posisi Anies juga akan bergantung pada bagaimana ia menavigasi relasinya dengan Jokowi.
Bagaimanapun, dukungan dan arah politik para elite lain di luar variabel di atas pun kiranya akan turut menentukan kiprah dan eksistensi Anies di 2029.
Jalan panjang menuju 2029 kiranya masih landai di permukaan, namun cukup menantang di balik layar.
Probabliltas bahwa Anies akan tetap menjaga posisi moderat dan mencoba membangun koalisi yang lebih luas dengan mengakomodasi berbagai kepentingan politik, termasuk dengan faksi-faksi dalam pemerintahan yang bisa beralih arah menjelang 2029 boleh jadi akan menentukan.
Tetapi, jika Anies terlalu lama dalam posisi chill tanpa aksi konkret, tak menutup kemungkinan dirinya akan kehilangan momentum.
Sebaliknya, jika ia terlalu agresif tanpa basis politik yang solid, ia bisa terjebak dalam permainan politik yang lebih besar dan sulit dikendalikan.
Interpretasi di atas bisa saja relevan dalam beberapa waktu ke depan. Tentu, akan sangat bergantung pada dinamika politik-pemerintahan yang terjadi. (J61)