HomeNalar Politik2024, Prabowo Belum Habis?

2024, Prabowo Belum Habis?

Prabowo kerap tak diperhitungkan namanya saat membicarakan Pilpres 2024. Meski demikian, hal itu bukan berarti ia sama sekali tak punya peluang.


Pinterpolitik.com

Perjalanan politik Prabowo Subianto kerap dianggap berakhir pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) beberapa waktu lalu yang menegaskan keunggulan Joko Widodo (Jokowi) darinya. Akibatnya, mantan Danjen Kopassus itu sering tak dipertimbangkan sebagai kandidat kuat di Pilpres 2024 karena beragam alasan.

Prabowo misalnya dianggap tak akan lagi prima secara usia jika kembali melaju dalam Pemilu lima tahun yang akan datang. Tak hanya itu, rentetan kekalahan yang dialaminya juga sering dianggap membuatnya sulit untuk mengumpulkan momentum di 2024 nanti.

Ternyata, anggapan-anggapan tersebut boleh jadi tak sepenuhnya dipercayai semua orang. Dalam artikel yang dimuat oleh Bloomberg, digambarkan bahwa Prabowo tak menutup kemungkinan untuk melaju kembali di tahun 2024. Hal ini sendiri kemudian dikonfirmasi oleh sang adik, Hashim Djojohadikusumo.

Artikel Bloomberg tersebut tergolong unik jika melihat dinamika para elite politik belakangan ini. Kubu Prabowo selama beberapa waktu terakhir dikabarkan telah membuka komunikasi dengan Jokowi selaku pemenang. Prabowo dikabarkan membuka peluang untuk berekonsiliasi dengan Jokowi dan bahkan bisa saja mendapatkan kursi khusus di pemerintahan Jokowi. Hal tersebut bisa saja memberi pengaruh pada pernyataan Hashim tentang Prabowo di 2024.

Lalu, seperti apa jadinya jika hal yang diungkapkan Hashim itu benar-benar terjadi? Masihkah kans Prabowo terbuka lebar di Pilpres 2024 nanti?

Pertarungan Terbuka

Meski Pilpres 2019 baru saja usai, banyak orang sudah mulai membicarakan pilpres di tahun 2024 yang secara hitungan waktu masih tergolong jauh. Ada alasan mengapa Pilpres 2024 ditunggu secara antusias, gelaran itu dianggap akan menjadi open fight di mana tak ada petahana, sehingga semua orang memiliki peluang yang sama.

Tak hanya sekadar open fight, Pilpres 2024 juga berpotensi akan diisi oleh pertarungan pemimpin-pemimpin muda berprospek cerah.  Merujuk pada kondisi ini, politisi berumur senior kerap tak masuk hitungan dalam bursa capres 2024. Dalam konteks tersebut, Prabowo kerap tak dibicarakan dalam bursa tersebut meski sebenarnya ia masih bisa mencalonkan diri.

Prabowo kerap digambarkan sebagai sosok yang akan kehilangan momentum di 2024 nanti. Bagaimana tidak, kekalahan di Pilpres 2019 bukanlah kekalahannya yang pertama dalam pesta demokrasi di negeri ini. Saat mencoba peruntungan di Pilpres 2009 dan 2014, ia juga harus merelakan kursi pemimpin negeri jatuh ke pelukan orang lain.

Pernyataan Hashim bahwa kemungkinan Prabowo maju di Pilpres 2024 belum ditutup, boleh jadi membalikkan pendapat tersebut. Pengusaha yang tenar melalui Arsari Group ini meyakini bahwa mereka memiliki kekuatan yang riil, sehingga konsolidasi masih mungkin dilakukan.

Baca juga :  Rahasia Triumvirat Teddy, AHY, dan Hegseth?

Kekuatan Prabowo sebagai tokoh politik memang tak bisa dipandang remeh. Ketua Umum Partai Gerindra ini tergolong memiliki banyak pendukung yang sebagian di antaranya fanatik. Salah satu indikator mudahnya adalah 68 juta pemilih di Pilpres 2019, yang tentu tak bisa dianggap tak ada.

Potensi Prabowo ini di 2024 ini diungkapkan juga oleh Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA. Nama Prabowo dimasukkan oleh lembaga survei ini ke dalam 14 nama capres yang berpotensi berlaga di Pilpres 2024.

