Menjelang Pemilu 2024, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) justru kehilangan beberapa kader terbaik yang memutuskan keluar karena merasa tidak sejalan dengan langkah politik yang diambil partai belakangan ini. Lantas, apa yang sebenarnya terjadi?
Partai Solidaritas Indonesia (PSI) seolah sedang mengalami gejala “kepunahan” jelang kontestasi electoral 2024 pasca ditinggal sejumlah kader terbaiknya satu per satu.
Pertama kali mengikuti pemilihan umum (Pemilu) pada 2019 lalu. Partai politik (parpol) yang baru berdiri pada November 2014 ini sempat menarik perhatian publik, terutama para pemilih muda.
PSI memperkenalkan diri mereka sebagai partainya anak muda yang membawa gagasan para kaum milenial dan mengajak anak muda tidak apatis terhadap politik. Mereka bisa dikatakan muncul di waktu yang tepat karena pada Pemilu 2019, para pemilih muda memiliki jumlah yang besar dalam daftar pemilih tetap (DPT).
Wajar kemudian kemunculan mereka mendapatkan atensi yang baik dari publik tanah air. Gagasan mereka tampak mencerminkan semangat anak muda yang ingin membenahi politik negeri ini.
PSI kemudian terus menyuarakan gagasan mereka yang menjadi keresahan anak muda terhadap politik Indonesia belakangan ini. Mereka bercita-cita menjadi partai yang tidak tersandera oleh kepentingan politik lama, tidak punya beban sejarah yang buruk, antikorupsi, dan menentang aksi intoleran.
Pada Pemilu 2019, PSI tampil dengan para calon legistaltif (caleg) muda yang memiliki gagasan kekinian. Namun sayangnya, hal itu ternyata belum cukup meyakinkan publik untuk mewakili suara mereka di parlemen.
Partai yang kala itu diketuai Grace Natalie gagal tembus ke parlemen dalam pemilu 2019. PSI hanya memperoleh 1,89 persen suara nasional dan dinyatakan tidak lolos ambang batas parlemen atau electoral threshold yakni 4 persen.
Meski begitu, untuk partai yang baru pertama kali ikut pemilu dan juga diisi dengan nama-nama anak muda yang menawarkan hal baru, hal itu bukanlah sesuatu yang buruk. Perolehan suara mereka bahkan diatas Partai Hanura yang sebelumnya berhasil memperoleh kursi di parlemen.
Mereka sebenarnya punya modal baik untuk Pemilu 2024. Namun, dinamika yang terjadi di internal partai belakangan ini membuat mereka harus menata ulang strategi menghadapi pertarungan politik nanti.
Beberapa kader terbaik yang sebelumnya menjadi tumpuan PSI dalam Pemilu 2019 memutuskan keluar dari partai karena disinyalir tidak sejalan dengan langkah politik sang ketua umum (ketum) saat ini Giring Ganesha.
Giring sendiri mulai resmi menjabat Ketum PSI sejak November 2021, setelah sebelumnya ditunjuk menjadi pelaksana tugas (Plt) ketua umum pada Agustus 2020 ketika ketua umum saat itu Grace Natalie menempuh pendidikan magister di Singapura.
Lantas, mengapa di era kepemimpinan Giring tampak cukup banyak kader terbaik yang memutuskan keluar dari partai? Apa ini terjadi karena sosok Giring atau ada dinamika politik lain?
Giring Bawa Kehancuran?
Giring Ganesha, sang ketua umum PSI ini bukan nama yang asing di telinga masyarakat Indonesia. Namun, dia dikenal sebagai mantan vokalis band dan bukan sebagai politikus yang andal meskipun kini ia menjabat sebagai pimpinan salah satu parpol yang akan ikut dalam pesta demokrasi terbesar sepanjang sejarah Indonesia.
Di dunia politik, tindak-tanduk Giring justru sering membawa kontroversi. Mulai dari kritik keras kebijakan mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan hingga ingin mencalonkan diri sebagai presiden.
Giring jamak dinilai tidak memiliki wibawa yang kuat sebagai ketua umum. Kritiknya yang terkesan “membabi buta” terhadap sosok yang bersebrangan kiranya justru menimbulkan antipati di tengah masyarakat.
Perilaku politik Giring yang menjadi sorotan bukan membuat elektabilitas partai yang dia pimpin meroket. Tapi malah sebaliknya, PSI kerap mendapatkan preseden negatif dari masyarakat, terutama di media sosial, sebagai platform yang semestinya menjadi arena rengkuhan kekuatan PSI.
PSI era Giring dinilai terlalu konfrontatif, liberal, dan sangat agresif. Ini tidak sesuai dengan budaya politik Indonesia yang cenderung moderat.
Hal ini yang kemudian diduga membuat beberapa kader kunci PSI memutuskan mundur dari partai. Perbedaan pandangan dan tudingan bahwa Giring telah membawa PSI keluar dari visi misi partai diduga jadi beberapa faktor keluarnya beberapa kader PSI.
