Duta Besar (Dubes) Israel untuk Singapura Sagi Karni baru saja menyebut dukungan Indonesia selama ini tidak banyak membantu Palestina. Menyinggung soal normalisasi diplomatik negara Timur Tengah seperti Turki dan Arab Saudi, ajakan tersirat tersebut mungkin dapat diwujudkan di kepemimpinan baru Indonesia di 2024. Benarkah demikian?
Seolah mengungkapkan realita bisu selama ini, Duta Besar Israel untuk Singapura Sagi Karni menyebut Indonesia tidak begitu banyak membantu Palestina memperjuangkan kemerdekaan.
Itu katakannya saat merespons pertanyaan CNN Indonesia mengenai penolakan sejumlah organisasi dan pejabat pemerintah negara +62 atas kehadiran tim nasional (Timnas) sepak bola Israel di Piala Dunia U-20 yang akhirnya batal diselenggarakan di Indonesia.
Salah satu alasan yang dikemukakan Karni adalah ketiadaan hubungan diplomatik antara Jakarta dan Tel Aviv meski memiliki relasi konkret di bidang tertentu selama ini seperti perdagangan.
Memang, dengan maupun tanpa penolakan itu Israel memang dianggap akan terus bergeming atas sejumlah manuver yang kerap berujung kekerasan, baik di Jalur Gaza maupun Tepi Barat.
Bagi Karni, selain tak berarti bagi Palestina, penolakan itu bukan berasal dari mayoritas publik Indonesia.
Itu dikarenakan, Israel justru menerima banyak minat dari berbagai pihak di Indonesia untuk menjalin hubungan normal dan kerja sama. Setidaknya, menurut alumni Hebrew University of Jerusalem itu.
“Saya pikir dari yang kami lihat, kita mendengar (penolakan) itu dari segelintir suara saja dan mungkin sisanya majority silent,” begitu klaim Karni yang kiranya dapat dianggap sebagai pernyataan tak langsung dari pemerintah Israel.
Meski agak janggal, kembali, sang Dubes menyinggung komparasi normalisasi dan hubungan diplomatik baru sejumlah negara Arab yang justru lebih konstruktif untuk menyuarakan kepentingan Palestina.
Diketahui, sejumlah negara seperti Bahrain, Yordania, Mesir, Uni Emirat Arab (UEA), hingga Turki baru saja menormalisasi hubungan diplomatik dengan Israel. Kendati demikian, negara-negara tersebut tetap aktif memperjuangkan kemerdekaan Palestina dengan solusi dua negara.
Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) Indonesia pun tak tinggal diam. Direktur Timur Tengah Kemenlu Bagus Hendraning Kobarsih langsung menegaskan bahwa Indonesia selalu menggaungkan dukungan dan bantuan terhadap Palestina semaksimal mungkin.
Menjalin hubungan diplomatik dengan Israel, menurut Bagus, bukan satu-satunya jalan untuk membantu kemerdekaan Palestina.
Menariknya, Bagus juga mengungkapkan realita selama ini bahwa atmosfer pesimistis dari niat baik Tel Aviv yang kerap mengingkari janji atas beberapa perjanjian damai di tanah Palestina.
Saling sahut aktor diplomatik kedua negara agaknya mengingatkan kembali dengan pernyataan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo yang sempat menyebut salah satu upaya mengatasi kegamangan atas isu Israel-Palestina.
Dalam wawancara dengan Najwa Shihab saat merespons tudingan biang kerok pembatalan Piala Dunia U-20, Ganjar turut mempertanyakan apakah politik luar negeri Indonesia harus ditinjau ulang.
“Atau jangan-jangan kita harus me-review politik luar negeri kita, mari kita duduk kalau begitu. Undang partai politik, tokoh bangsa, tokoh agama duduk bersama agar kemudian menjadi konsensus bangsa untuk menyikapi itu (Israel),” begitu ujar Ganjar.
Hal yang menarik, Ganjar sendiri telah resmi diusung sebagai calon presiden (capres) di 2024 oleh PDIP.
