HomeNalar Politik#2019GantiPresiden dan Gejolak Benci

#2019GantiPresiden dan Gejolak Benci

Gerakan #2019GantiPresiden seperti muncul hanya karena rasa tidak suka pada pemerintahan Jokowi.


PinterPolitik.com

[dropcap]T[/dropcap]agar #2019GantiPresiden terus-menerus menghiasi pembicaraan di media sosial. Tak berhenti di media sosial, belakangan tagar ini juga menjadi tajuk utama pemberitaan di media massa. Terlihat bahwa tagar tersebut perlahan tapi pasti mulai meningkat popularitasnya.

Meski terus-menerus meroket, tagar ini ternyata tidak memiliki solusi konkret terkait apa yang terjadi setelah penggantian presiden. Pegiat-pegiat gerakan ini tidak menunjukkan sikap politik resmi apa pun. Gerakan ini memang digawangi oleh banyak kelompok di lingkar koalisi Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno. Akan tetapi, gerakan tersebut hingga saat ini tidak secara terbuka menyatakan memberikan dukungan kepada pasangan tersebut – sekalipun digawangi oleh tokoh-tokoh pendukung Prabowo-Sandi.

Sikap ini seolah menunjukkan bahwa gerakan tersebut semata-mata mengekspresikan keengganan agar kepemimpinan presiden Joko Widodo (Jokowi) berlanjut hingga periode kedua. Berdasarkan kondisi tersebut, bisa dikatakan ada rasa benci dari kelompok ini kepada sang petahana.

Terlihat bahwa unsur psikologis berupa rasa enggan atau tidak suka cenderung mengemuka dari gerakan tersebut. Lalu adakah pengaruh unsur psikologis tersebut pada Pilpres 2019? Adakah kubu yang bisa memanfaatkan secara maksimal rasa enggan dan tidak suka tersebut?

Psikologi Benci

Ada ungkapan bahwa jika menginginkan partisipasi yang besar dalam Pemilu, maka taruh saja orang yang dibenci pada surat suara. Sekilas, pernyataan ini terdengar berlebihan, akan tetapi ide tersebut boleh jadi ada benarnya.

Keberadaan orang yang dibenci dalam surat suara ini dikemukakan misalnya oleh Jon Krosnick saat membahas psychology of voting atau psikologi memilih. Dalam pandangan Krosnick, ketika seorang politisi menekankan pada kualitas negatif lawannya, maka akan terjadi adalah  turnout atau partisipasi masyarakat menjadi tinggi.

Rasa kecewa #2019GantiPresiden kepada Jokowi sepertinya makin memuncak. Tapi kenapa gerakan ini juga tak resmi dukung Prabowo? Share on X

Dalam studi yang dilakukan oleh Krosnick, pertemuan atau kesan pertama adalah hal yang sangat penting. Studinya menunjukkan bahwa perasaan suka dan benci yang muncul pada pertemuan pertama sangat sulit diubah di masa yang akan datang.

Dalam pemilihan dengan dua kandidat, jika masyarakat membenci kedua kandidat, maka mereka cenderung tidak akan memilih karena menurut mereka, apa pun yang terjadi mereka akan kalah. Hal yang sama berlaku jika masyarakat menyukai kedua kandidat, maka ada kecenderungan untuk tidak memilih karena apa pun yang terjadi mereka tetap menang.

Berdasarkan kondisi tersebut, dibutuhkan satu “orang suci” dan satu “penjahat” agar terjadi turnout yang tinggi. Meski demikian, Krosnick memandang bahwa masyarakat cenderung lebih termotivasi oleh ancaman dari sesuatu yang buruk ketimbang harapan akan sesuatu yang baik. Oleh karena itu, umumnya masyarakat akan memilih untuk mencegah kandidat yang mereka benci terpilih.

Baca juga :  Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Merujuk pada kondisi tersebut, seorang politisi idealnya mampu memanfaatkan rasa tidak suka atau benci masyarakat terhadap kandidat lawannya. Krosnick berpandangan bahwa salah satu kesuksesan seorang kandidat dapat ditentukan oleh kemampuannya membuat lawan terlihat buruk tanpa terlihat benar-benar jahat dalam prosesnya.

Sekilas, memanfaatkan rasa benci untuk memaksimalkan voter turnout adalah hal yang benar-benar jahat. Akan tetapi, strategi ini bisa menjadi pembeda, terutama jika kandidat yang tidak disukai memang tergolong menyimpan banyak bahaya dari segi kebijakan.

Semakin Merebak

Dalam konteks gerakan #2019GantiPresiden, terlihat bahwa yang menjadi obyek dislike atau ketidaksukaan adalah Presiden Jokowi. Ada beberapa hal yang dibawa oleh kelompok tersebut untuk menggambarkan ketidaksukaan mereka terhadap kandidat petahana tersebut.

Isu ekonomi menjadi salah satu olahan utama gerakan ini. Perkara dolar hingga harga-harga barang menjadi sasaran kritik terhadap pemerintah. Belum lagi persoalan tentang hadirnya tenaga kerja asing yang di mata mereka dianggap meresahkan.

rasa tidak suka

Unsur dislike kelompok ini memuncak melalui kejadian beberapa waktu lalu. Gerakan ini seperti menjadi sasaran persekusi oleh kelompok tertentu. Alih-alih dilindungi kebebasan berpendapatnya, aparat negara justru kerapkali membubarkan acara yang dihelat oleh mereka.