Selain itu, faktor lain diduga terkait prospek PSI yang bukan partai menjanjikan untuk para kader kunci melenggang ke kursi parlemen. Langkah politik partai selama ini juga dinilai tidak akan bisa membawa mereka menjadi anggota parlemen pada pemilu 2024 nanti.
Menurut Direktur Parameter Politik Indonesia (PPI) Adi Prayitno siapapun elitenya pasti akan lelah untuk menetap di partai yang tak kunjung lolos parlemen. Menurutnya, PSI harus segera berbenah jika tidak ingin lebih banyak lagi kader yang keluar dari partai.
Adi juga menambahkan, PSI butuh pemimpin yang berwibawa dan mempunyai rekam jejak kuat sebagai aktivis politik. Dia menilai wibawa ketua umum PSI saat ini kurang greget.
Muhammad Alfan Alfian Mahyudin dalam bukunya Menjadi pemimpin politik : Perbincangan kepemimpinan dan kekuasaan berpendapat bahwa seorang pemimpin politik harus paham benar etika politik, sehingga proses dan dinamika politik berjalan secara beradab.
Mengacu pada karakteristik atmosfer politik negara +62 yang dikemukakan Alfan, Giring sebagai ketua umum sebuah parpol harusnya bisa memberi contoh kepada kader-kadernya bagaimana beretika dalam politik. Terutama dalam melontarkan kritik terhadap sebuah kebijakan.
Bukan tidak mungkin, dari sisi internal, kader yang melihat gejala bahwa Giring membawa PSI menjauh dari visi misi partai akan semakin banyak angkat kaki.
Hal itu pula yang disinggung oleh Rian Ernest, salah satu kader kunci yang memutuskan keluar dari partai.
“Negara besar dan berpotensi luar biasa seperti Indonesia perlu cara-cara berpolitik yang lebih baik” begitu petikan pernyataan Rian Ernest dalam video pengunduran dirinya dari PSI pada 15 Desember lalu.
Dengan segala kecenderungan itu, cukup berat kiranya jika pada Pemilu 2024 nanti PSI tetap mengatakan bahwa mereka adalah partainya anak muda.
Lalu, apakah PSI perlu meninggalkan citra “clickbait” sebagai partai anak muda?
Beban Partai Milenial?
Mundurnya beberapa kader kunci PSI membuat mereka tampaknya harus bekerja keras dalam menghadapi Pemilu 2024. Evaluasi menjadi ihwal yang tampak harus segera dilakukan oleh PSI agar mereka bisa bersaing memperebutkan kursi parlemen.
Evaluasi tersebut agaknya harus dilakukan PSI secara menyeluruh, mulai dari pola komunikasi partai maupun branding yang diangkat. Kembali, tugas itu ada di pundak Giring sebagai ketum di mana dia harus melakukan konsolidasi internal di PSI untuk memperkuat visi misi partai.
Selain dilakukan agar situasi di internal partai tidak semakin memburuk, upaya untuk mencegah kader-kader lain juga ikut hengkang kiranya menjadi satu urgensi yang tak bisa dikesampingkan.
Terhitung sejak Giring menjadi ketum, sudah ada enam kader kunci PSI yang mundur, yaitu Tsamara Amany, Victor Sianipar, Azmi Abubakar, Sunny Tanuwidjaja, Surya Tjandra, dan yang terbaru Rian Ernest.
Berbagai macam “blunder” yang beberapa kali dilakukan oleh Giring tampaknya membuat PSI seolah mulai terbebani oleh citra yang diciptakan oleh PSI sendiri. Menurut pengamat politik Universitas Padjajaran (Unpad) Kunto Adi Wibowo masalah yang ada di PSI adalah seolah menjual ideologi anak muda tapi langkah-langkah politik yang diambil justru mencitrakan “boomers”.
Hal itu selaras seperti apa yang dikatakan oleh Michael Sianipar, mantan ketua Dewan Pengurus Wilayah (DPW) PSI DKI Jakarta yang menyebut PSI sudah berubah, punya masalah sistemik, dan sudah tidak seperti apa yang dicitrakan.
Ini seolah menjadi pemantik adanya perbedaan pandangan yang mendasar di dalam tubuh PSI. Perbedaan itu mungkin terjadi karena langkah politik sang ketua umum selalu memancing kontroversi dan dinilai tidak mencerminkan PSI.
Giring sebagai pemimpin yang membuat keputusan final kiranya harus segera membenahi internal PSI atau bahkan cara dirinya pribadi dalam berpolitik. Jika tidak dilakukan segera, PSI bukan tidak mungkin tidak akan pernah siap dalam pertarungan politik 2024 dan mimpi buruk gagal masuk parlemen pemilu 2019 akan terulang.
Seperti apa yang ditulis Sun Tzu, seorang ahli strategi perang asal Tiongkok, “Bila kalian memahami diri kalian dan musuh kalian, kalian tidak perlu takut akan hasil dari seribu pertempuran mendatang.” (S83)