Dalam artikel Bloomberg tadi, Hashim menggambarkan bahwa usia seharusnya tak menjadi masalah bagi Prabowo. Ia mengambil contoh bakal capres Amerika Serikat (AS) Joe Biden yang berusia 76 tahun dan tentu saja lebih tua daripada Prabowo bahkan di 2024 mendatang. Selain itu, ia juga membandingkan dengan Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohamad yang memenangi Pemilu di usia 92 tahun.

Saat ini, Prabowo berumur 67 tahun, terpaut jauh dari usia Mahathir dan berselisih sembilan tahun dari Biden. Memang, usia tersebut kerap dianggap terlalu senja dan jarang dimanfaatkan untuk terus mengejar puncak karier politik.

Jika kembali maju di Pilpres 2024, Prabowo akan berada di rentang usia 72 tahun. Angka tersebut masih lebih muda ketimbang cawapres terpilih saat ini, Ma’ruf Amin yang berumur 76 tahun. Selain itu, Prabowo juga akan berada di rentang usia yang sama dengan Jusuf Kalla (JK) saat berlaga di Pilpres 2024.

Perkara usia, dalam beberapa kasus, tampak tak terlalu menjadi masalah bagi pendukung seorang bakal kandidat presiden. Bakal capres AS dari Partai Demokrat, Bernie Sanders misalnya, tampak digilai oleh generasi milenial meski mereka terpaut jarak usia cukup jauh dengan sang kandidat.

Berdasarkan kondisi tersebut, usia belum tentu menjadi ganjalan utama bagi Prabowo. Meski dari umur bukanlah yang paling prima, Prabowo bukannya tanpa peluang sama sekali, apalagi jika mengingat dinamika rekonsiliasi politik pasca Pilpres 2019.

Memaksimalkan Manfaat

Peluang Prabowo menuju 2024 itu boleh jadi akan semakin terjaga manakala ia benar-benar berpadu dengan pemerintahan Jokowi dalam bingkai kohabitasi. Dalam artikel Bloomberg tersebut, analis Kevin O’Rourke misalnya menganggap bahwa hal itu tak akan jadi hal yang buruk bagi Prabowo.

Baca juga :  Ridwan Kamil dan "Alibaba Way"

Jika Prabowo dan Gerindra nanti benar-benar bergabung dengan koalisi pemerintahan Jokowi, maka mereka bisa saja memaksimalkan manfaat dalam koalisi yang bisa menjadi modal berharga bagi peluang Prabowo di tahun 2024. Keuntungan ini dalam koalisi ini diungkapkan misalnya dalam panduan koalisi yang dikeluarkan oleh The National Democratic Institute & The Oslo Center for Peace and Human Rights.

Jika Prabowo bergabung dengan koalisi Jokowi, ia bisa menjaga peluang menuju Pilpres 2024 Share on X

Brian O’Day sebagaimana dikutip oleh panduan tersebut, menggambarkan bahwa ada beberapa tujuan yang dapat dipenuhi ketika partai politik bergabung dalam sebuah koalisi. Tujuan-tujuan tersebut adalah memenangkan Pemilu, meloloskan legislasi tertentu, atau membentuk sebuah pemerintahan.

Secara khusus, jika merujuk pada Richard Katz dan Peter Mair, dalam hubungan antara negara dan partai politik, ada keuntungan yang dapat diperoleh oleh partai yang mendapat jatah khusus di pemerintahan. Keuntungan tersebut di antaranya adalah regulasi yang menguntungkan, keuntungan finansial, dan menguasai institusi kunci negara.

Berdasarkan hal-hal tersebut, jika Gerindra dan Prabowo benar-benar bisa hidup berdampingan dengan koalisi Jokowi, maka mereka bisa saja menikmati keuntungan-keuntungan tersebut. Di satu sisi, keuntungan itu bisa membuat napas Gerindra menuju Pemilu 2024 menjadi semakin bertenaga. Di sisi yang lain, Prabowo juga bisa saja momentumnya tetap terjaga hingga 2024 karena keuntungan-keuntungan tersebut.

Jika kohabitasi nanti benar-benar terjadi, proyeksi posisi yang akan diberikan kepada Prabowo adalah Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres). Sekilas, jabatan ini tak punya taji jika dibandingkan posisi formal lainnya. Meski begitu, hal tersebut belum tentu berlaku jika berada di tangan sosok seperti Prabowo.

