Survei dari Timur Barat Riset Center (TBRC) menunjukkan Partai Golkar menjadi parpol yang paling militan mendukung pemerintahan Presiden Jokowi, bahkan mengalahkan PDIP. Dengan intrik yang memang eksis di antara PDIP dan Jokowi sebelumnya, apakah hal itu dapat dimaknai sebagai menguatnya peluang Jokowi hijrah ke Golkar?
Dalam dua pekan terakhir, publik disuguhkan sejumlah hasil survei mengenai berbagai probabilitas politik di tanah air. Mulai dari jajak pendapat mengenai calon potensial di Pilpres 2024, elektabilitas terbaru para partai politik (parpol), hingga daftar Menteri yang dianggap paling memuaskan.
Namun satu survei cukup menarik datang dari Timur Barat Riset Center (TBRC), yang mengkaji secara kuantitatif mengenai tingkat dukungan parpol terhadap pemerintahan di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi.
Hasilnya, Golkar dianggap menjadi yang paling militan mendukung pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) di legislatif dengan persentase yang sangat meyakinkan, yakni 92,8 persen. Cukup menggugah tanya memang ketika PDIP yang merupakan parpol asal Jokowi hanya berada di urutan kedua, sebelum diikuti Nasdem, PKB, serta PPP di lima besar.
Survei itu agaknya bukan hanya statistik semata saat Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO), Dedi Kurnia Syah, juga melihat esensi menarik di balik hasil survei tersebut.
Dedi menyebut bahwa sejauh ini terlihat memang Golkar yang paling solid dengan Presiden Jokowi. Ihwal yang menurutnya dapat dilihat dari minimnya ketidaksepahaman atas kebijakan maupun keputusan-keputusan eks Wali Kota Solo di sepanjang jalannya pemerintahan.
Sementara PDIP sebagai partai pengusung utama, disebutnya justru memiliki sikap berkebalikan karena sering melayangkan kritik, khususnya melalui sejumlah kadernya di Parlemen.
Baca juga: Revival Golkar, Partai Penguasa di 2024?
Di sini, sesungguhnya terlihat anomali yang jelas, terutama mengenai Golkar, PDIP, dan Jokowi yang mana korelasi masing-masing di antara ketiga aktor tersebut, tampaknya berpotensi menimbulkan dinamika politik yang cukup mengejutkan di kemudian hari.
Namun benarkah kejutan itu dapat terjadi? Serta apakah yang dapat dimaknai dari eksistensi Golkar sendiri yang muncul dan dianggap sebagai parpol paling militan mendukung Jokowi?
“Efek Samping” Dilema Golkar?
Dengan torehannya sebagai yang paling militan mendukung pemerintahan Jokowi, Golkar tampaknya menjadi parpol yang boleh dikatakan juga paling profesional secara politik.
Dalam sebuah publikasi berjudul Political Parties as Electoral-Professional Machines, Pieter Moens menyatakan bahwa di tengah realita dan tarik menarik kepentingan politik, menjadi profesional sebagai bentuk transformasi parpol yang dinamis, merupakan conscious choice atau pilihan yang disadari untuk dilakukan atau tidak dilakukan oleh sebuah partai politik.
Lebih lanjut, konteks profesionalitas sebuah parpol memiliki beberapa dimensi tersendiri, mulai dari aspek komposisi partai, struktur partai politik, hingga kepentingan partai politik itu sendiri.
Pada case Golkar, tidak berlebihan kiranya untuk mengatakan bahwa predikat paling militan terhadap pemerintahan Presiden Jokowi merupakan representasi dari profesionalisme politik yang ditampilkan oleh Golkar sampai sejauh ini, dalam konsensus koalisi pengusung mantan Gubernur DKI Jakarta itu.
Dimensinya tentu tak lepas dari kepentingan dan situasi internal Golkar itu sendiri. Ulla Fiona dalam Indonesian Parties in a Deep Dilemma: The Case of Golkar menyoroti sejumlah hal yang menjadi persoalan dan dilema mendasar Golkar pasca reformasi, dan agaknya memiliki korelasi dengan profesionalitas yang berbasis kepentingan Golkar.
Mulai dari nihil kader yang benar-benar prominen, reputasi sebagai parpol besar yang gagal mencalonkan kader di level tertinggi dalam dua pilpres terakhir, hingga bukan lagi hegemonic party atau partai hegemon, yang kesemuanya bermuara pada upaya alternatif lain untuk tetap membuat mereka relevan di panggung politik.
Baca juga: Jokowi-Golkar Jalin Kasih
Namun spesifik dalam konteks kontestasi elektoral 2024 mendatang, Golkar tampaknya memandang kompetisi tersebut masih sangat dinamis dan oleh karenanya terus berusaha mengumpulkan berbagai modal politik yang diperlukan dengan memaksimalkan sebesar-besarnya eksistensi mereka di koalisi pemerintah saat ini.
Itu yang kemudian membuat mereka seolah tidak terdistraksi oleh berbagai proyeksi elektoral apapun di 2024 sampai saat ini, dan membuat dukungannya kepada pemerintahan Jokowi di dalam koalisi terkesan sangat maksimal, bahkan melebihi PDIP yang tampak tengah berjuang mempromosikan nama kadernya sebagai suksesor Jokowi.
Berbeda pula misalnya ketika Golkar dibandingkan dengan Partai Nasdem yang bahkan di tengah perjalanan sudah terlihat “mendua”, seperti interaksinya dengan PKS ataupun kerap menyiratkan sokongan pada Anies Baswedan.