Rasa tidak suka ini tidak hanya tergambar dari hal-hal yang bersifat kebijakan saja. Secara politik, unsur dislike ini tercermin dari sikap mereka yang tidak menyebutkan secara jelas afiliasi politik mereka. Padahal, saat ini Pilpres jelas hanya memiliki dua kandidat. Hal ini seperti menggambarkan bahwa gerakan ini tidak muncul semata untuk mendukung Prabowo, meski pegiat-pegiatnya ada yang mendukung mantan Danjen Kopassus tersebut.

Jika diperhatikan, gerakan ini perlahan tapi pasti semakin mendapat panggung di negeri ini. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh LSI Denny JA, popularitas tagar tersebut mengalami kenaikan. Selain itu, dari segi kesukaan, semakin banyak pula masyarakat yang menaruh simpati pada tagar tersebut.

Pada Mei 2018, popularitas tagar tersebut mencapai 50,8 persen. Angka tersebut mengalami kenaikan di Juli 2018 yaitu mencapai 60,5 persen. Di antara waktu tersebut, angka masyarakat yang menerima juga mengalami kenaikan. Di Mei 2018, masyarakat yang menerima tagar tersebut hanya 49,8 persen saja. Sementara itu, di bulan Juli 2018, angkanya mengalami kenaikan hingga 54,4 persen.

Meningkatnya popularitas dan kesukaan masyarakat terhadap tagar tersebut digambarkan oleh LSI Denny JA sebagai penyebab tergerusnya popularitas Jokowi. Hal ini dapat menjadi penanda bahwa rasa benci terhadap petahana ini semakin membesar.

Baca juga :  Megawati Tumbangkan Pengaruh Jokowi-Anies

Mengejar Tagar

Sebagaimana digambarkan Krosnick, rasa tidak suka terhadap suatu calon dapat menyebabkan peningkatan dalam hal partisipasi atau turnout pemilih. Berdasarkan kondisi tersebut, meningkatnya gelora tagar #2019GantiPresiden adalah hal yang terlalu sayang untuk dilewatkan.

Secara spesifik, sebagai kompetitor Jokowi, Prabowo idealnya mampu mengkapitalisasi secara sempurna gerakan tersebut. Ada kemungkinan besar bahwa pemilih mau ke TPS hanya karena tidak suka kepada Jokowi. Prabowo dalam konteksi ini harus memastikan ketidaksukaan tersebut bisa diarahkan sepenuhnya untuk memilih dirinya.

Menurut penggagas utama gerakan tersebut di dalam gerakan itu ada pendukung-pendukung tokoh lain yang gagal berlaga di Pilpres 2019. Satu hal yang bisa menghimpun mereka adalah kekecewaan terhadap masa pemerintahan Jokowi dan bukan kesukaan kepada tokoh politik yang tunggal.

Sejauh ini, kubu koalisi Prabowo mengaku tidak bisa memaksakan gerakan tersebut untuk mendukung Prabowo. Menurut mereka, massa gerakan #2019GantiPresiden belum tentu merupakan pendukung pasangan Prabowo-Sandiaga, sehingga sulit dipaksa untuk ikut berkampanye. Padahal, mereka sendiri sudah mengakui bahwa tagar tersebut menguntungkan bagi Prabowo-Sandiaga.

Oleh karena itu, idealnya, kubu koalisi Prabowo harus mampu merayu dan mengonsolidasikan kelompok-kelompok tersebut untuk mau mendukung bahkan mengampanyekan Prabowo. Koalisi pendukung Prabowo harus mampu terus ikut menunggangi gerakan tersebut untuk bisa mengalahkan Jokowi.

Secara khusus, deklarasi resmi dukungan Prabowo terhadap gerakan ini dapat membuat afiliasi mereka lebih mudah diatur. Dengan begitu, partisipasi masyarakat yang besar sebagaimana digambarkan Krosnick, dapat diatur agar menguntungkan pihak Prabowo-Sandiaga.

Rasa tidak suka gerakan #2019GantiPresiden dan potensi afiliasinya dengan Prabowo dapat menjadi senjata yang berbahaya terhadap Jokowi. Apalagi, tagar ini terbukti semakin populer dan secara perlahan terus menggerus popularitas petahana.

Di lain pihak, Jokowi harus bisa menetralisiri rasa benci kelompok tersebut agar tidak melebar seperti yang belakangan terjadi karena aksi penghadangan. Jika rasa benci itu membesar dan bisa dikapitalisasi, bukan tidak mungkin partisipasi yang besar di TPS akan hadir untuk mengekspresikan rasa tidak suka mereka kepada rezim yang berkuasa saat ini. (H33)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Membaca Siapa “Musuh” Jokowi

Dari radikalisme hingga anarko sindikalisme, terlihat bahwa ada banyak paham yang dianggap masyarakat sebagai ancaman bagi pemerintah. Bagi sejumlah pihak, label itu bisa saja...

Untuk Apa Civil Society Watch?

Ade Armando dan kawan-kawan mengumumkan berdirinya kelompok bertajuk Civil Society Watch. Munculnya kelompok ini jadi bahan pembicaraan netizen karena berpotensi jadi ancaman demokrasi. Pinterpolitik Masyarakat sipil...

Tanda Tanya Sikap Gerindra Soal Perkosaan

Kasus perkosaan yang melibatkan anak anggota DPRD Bekasi asal Gerindra membuat geram masyarakat. Gerindra, yang namanya belakangan diseret netizen seharusnya bisa bersikap lebih baik...