Jika hal itu dielaborasikan dengan akumulasi narasi domestik yang eksis sebelumnya untuk melakukan hal serupa, hal itu kiranya memantik pertanyaan apakah Indonesia di 2024 akan mengubah sikap politik luar negerinya? Khususnya jika Ganjar berhasil duduk di kursi Istana?
Ganjar Punya Visi “Jujur”?
Sejak memiliki kesepakatan berlandaskan solidaritas, hukum internasional, dan ideologis bahwa Indonesia mendukung kemerdekaan Palestina sejak era Presiden ke-1 RI Soekarno, “konsistensi” agresivitas Israel seolah membuat politik luar negeri Indonesia gamang.
Selain itu, dinamika isu Israel-Palestina yang tak kunjung usai hingga kini membuat politik luar negeri Indonesia – yang di balik layar menjalin kerja sama di aspek tertentu – tampak kaku dan “tidak jujur”.
Ihwal itu juga yang tampaknya disiratkan Ganjar dan kemungkinan dirasakan bersama oleh sebagian pihak di Indonesia.
Tidak hanya dari kesan kesia-siaan kutukan diplomatik yang tak banyak membantu sebagaimana disebut Karni, langkah konstruktif aspek lain untuk mendorong perdagangan yang lebih menguntungkan bagi Indonesia pun turut tertahan akibat nihil relasi resmi.
Padahal, sikap politik luar negeri yang revolusioner kiranya sudah harus diimplementasikan untuk dapat berkontribusi secara konkret bagi Palestina.
Upaya perubahan visi politik luar negeri atas isu Israel Palestina sebenarnya pernah digagas oleh oleh Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.
Hal itu dijabarkan oleh Anthony Smith dalam Indonesia’s Foreign Policy under Abdurrahman Wahid: Radical or Status Quo State? di mana Gus Dur seolah menyadari dan berusaha mendobrak ketidakjujuran tersebut.
Melalui Menteri Luar Negeri (Menlu) saat itu Alwi Shihab, Indonesia berupaya melobi kepentingan Palestina dengan membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Sayangnya, langkah progresif yang baru dirintis itu harus kandas saat Gus Dur lengser dan tidak diteruskan Megawati Soekarnoputri.
Tak hanya itu, Niruban Balachandran dalam In defense of Istibsyaroh menyebut politik luar negeri Indonesia memang membutuhkan dialog yang jujur dan terbuka.
Utamanya, tentang evaluasi dan perubahan konkret mengenai peran Indonesia pada isu Israel dan Palestina.
Normalisasi dan membuka hubungan diplomatik resmi kiranya dapat menjadi salah satu opsi awal. Setidaknya, mereka yang pro gagasan ini melihat Indonesia bisa memiliki daya tawar dan peran lebih aktif dalam relasi Israel yang berkaitan dengan Palestina.
Kembali, pernyataan Ganjar soal me-review ulang politik luar negeri Indonesia terhadap isu Israel-Palestina kiranya dapat bermakna sesuatu. Apalagi, langkah seperti gagasan membuka hubungan diplomatik dengan Israel tampak juga datang dari elite organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam seperti Nahdlatul Ulama (NU).
Ketum PBNU Yahya Cholil Staquf, misalnya, yang memiliki catatan historis keterbukaan dengan petinggi negara Israel. Salah satunya saat Gus Yahya bertemu dengan Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu pada Juni 2018 silam.
Meski mendapat kritik, Gus Yahya menyatakan lawatannya ke Tel Aviv demi meneruskan ikhtiar Gus Dur demi menjembatani kepentingan Palestina.
Meski terlalu dini untuk menebak arah politik luar negeri Indonesia di bawah kepemimpinan baru di 2024, Ganjar setidaknya tampak menjadi salah satu capres yang telah memiliki visi keterbukaan tersebut.
Bukan tidak mungkin, jika dirinya terpilih, Ganjar akan meluruskan sekaligus memprioritaskan perubahan politik luar negeri Indonesia terhadap isu Israel yang sempat membuatnya dihujat seantero negeri akibat pembatalan Piala Dunia U-20.