Dan secara tidak langsung, dari situlah agaknya impresi profesionalitas politik yang ditampilkan Golkar berasal, dan kemudian tercermin dari rengkuhan titel sebagai parpol paling militan di balik pemerintahan Presiden Jokowi.
Tersalipnya PDIP oleh Golkar dalam konteks tersebut tentu menimbulkan berbagai praduga. Utamanya ketika dikaitkan dengan sejumlah momen di mana PDIP dan Jokowi kerap menampilkan relasi yang kurang solid dalam beberapa kesempatan, terutama setelah menjabat sebagai Kepala Negara.
Dalam tanggapan lanjutannya, Direktur Eksekutif IPO, Dedi Kurnia Syah mengatakan bahwa Golkar yang menjadi parpol paling militan mendukung pemerintahan Jokowi sesungguhnya juga memperlihatkan sesuatu yang tidak lazim.
Menurutnya, PDIP bisa saja merasa jika Jokowi mulai tidak akomodatif terhadap kepentingan politik partai banteng, dan Golkar dianggap lebih banyak menerima manfaat dari koalisi dibanding mereka.
Lantas kemudian pertanyaan berikutnya mengemuka, apakah kecenderungan itu akan membuka peluang bagi Jokowi untuk berpaling dan merapat ke Golkar?
Hijrah Sebelum Turun Tahta?
Skenario apapun dalam politik pada hakikatnya bisa saja terjadi, bahkan yang awalnya terlihat mustahil sekalipun. Namun dalam banyak kesempatan, hal itu juga sangat ditentukan oleh aspek timing atau momentum.
Itulah yang kiranya yang menjadi faktor penting di balik spekulasi hijrahnya Jokowi ke Golkar. Luis Rubio dalam Time in Politics menyatakan bahwa dalam dunia politik tidak ada yang lebih penting daripada timing. Mengingat segala keputusan dan tindakan tertentu dapat memiliki efek yang sangat berbeda, tergantung pada momentum dan kapan keputusan maupun tindakan itu dibuat.
Baca juga: Siasat Golkar Singkirkan PDIP
Dalam Political Timing: A Theory of Politicians’ Timing of Events, John Gibson juga menyatakan hal senada. Bahwasannya esensi signifikan dari peristiwa politik sangat dipengaruhi oleh timing yang sedemikian rupa telah direncanakan, dalam hal memaksimalkan benefit politik atau meminimalkan biaya politik bagi para aktor yang ada.
Timing sendiri menjadi penting ketika berbicara peluang Jokowi untuk hijrah ke Golkar. Hal itu dikarenakan, esensi dan nilai transaksional secara politik akan jauh lebih “saling menguntungkan” jika kepindahan tersebut terjadi sebelum pesta demokrasi 2024. Mengingat, belum dapat dipastikan efek politik dari Jokowi setelah masa jabatannya berakhir, khususnya jika merapat ke Golkar.
Itu tampaknya bukan tidak mungkin terjadi jika mengacu pada pernyataan Hasanudin Ali dari Alvara Research Center dalam Jokowi forms broad Indonesia coalition, bringing in rival Prabowo, bahwa sebelum kompetisi politik 2024, kemungkinan besar partai-partai koalisi akan berkepentingan untuk mengkampanyekan agenda mereka sendiri.
Di sinilah timing yang kiranya cukup tepat bagi Jokowi untuk berpindah haluan di tengah hiruk pikuk yang mungkin mulai akan terjadi di tahun 2022 atau 2023 mendatang.
Selain itu, dalam timing ini pula simbiosis politik yang positif akan terjadi, ketika Jokowi dinilai masih memiliki taji untuk dapat berkontribusi bagi Golkar jika memang nantinya benar-benar bergabung, dan di saat yang sama Golkar juga dapat semakin memaksimalkan militansinya untuk mem-backup sisa masa jabatan Jokowi.
Dalam momentum tersebut, bagi Golkar, Jokowi yang memiliki prerogatif sebagai Kepala Negara agaknya dipandang cukup potensial untuk “membantu” dalam berbagai hal, termasuk aspek elektoral.
Karena jika berkaca pada karakteristik pemilih Indonesia, aspek ketokohan telah lama menjadi variabel yang cukup menentukan. Eksistensi Jokowi dalam partai, plus jika dalam setahun ke depan kinerjanya membaik sebagai RI-1, bukan tidak mungkin simpati akan berbalik dan dapat menguntungkan Golkar.
Namun begitu, interpretasi di atas masih sebatas skenario dan terkaan semata. Terlebih jika Jokowi benar-benar hijrah di tengah masa jabatannya sebagai Presiden, tentu akan menimbulkan gaduh politik yang luar biasa dan mungkin akan jadi kalkulasi yang kiranya paling akan diperhatikan.
Yang jelas, akhir dari dinamika hubungan antara Jokowi, Golkar dan PDIP saat ini boleh jadi memang akan cukup menentukan bagi peta politik yang akan terjadi di pesta demokrasi 2024 mendatang.
Di atas semua itu, kiranya akan tetap sangat diharapkan pula profesionalitas dari Presiden Jokowi untuk tetap fokus pada kinerjanya di Istana, bukan terlampau larut dalam intrik politik yang berpotensi mengiringi sisa masa jabatannya kelak. (J61)
Baca juga: Mission Impossible Golkar dan Airlangga?
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.