Ada yang berbeda jelang Pilpres dan Pemilu 2024 saat sosok vokal yang memiliki basis massa seperti Habib Rizieq Shihab (HRS) belum juga bersuara. Diduga kuat, konstruksi politik dan lobi di balik layar telah terjadi. Ihwal yang membuat narasi yang dimainkan di 2024 akan sangat berbeda. Benarkah demikian?
Jelang Pemilu dan Pilpres 2024, diskursus politik seolah begitu berbeda dibanding edisi 2019 saat aktor determinan seperti Habib Rizieq Shihab (HRS) masih absen dalam permainan narasi. Bahkan, peran HRS tampaknya tidak akan signifikan dalam membentuk opini pemilih di 2024.
Setelah penahanan dan pembebasan bersyaratnya, HRS agaknya sangat berhati-hati dalam bertindak. Hal itu setidaknya dapat dilihat saat menelusuri pemberitaan mengenai HRS.
Terakhir, dirinya seakan tak ingin memberikan perlawanan lebih saat mencabut gugatan terhadap Balai Pemasyarakatan (Bapas) Kelas I Jakarta Pusat yang telah didaftarkan oleh kuasa hukumnya ke PTUN. Sebelumnya, HRS tak diberikan izin untuk melakukan ibadah umrah ke Tanah Suci.
Pada 4 Agustus lalu, kuasa hukum HRS, Aziz Yanuar menyebut alasan pencabutan gugatan itu dikarenakan perubahan penilaian terhadap Bapas Kelas I Jakarta Pusat yang dinilai telah melakukan tugasnya secara objektif dan profesional.
Padahal, efek dari pelarangan itu tentu akan bermuara pada cerita berbeda jika HRS tidak berada dalam status hukum dirinya saat ini, serta beberapa variabel lain yang menjadi kekuatannya di masa lalu namun kini telah dilucuti.
Sedikit menengok urutan peristiwanya, HRS ditahan pada 12 Desember 2020 akibat kasus penghasutan dan kerumunan massa. Sosok yang sempat memiliki predikat imam besar FPI itu kemudian mendapat bebas bersyarat pada Juli 2022, dengan dikenakan wajib lapor hingga 23 Juni 2024.
Setelahnya, HRS tampak sangat berbeda dan minim dengan pekikan dakwah maupun narasi yang menjadi ciri khasnya di masa lalu, utamanya dalam membentuk narasi sosio-politik jelang kontestasi elektoral.
Lantas, pertanyaan mengganjal mengenai latar belakang sesungguhnya dari kesan menarik dirinya HRS dalam diskursus politik kontemporer kiranya menarik untuk dianalisis lebih lanjut.
Politics of Fear Berhasil?
Membuat posisi dan impresi terhadap HRS sampai di titik ini agaknya cukup beralasan, tak terkecuali kemungkinan bagi pemerintah sebagai pihak yang memiliki semua instrumen untuk melakukannya.
Menengok ke belakang, pengaruh HRS dan FPI tampak cukup signifikan di Pilpres dan Pemilu 2019. FPI ditengarai memiliki porsi keterlibatan atas kerusuhan 21-22 Mei 2019 pasca rekapitulasi Pemilu yang terjadi di sejumlah titik di sekitar Sarinah, Tanah Abang, dan Sabang.
Meski ormas Islam itu mengaku ada di lokasi saat kerusuhan terjadi, Dewan Pembina Pimpinan Pusat FPI Habib Muhsin menolak tudingan dan upaya framing kala itu terhadap mereka, ihwal yang disampaikannya pada 22 Mei 2019 silam.
Tak hanya keras dalam merespons hasil kontestasi elektoral, peran HRS dan FPI di proses politik menuju 2019 pun tak kalah signifikan. Kala itu, mereka memutuskan berada di kubu Prabowo Subianto dengan turut memainkan narasi yang tampak berdampak pada polarisasi tajam di masyarakat.
Dalam konteks stabilitas negara, energi ekstra kiranya memang diperlukan untuk “menjinakkan” HRS dan FPI yang sebelumnya seolah tak tersentuh saat itu.
Di titik ini, bisa saja politics of fear atau politik ketakutan dalam dua artian berkebalikan, yakni konstruktif dan destruktif, dilakukan oleh pemerintah untuk membendung HRS sekaligus basis massa yang dimilikinya, “sekarang dan selamanya”.
