Site icon PinterPolitik.com

2024, PKS Gantikan PDIP?

2024, PKS Gantikan PDIP

Politikus PKS, Mardani Ali Sera. (Foto: initu)

PKS begitu optimis menatap era mendatang dan berkeyakinan bahwa mereka akan memimpin pemerintahan di tahun 2024. Lalu, apakah ekspektasi itu cukup realistis untuk terwujud jika mengacu pada kultur dan iklim politik Indonesia selama ini?


PinterPolitik.com

Pasang surut maupun retak sambung adalah sebuah keniscayaan dalam kehidupan. Filosofi itu yang kiranya secara luas cukup relevan saat ini bagi setiap orang, dalam menatap tahun yang baru dengan bermacam harapan untuk bangkit akibat dampak pandemi Covid-19.

Sebuah momentum yang juga tampaknya tepat untuk memupuk keyakinan, bahwa akan ada hal baik setelah berbagai terpaan kurang menyenangkan yang selama ini dilalui.

Filosofi keniscayaan pasang surut itu pula yang mungkin dianut oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Baru-baru ini, PKS bahkan menerjemahkan hal itu dengan misi jangka panjang yang mungkin terkesan cukup ambisius.

Di awal pekan terakhir di tahun 2020, melalui Sekretaris Jenderalnya, Aboe Bakar Al-Habsyi, partai politik (parpol) yang baru saja berganti lambang itu optimis bahwa mereka akan memimpin pemerintahan Indonesia pada 2024 mendatang.

Hal tersebut menurutnya berangkat dari sebuah postulat bahwa di setiap waktu, sosok yang memimpin pemerintahan terus berganti.

Sebelumnya di akhir pekan lalu, Presiden PKS Ahmad Syaikhu juga meminta kader partainya untuk dapat mengamankan suara dari masyarakat yang tidak puas dengan kinerja Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Baca juga: PDIP Dendam dengan Demokrat-PKS?

Dengan mengutip survei Litbang Kompas pada Oktober 2020, Syaikhu menyebut 52,5 persen masyarakat tidak puas dengan kinerja satu tahun pemerintahan Jokowi, harus dipastikan mampu ditambatkan di PKS.

Angan itu bukanlah hal yang keliru dan mengherankan memang untuk digantungkan. Mengingat PKS telah konsisten berada di luar pemerintahan sejak periode pertama kepemimpinan Presiden Jokowi pada 2014 silam.

Namun, sejumlah reaksi justru meragukan optimisme PKS itu. Salah satunya yang datang dari Wakil Ketua MPR Jazilul Fawaid yang malah menyindir balik PKS.

Menurut sosok yang juga Wakil Ketua Umum PKB itu, jika berangkat dari kekecewaan terhadap Presiden Jokowi, PKS disiratkannya kurang elok dengan mengais keuntungan politik dan elektoral dari keadaan krisis yang tengah dihadapi pemerintah dan masyarakat akibat pandemi Covid-19.

Sementara menurut politikus PPP, Ahmad Baidowi, belum tentu mereka yang tak puas dengan kebijakan maupun kepemimpinan Presiden Jokowi akan melabuhkan dukungan serta suaranya untuk PKS.

Lantas pertanyaannya, mengapa PKS tampak percaya diri untuk berkeyakinan seperti itu? Serta apakah keyakinan PKS itu cukup realistis untuk terwujud?

Political Booster PKS?

Bagaimanapun, optimisme atau keyakinan untuk memimpin pemerintahan di 2024 sesungguhnya lumrah saja bagi PKS untuk dikemukakan.

Ihwal yang mungkin dikedepankan sebagai political booster atau piranti penguat dalam dunia politik, seperti yang disebutkan oleh Ken Hyland dalam tulisannya yang berjudul Boosting, Hedging, and the Negotiation of Academic Knowledge.

Hyland mengatakan bahwa political booster mengacu pada strategi komunikatif, yang dalam hal ini digunakan untuk membuat rangkaian pernyataan maupun sikap politik menjadi bertaji atau powerful yang tujuannya agar dapat terartikulasi secara nyata.

Pada case PKS, sikap optimisme atau keyakinan yang diekspresikan itu kemungkinan besar memang berperan sebagai booster atau pemacu untuk menunjukkan, serta mengembalikan impresi kekuatan potensial yang mereka miliki.

Bahwasanya PKS memiliki “energi” sebagai sedikit dari entitas politik yang punya saluran konkret di ranah politik, dalam hal ini sebagai sebuah parpol. Khususnya untuk menyalurkan aspirasi mereka yang tak puas dengan pemerintahan Jokowi.

Apalagi belakangan, suara PKS sebagai oposisi pemerintah semakin redup dan terkesan kurang signifikan. Tidak hanya karena koalisi pemerintah yang terlampau besar, tetapi juga mungkin akibat kalah bersaing dengan suara oposan atau lantunan kritik lain yang datang dari kanal di luar parpol, seperti Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) dan lain sebagainya.

Baca juga: Jokowi-PDIP Menuju “Pisah Ranjang”?

Namun di sisi lain, secara substansial hal itu tidak serta merta akan membuat PKS akan meraih keuntungan elektoral semudah di atas kertas. Apalagi secara harfiah, optimisme PKS untuk dapat memimpin pemerintahan di 2024 ialah berarti bahwa mereka berambisi berada di singgasana yang saat ini direngkuh PDIP.