Hal tersebut juga akan terkait dengan Pilpres 2024 yang akan menjadi open fight. Dalam kondisi tersebut, Jokowi sudah tak lagi harus memperjuangkan diri untuk terpilih kembali. Hal ini membuat partai-partai dan aktor politik lain bisa memaksimalkan usahanya untuk menciptakan momentum menuju 2024. Hal ini bisa saja berlaku kepada Prabowo terutama ketika ia memaksimalkan perannya sebagai Wantimpres.

Berdasarkan hal tersebut, pernyataan Hashim bahwa Prabowo belum menutup peluang maju di 2024 boleh jadi memiliki dasar. Apalagi, peluang merapatnya mereka ke kubu Jokowi berpotensi memaksimalkan beragam kekuatan yang mereka miliki. Kita lihat saja, apakah Prabowo benar-benar akan mencoba kembali peruntungannya di 2024 atau tidak. (H33)

 

spot_imgspot_img

#Trending Article

Kok Megawati Gak Turun Gunung?

Ketua Umum (Ketum) PDIP, Megawati Soekarnoputri hingga kini belum terlihat ikut langsung dalam kampanye Pilkada. Kira-kira apa alasannya? 

Berani Prabowo Buka Pandora Papers Airlangga?

Ramai-ramai bicara soal kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen yang disertai dengan protes di media sosial, tiba-tiba juga ramai pula banyak akun men-share kembali kasus lama soal nama dua pejabat publik – Airlangga Hartarto dan Luhut Pandjaitan – yang di tahun 2021 lalu disebut dalam Pandora Papers.

“Sekolam” Ahok, Kesaktian Anies Luntur?

Keputusan Anies Baswedan meng-endorse Pramono Anung-Rano Karno di Pilkada Jakarta 2024 memantik interpretasi akan implikasi politiknya. Utamanya karena Anies pada akhirnya satu gerbong dengan eks rivalnya di 2017 yakni Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan PDIP serta tendensi politik dinasti di dalamnya, termasuk yang terjadi pada Pramono.

Siasat Prabowo Akui Sengketa LCS

Pemerintahan Prabowo disorot karena ‘akui’ klaim tumpang tindih LCS dalam joint statement Tiongkok. Mungkinkah ada siasat strategis di baliknya?

Rahasia Triumvirat Teddy, AHY, dan Hegseth?

Terdapat kesamaan administrasi Presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump dengan Presiden Prabowo Subianto, yakni mempercayakan posisi strategis kepada sosok berpangkat mayor. Kiranya, terdapat rahasia tertentu di balik kesamaan itu yang dapat mendukung support dalam dimensi tertentu ke pemerintahan masing-masing. Mengapa demikian?

Anies Di-summon PKS!

Ahmad Syaikhu in a battle against Dedi be like, “I summon Anies Baswedan!”  #Anies #AniesBaswedan #PilkadaJawaBarat #AhmadSyaikhu #IlhamHabibie #PKS #pinterpolitik #infografis #politikindonesia #beritapolitik #beritapolitikterkini

Betulkah Jokowi Melemah? 

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya? 

Masihkah Prabowo Americans’ Fair-Haired Boy?

Dua negara menjadi tujuan utama Prabowo saat melakukan kunjungan kenegaraan pertamanya pasca dilantik sebagai presiden: Tiongkok dan Amerika Serikat.

More Stories

Membaca Siapa “Musuh” Jokowi

Dari radikalisme hingga anarko sindikalisme, terlihat bahwa ada banyak paham yang dianggap masyarakat sebagai ancaman bagi pemerintah. Bagi sejumlah pihak, label itu bisa saja...

Untuk Apa Civil Society Watch?

Ade Armando dan kawan-kawan mengumumkan berdirinya kelompok bertajuk Civil Society Watch. Munculnya kelompok ini jadi bahan pembicaraan netizen karena berpotensi jadi ancaman demokrasi. Pinterpolitik Masyarakat sipil...

Tanda Tanya Sikap Gerindra Soal Perkosaan

Kasus perkosaan yang melibatkan anak anggota DPRD Bekasi asal Gerindra membuat geram masyarakat. Gerindra, yang namanya belakangan diseret netizen seharusnya bisa bersikap lebih baik...