Dan, langkah pertama yang seolah cukup memungkinkan dilakukan adalah dengan membingkai subjek atau fenomena tertentu sebagai sebuah hal yang harus ditakuti.
Mantan Wakil Presiden (Wapres) Amerika Serikat (AS), Al Gore dalam tulisannya The Politics of Fear, terkadang pemerintah “menghantarkan rasa takut” untuk kepentingan tertentu, baik yang sifatnya pragmatis maupun strategis.
Dalam hal ini, dengan dalih tertentu, pemerintah memiliki justifikasi untuk bertindak lebih keras, dengan menerapkan hukum represif.
Selain itu, ketakutan yang tersebar juga berguna menciptakan kondisi di mana masyarakat lebih toleran terhadap peningkatan tindakan represif. Singkatnya, politics of fear digunakan untuk mengontrol dua hal sekaligus, yakni subjek atau target tertentu dan masyarakat.
Politics of fear juga disebutkan oleh Assistant Professor of Psychiatry di Wayne State University, Arash Javanbakht. Dalam publikasi berjudul The politics of fear: How it manipulates us to tribalism, Javanbakht menyebut bahwa seperti hewan, manusia belajar dari pengalamannya seperti saat diserang oleh predator.
Manusia, disebut Javanbakht juga belajar dari pengamatan seperti saat melihat predator menyerang manusia lain.
Dari pengalaman tersebut, terdapat kecenderungan untuk menurunkan risiko hal seperti serangan tadi kepada manusia lainnya. Lalu, beberapa dari manusia lainnya itu akan percaya kepada saran yang diberikan terkait dengan bahaya tersebut.
Dengan mempercayainya, manusia bisa terhindar dari kematian atau hal buruk lainnya yang muncul sebagai konsekuensi.
Menurut Javanbakht, sikap tribalisme semacam tadi menjadi lubang yang kemudian dimanfaatkan oleh aktor dalam realitas lain kehidupan seperti politik dan pemerintahan. Mereka memanfaatkan rasa takut dan insting tribalisme manusia.
Kembali, “ketakutan” bisa jadi tak hanya terkonstruksi di masyarakat terhadap trauma sosiopolitik polarisasi, melainkan terhadap atribut yang melekat pada sosok HRS.
Terdapat beberapa variabel yang kiranya dapat menjelaskan konstruksi ketakutan itu, di antaranya pembubaran dan penetapan FPI sebagai organisasi terlarang, intrik hukum yang menjerat HRS dan elite FPI – seperti Munarman – setelahnya, hingga tragedi KM50 Tol Cikampek.
Di sisi lain, kesepakatan juga bisa saja terjadi di balik layar yang membuat HRS tak se-agresif sebelumnya. Termasuk melalui variabel pemberian pembebasan bersyarat.
Lalu, dengan kemungkinan itu, mungkinkah HRS tetap relevan dalam proses politik di 2024 seperti yang dilakukannya di 2019 silam?
HRS Sudah Tak Berarti?
Dengan status hukum dan situasi politik saat ini, hipotesis pertama adalah bahwa HRS memang akan absen sebagai aktor yang berperan aktif dalam proses politik 2024, setidaknya melalui narasinya seperti di edisi 2019.
Selain dikarenakan kemungkinan faktor konstruksi politics of fear seperti yang telah dijelaskan di atas, faktor antipati masyarakat terhadap politik identitas bertendensi religiositas kiranya akan membuat HRS tak lagi relevan di 2024.
Terlebih, meski memiliki basis massa, dirinya kini seolah telah kehilangan panggung sosiopolitik karena telah “tergantikan” oleh tokoh agama maupun ulama lain yang lebih moderat seperti Habib Luthfi bin Yahya dan lain sebagainya.
Predikat yang melekat pada HRS pun agaknya akan membuat impresi aktor politik menjadi kurang positif di hadapan konstituen jika terafiliasi dengan pendiri FPI itu. Ihwal yang membuat para aktor politik akan menjaga jarak dengan HRS.
Kandidat calon presiden di 2024 pun hingga saat ini belum ada yang, setidaknya, menyinggung HRS dalam narasi-narasi politiknya. Di level nasional, efek HRS seolah belum teruji di proses politik kontemporer saat kandidat yang diusungnya tak merengkuh kemenangan (Prabowo di 2014 dan 2019).
Meski tetap harus dinanti secara konkret, hipotesis bahwa HRS tak akan signifikan memainkan peran dalam proses politik 2024 agaknya memang cukup logis. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)