Dalam publikasi berjudul The Case for Multiparty Democracy, Lee Drutman menyebut bahwa dalam sistem multi partai, kecil kemungkinan elemen-elemen politik seperti dinamika isu hingga votes atau suara riil hanya terpolarisasi ke dalam situasi biner, ketika lanskap politik menyediakan pilihan yang lebih kompleks dan beragam.

Berangkat dari sistem multi partai yang juga dianut Indonesia, ketidakpuasan terhadap pemerintah tidak secara otomatis mengalihkan dukungan masyarakat kepada parpol oposisi.

Pada akhirnya memang belum tentu bahwa PKS akan langsung meraup suara atau dukungan di Pemilu 2024 dari mereka yang tak puas dengan kinerja atau kebijakan Presiden Jokowi.

Dan kalaupun kemudian oposisi menjadi opsi utama dari aspirasi kekecewaan terhadap pemerintah, masih ada parpol lain seperti Demokrat, atau bahkan PAN yang juga tentu akan bersaing merebut suara.

Selain itu, Drutman yang juga menyebutkan soal dinamika lanskap politik, menunjukkan bahwa peta koalisi, dukungan, dan persaingan masih sangat terbuka dan cair. Terlebih ketika PKS berbicara soal kontestasi elektoral 2024.

Lalu, apakah kecenderungan itu membuat optimisme PKS benar-benar hanya sebatas political booster saja dan sulit menjadi kenyataan?

Butuh Sosok “Erdogan”?

Ekosistem demokrasi dan politik Indonesia agaknya memang cukup unik. Mulai dari memiliki karakteristik politik daerah yang sangat bervariasi, hingga sangat cairnya konstelasi politik multi partai, yang misalnya tergambar dari masuknya Sandiaga Uno ke dalam kabinet dan membuat dua pasang petarung Pilpres ada dalam satu kubu.

Dalam sebuah acara di salah satu televisi nasional, pengamat politik Adi Prayitno menyebut, keunikan terakhir bahkan seharusnya membuat sebuah teori baru harus diciptakan, untuk menggambarkan fenomena politik kontemporer yang tampaknya tak ditemukan di manapun di dunia.

Dan salah satu keunikan lainnya ialah, sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar dunia, belum pernah sekalipun ada parpol Islam yang memenangkan Pemilu. Relevansi sekaligus “tradisi” yang tampaknya kontradiktif dengan optimisme PKS di ajang pesta demokrasi 2024.

Terlebih suara PKS terlihat stagnan berada di papan tengah dalam tiga edisi Pemilu terakhir. Yang kemudian menjadi cukup sulit bagi PKS untuk dapat mengaktualisasikan optimisme untuk memimpin pemerintahan seperti PDIP.

Baca juga: Isu Kudeta, PDIP Jegal Airlangga?

Meski begitu, peluang tetap tak tertutup bagi PKS jika dapat mengkapitalisasi hal tertentu untuk minimal dapat kembali berada di pemerintahan, seperti di era kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) silam.

Kikue Hamayotsu dalam A Comparative Analysis of Religious Parties in the Muslim Democracy of Indonesia, mengkaji sejumlah hal yang dapat dilakukan parpol Islam, termasuk PKS, untuk dapat kompetitif tanpa kehilangan jati dirinya.

Pertama, interpretasi sempit tentang Islam, terutama penegakan Syariah oleh negara, mungkin harus dihindari karena telah terbukti bukan merupakan pilihan yang menarik di ranah politik dan Pemilu.

Kedua, parpol berbasis agama seperti PKS juga harus dapat membangun organisasi partai yang koheren, serta dapat menjalin koalisi yang fleksibel. Termasuk juga eksistensi figur kunci yang dapat dikedepankan untuk menarik dukungan elektoral.

Dua faktor tersebut bukan tidak mungkin mampu dilakukan PKS di kepengurusan yang baru saat ini. Pemilu 2024 yang juga akan menjadi ajang Pilpres juga kiranya akan membuat PKS wajib menemukan sosok prominen untuk menunjang optimismenya.

Kerap dikomparasikan dengan partai AKP Turki, PKS mungkin dapat meniru formula perjuangan partai yang sama, plus mencari sosok “Erdogan” yang dapat menarik simpati dan dukungan elektoral publik.

Pakar hukum tata negara (HTN) yang juga pengamat politik Refly Harun, baru-baru ini menilai bahwa bagi PKS yang paling realistis adalah mengajukan calon yang sudah terlihat, dalam hal ini yang paling memungkinkan ialah Anies Baswedan.

Refly membuka spekulasi bahwa PKS bisa saja berkoalisi dengan Nasdem mengingat hubungan partai besutan Surya Paloh dengan Anies cukup baik.

Dan sekali lagi, mengacu pada postulat Drutman mengenai lanskap politik yang begitu dinamis, tak menutup peluang juga bagi koalisi PKS didukung parpol lain yang saat ini masih terlihat “mengambang” seperti Demokrat, PAN, atau bahkan parpol yang masih berada di dalam pemerintahan lain.

Walaupun cukup sulit kiranya bagi PKS untuk merealisasikan ambisi memimpin pemerintahan, kans untuk kembali berada di pemerintahan masih sangat terbuka. Dengan catatan apabila skenario di atas berjalan mulus.

Yang jelas, kekuatan utama parpol oposan seperti PKS yang diharapkan saat ini ialah, dapat menerjemahkan kekecewaan terhadap pemerintah dengan narasi, alternatif, dan upaya perbaikan konkret yang dapat dirasakan konstituen maupun publik secara luas. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)

Baca juga: Ada Erdogan Di Balik Rebranding PKS?


► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version