Di ajang pameran industri pertahanan Indo Defence 2022 yang dihelat di Jakarta pekan lalu, Indonesia diketahui menyepakati kerja sama pertahanan masif dengan Turki. Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto agaknya ingin meniru negeri yang dipimpin Presiden Recep Tayyip Erdoğan untuk mengguncang dunia di 2024. Mengapa demikian?
Kementerian Pertahanan (Kemhan) RI di bawah komando Prabowo Subianto baru saja memberikan gestur politik pertahanan dengan Turki di sela agenda pameran pertahanan Indo Defence 2022 di Jakarta pekan lalu.
Ya, Menteri Pertahanan (Menhan) tampak menjadi pivot dalam penandatanganan kontrak kerja sama pertahanan dengan negara yang dipimpin Recep Tayyip Erdoğan untuk memodernisasi alutsista Indonesia.
Meski juga melakukan hal yang sama dengan negara lain, pengadaan alutsista dari Turki tampak lebih masif dan menjadi highlight utama di ajang tersebut. Bahkan, kerja sama meliputi lintas sektoral, yakni government to government (G to G) dan business to business (B to B)
Sebagaimana dikutip dari rilis resmi Kemhan RI, penandatanganan kerja sama tersebut dimulai dengan pengembangan shooting simulator, parachute simulator, dan flight simulator.
Salah satunya yang dilakukan P.T. Falah Inovasi Teknologi (Falah) dan Havelsan yang akan melakukan inovasi pada perangkat keras dan perangkat lunak dari sistem agar dapat sesuai dengan kebutuhan aparat militer Indonesia, aparat keamanan, aparat penegak hukum dan pasukan khusus.
Memberikan respons positif, Menhan Prabowo secara langsung mengapresiasi komitmen kuat Turki dalam mendukung kerja sama industri pertahanan Indonesia.
Sejumlah kerja sama lain juga turut disepakati dengan Turki antara lain penandatanganan kontrak kerja sama jual beli antara Kemhan dengan Havelsan, Turkiye, DEFEND ID/PT. PAL, P.T. Noahtu Shipyard, dan P.T. Tesco Indomaritim.
Khusus kerja sama entitas terakhir, pengadaan sejumlah kapal seperti CMS Offishore Patrol Vessel (OPV) Warship, CMS Offishore Patrol Vessel (OPV) 90 M Warship, CMS (KCR) 90 M Warship, hingga CMS Frigate Warship menjadi fokus utama.
Kontrak kerja sama jual beli antara Kemhan dengan pihak Turki juga dilakukan. Beberapa yang menggelorakan semangat pemerhati pertahanan tanah air di antaranya kesepakatan pengadaan Khan Missile System, Roketsan Trisula-O Missile System (OMS), Trisula-O Weapon System (OWS), Trisula-U Missile System, Trisula-U Weapon System (UWS), serta Atmaca Missile at FFBNW OPV and OPV 90 M.
Memang, terdapat lebih dari 30 industri pertahanan Turki yang “gelar lapak” di Indo Defence 2022. Itu sekaligus membuka tafsir bahwa ambisi ekspansi industri pertahanan Erdoğan secara global mendapat respons positif dari Prabowo.
Lantas pertanyaannya, mengapa Prabowo seolah memberikan karpet merah bagi Turki untuk menjadi pemasok masif modernisasi alutsista Indonesia? Serta apakah mungkin ada korelasi dengan rencana sang Menhan untuk maju sebagai kandidat RI-1 di 2024?
Prabowo Jiplak Erdoğan?
Alasan teknis dan terbukti di medan tempur kontemporer kiranya menjadi salah satu pertimbangan utama Prabowo. Dalam publikasi berjudul Turkey’s well-timed investments in the defense industry, İbrahim Karataş menyoroti momentum tepat Erdoğan saat melakukan investasi di industri pertahanan negaranya.
Alih-alih berfokus pada produksi senjata biasa seperti peluru, meriam, dan senapan, Turki berani berinvestasi dalam kendaraan udara tempur tak berawak (UCAV) dengan berbagai ukuran, senjata laser, sistem peperangan elektronik, kapal induk, senjata elektromagnetik, rudal, dan jet dengan anggaran yang sangat terbatas.
Selain aspek ekonomis dan prestise timing yang tepat, terdapat pula dimensi keamanan yang lebih penting dan dianalisis oleh Karataş.
Menurutnya, negara-negara dengan cepat mempersenjatai diri karena perang terbuka semakin mungkin diperkirakan akan terjadi. Sampai saat ini, negara-negara besar berperang dengan negara-negara kecil atau “saling menyakiti” dengan menempatkan aspek proxy.
Pada momentum inilah alutsista buatan Turki secara apik dipromosikan dan direspons positif pasar peperangan. Tercatat konflik Nagorno-Karabakh antara Armenia melawan Azerbaijan, Perang Rusia vs Ukraina, hingga konflik dan konfrontasi mereka sendiri dengan Kurdish dan Yunani menjadi semacam showroom dan uji tempur. Dan menariknya, alutsista Turki mampu unggul dalam serangkaian konflik kontemporer itu.
Selain aspek itu yang mungkin dilihat Prabowo, mantan Danjen Kopassus itu kiranya juga ingin meniru kepiawaian menyeimbangkan kekuatan besar dunia yang dipraktikkan Turki di bawah Erdoğan.