Akan tetapi, apa yang dikemukakan Direktur Timur Tengah Kemenlu Bagus Hendraning Kobarsih mengenai atmosfer pesimistis dan riwayat ingkar janji Israel atas berbagai upaya perdamaian Palestina kiranya tetap patut dicermati.
Tidak menutup kemungkinan, narasi selama ini untuk membangun kesan positif dan konstruktif terhadap Israel, termasuk gagasan meninjau ulang politik luar negeri yang “tak jujur” hingga gagasan membuka hubungan diplomatik, adalah sebuah “jebakan”. Mengapa demikian?
Mind Game Israel Berhasil?
Bagaimana pun, tidak dapat dipungkiri bahwa pendudukan Israel sebagai sebuah negara atas tanah Palestina sejak tahun 1948 masih meninggalkan perdebatan.
Seakan mudah saja mengabaikan kutukan diplomatik, represi dan kekerasan terus digunakan Israel terhadap warga Palestina untuk memperluas serta memperkuat eksistensinya.
Untuk menyamarkan citranya itu, beberapa analisis menyebut Israel kerap menggunakan sejumlah taktik untuk memengaruhi persepsi global terhadap mereka.
Di ranah olahraga, misalnya, Kyle Fruh, Alfred Archer, dan Jake Wojtowicz dalam Sportswashing: Complicity and Corruption menggunakan istilah sportwashing untuk menggambarkan praktik yang dilakukan sebuah entitas guna mengalihkan perhatian publik terhadap pelanggaran moral yang mereka lakukan.
Caranya, dengan memanfaatkan keberhasilan menyelenggarakan atau pun keikutsertaan dalam sebuah ajang olahraga level internasional.
Israel pun kerap dikategorikan sebagai negara aktif mempraktikkan sportwashing dan menjadikan olahraga sebagai kendaraan politik untuk memengaruhi persepsi atas mereka selama ini.
Selain itu, secara politik dan berkaca pada narasi konstruktif untuk membuka hubungan diplomatik dengan Israel, hulu berupa praktik psychological warfare atau peperangan psikologis kiranya ada di atas meja analisis.
Peperangan psikologis memang turut ditujukan untuk memengaruhi dan mengubah persepsi pihak lain terhadap subjek tertentu.
Tyler Wall dalam U.S Psychological Warfare and Civilian Targeting menyebut target peperangan psikologis tak hanya militer, warga sipil di negara lain juga dapat menjadi sasaran sehingga menimbulkan efek pada pemerintah negaranya.
Dengan menggunakan berbagai teknik dan narasi seperti propaganda, peperangan psikologis ditujukan untuk mempengaruhi sistem nilai target, sistem kepercayaan, emosi, motif, penalaran, hingga perilaku.
Beberapa literatur menyebut Israel juga kerap menggunakan peperangan psikologis. Termasuk probabilitas penanaman nilai-nilai secara berkesinambungan bahwa persepsi untuk membuka relasi diplomatik dengan Israel dapat menjadi upaya konstruktif demi membantu Palestina.
Padahal, Israel tentu akan memposisikan diri sebagai negara yang tak mudah diintervensi. Relativitas pengaruh diplomatik pun akan bergantung pada tingkat ketergantungan di antara dua negara atau negara itu dalam suatu komunitas multilateral.
Apalagi mengenai isu Palestina, yang mana seperti telah dijelaskan sebelumnya, Israel kerap ingkar janji dan mengabaikan kecaman dunia atas kekerasan yang dilakukannya.
Oleh karena itu, posisi Indonesia sebagaimana disebutkan Direktur Timur Tengah Kemenlu Bagus Hendraning Kobarsih yang tak terpengaruh dengan pernyataan Karni kiranya cukup tepat.
Di titik ini, harus ada cara revolusioner selain membuka hubungan diplomatik yang kiranya patut diupayakan kepemimpinan baru Indonesia di 2024 nanti untuk berkontribusi lebih banyak bagi perjuangan dan kemerdekaan Palestina. (J61)