Dalam jurnal berjudul Deciphering Turkey’s Geopolitical Balancing and Anti-Westernism in Its Relations with Russia, Galip Dalay menjelaskan bahwa meskipun Turki tampak kerap resisten dengan NATO dan Barat, kedekatan di antara mereka sesungguhnya justru lebih dekat dibanding Rusia maupun Tiongkok.
Meskipun juga tampak dekat dengan Vladimir Putin maupun Xi Jinping, Erdoğan tampak piawai mengikuti irama geopolitik Rusia dan Tiongkok. Dalay menilai terdapat revisionisme geopolitik Rusia dan Tiongkok yang mendorong Erdoğan dan Turki relatif lebih dekat bersama Barat dan Amerika Serikat (AS) dalam hal geopolitik dan strategis.
Itu yang kiranya memiliki korelasi dengan restu AS terhadap berbagai persenjataan yang dikembangkan Turki dan disebarluaskan ke seluruh dunia saat ini, termasuk Indonesia.
Bayang-bayang belenggu embargo dalam bingkai Countering America’s Adversaries Through Sanctions Act (CAATSA) kiranya juga membuat negara lain akan mengikuti aliran moderat untuk membeli alutsista dari negara yang ramah dengan AS seperti Turki.
Pola yang secara verbatim terkesan sebagai extortion atau “pemaksaan” dalam hubungan internasional itu seolah memang dibingkai manis sejak CAATSA diejawantahkan Presiden ke-45 AS Donald Trump pada tahun 2017.
Jared Malsin dalam Ukraine War Gives Turkey’s Erdogan Opportunity to Extend His Influence juga seolah menyiratkan motif kerja sama perusahaan alutsista (B to B) seperti, misalnya, Haluk Bayraktar, CEO Baykar, seakan-akan menjadi representasi Barat.
Itu dikarenakan, Haluk Bayraktar secara terbuka mendukung Ukraina dan berjanji tak akan menjual drone tempur ke Rusia. Ihwal yang selaras dengan kepentingan AS dan Barat di perang Rusia vs Ukraina.
Namun, jika memang karakteristik Turki lebih dekat ke AS, mungkinkah ada kepentingan tertentu yang ingin diraih Prabowo?
Demi Simbiosis 2024?
Kendati menjaga hubungan baik dengan Rusia dan Tiongkok, perspektif Menhan Prabowo yang ingin terlihat lebih dekat ke Barat dan sekutunya dalam aspek politik pertahanan tampak dapat dipahami.
Turki yang seolah diberi karpet merah di Indo Defence 2022 dengan lebih dari 30 slot perusahaan industri pertahanan untuk memamerkan produknya tampaknya membuka ruang interpretasi menarik. Terutama mengenai kepentingan dari masing-masing pihak.
Dari sisi Turki dan Erdoğan, kepercayaan Menhan Prabowo tentu akan menajamkan reputasi alutsista produksi mereka. Terlebih, Indonesia dapat menjadi showcase ideal untuk membuka pasar di Asia.
Sementara dari kepentingan Menhan Prabowo agaknya tak lengkap jika luput menganalisis kemungkinan politiknya. Ya, sejauh ini, glorifikasi atas hasil manuver diplomasi pertahanan Prabowo cenderung mengarah pada negara-negara penghubung atau minimal dekat dengan AS.
Selain Turki, akuisisi jet tempur Rafale asal Prancis menjadi satu bukti mendasar, di samping penetrasi kerja sama ketahanan pangan dan pertahanan dengan Israel.
Kemitraan dengan negara terakhir agaknya penting untuk menjadi titik tolak analisis secara politik. Adalah media Jerusalem Post yang menyebut Prabowo gencar mendekat ke Israel sebagai penghubung ke AS untuk “merestuinya” di Pilpres 2024.
Restu maupun intervensi negara kuat dunia dalam pemilu negara lain memang bukan lagi sebuah rahasia. Damien D. Cheong, Stephanie Neubronner, dan Kumar Ramakrishna dalam tulisan mereka yang berjudul Foreign Interference in Domestic Politics menegaskan lumrahnya praktik campur tangan asing dalam politik domestik suatu negara demi mengamankan kepentingan mereka.
Kebetulan, AS disebutkan oleh Dana Roberson dan T.J. Raphael dalam A Brief History of U.S. Intervention in Foreign Elections kerap mengerahkan sumber dayanya, termasuk dinas intelijen mereka untuk mengimplementasikan taktik klandestin demi menempatkan pemimpin yang dapat menguntungkan kepentingan nasional negeri Paman Sam.
Di titik ini, benang merah di antara relasi pertahanan Indonesia dan Turki serta penafsiran atas korelasi kepentingan Prabowo dengan AS mulai terlihat.
Jika memang demikian dan Prabowo akhirnya terpilih sebagai RI-1 di 2024, kombinasinya dengan Erdoğan dan Turki, AS, dan negara sekutu Barat lain bisa saja “mengguncang dunia” dengan jejaring pertahanan di antara mereka.
Kendati demikian, penjabaran di atas masih sebatas interpretasi konseptual dan mengacu pada probabilitas serangkaian variabel yang ada. Namun, apresiasi kiranya tetap patut diberikan atas kinerja aktif Menhan Prabowo untuk membangkitkan kekuatan pertahanan Indonesia. (J61)