Punya banyak partai pengusung boleh jadi kemewahan tersendiri bagi Jokowi. Akan tetapi, mungkinkah hal ini justru membuat ia tersandera partai?
PinterPolitik.com
[dropcap]B[/dropcap]etapa enaknya menjadi petahana seperti Presiden Joko Widodo (Jokowi). Kandidat yang dipercaya sangat populer ini tidak perlu repot-repot berusaha keras untuk mencari dukungan partai politik. Ada banyak partai yang berlomba-lomba untuk mengantarnya ke periode kedua kekuasaannya sebagai presiden.
Saat ini, Jokowi sudah dikelilingi sembilan partai politik yang siap menjadi kendaraan baginya bersama Ma’ruf Amin. PDIP, Golkar, PKB, Nasdem, PPP, Hanura, PSI, Perindo, dan PKPI siap pasang badan untuk memenangkan mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut.
Di atas kertas, dukungan partai dalam bentuk koalisi gemuk seperti ini akan memudahkan dirinya saat Pemilu dan juga saat menjabat. Jokowi tidak perlu sulit untuk meloloskan suatu kebijakan di DPR karena mayoritas partai politik sudah pasti setuju kepada dirinya.
Sekilas, Jokowi seperti tengah berada di atas angin dengan kumpulan partai-partai politik tersebut. Akan tetapi, benarkah gelimang partai politik itu benar-benar sepenuhnya menguntungkan baginya? Adakah ancaman yang bisa hadir dari banyaknya partai-partai di sekelilingnya?
Partai-partai Mengepung
Sembilan partai. Jumlah partai yang begitu banyak itu kini siap untuk mengantarkan Jokowi ke Istana Negara untuk kedua kalinya. Dengan keuntungan sebagai petahana yang populer, sangat wajar jika partai-partai politik begitu memburunya.
Sebenarnya, boleh jadi ada alasan mengapa partai politik begitu ingin mendekat kepada Jokowi. Jika diperhatikan, partai-partai tersebut tidak memiliki sosok yang bisa diusung sendiri pada Pilpres 2019 nanti. Peraturan presidential threshold 20 persen semakin memperberat partai-partai tersebut. Bisa dibilang, mereka memang tidak punya banyak pilihan.
Terlihat bahwa partai-partai tersebut tengah memainkan strategi sebagai presidentialized party. Partai dengan karakteristik seperti ini adalah partai yang mengincar kemenangan di tingkat Pilpres saja. Menurut Thomas Poguntke dan Paul Webb, salah satu karekter utama dari partai-partai jenis ini adalah calon yang diusung bukanlah politisi senior, melainkan sosok yang paling populer.
Dalam konteks tersebut, beberapa partai sebenarnya memiliki karakter yang cenderung dekat kepada personalized party ketimbang presidentialized party. Akan tetapi, mereka boleh jadi bersikap realistis sehingga memilih sosok outsider seperti Jokowi agar tetap relevan dalam percaturan politik Indonesia.
PDIP, Nasdem, dan Hanura misalnya kerap dikategorikan sebagai personalized party. PDIP selama ini amat lekat dengan sosok Megawati Soekarnoputri sebagai pendiri sekaligus ketua umum. Sementara itu, Nasdem kerap kali dianggap sebagai partai yang menjalankan ambisi politik Surya Paloh. Hal serupa berlaku pada Hanura yang bertumpu pada sosok Wiranto sebagai sosok pendiri.
Meski begitu, ketiga tokoh ini boleh dibilang tidak memiliki cukup momentum dan popularitas jelang Pilpres 2019. Secara realistis, sulit untuk memenangkan kontestasi sekelas Pilpres melalui sosok-sosok tersebut. Oleh karena itu, pilihan untuk mendukung Jokowi yang popularitasnya tengah melangit tergolong rasional bagi mereka.
Bersama partai-partai lain, ketiga partai itu mengharap adanya coattail effect atau efek ekor jas dari Jokowi. Mereka berharap popularitas Jokowi bisa menular kepada mereka sehingga perolehan suara mereka di tingkat legislatif dapat terkerek.
All President’s Men Tersingkir
Memang, memiliki banyak partai politik di kantong bisa memudahkan seorang presiden untuk meloloskan berbagai kebijakan di DPR. Porsi oposisi yang terbilang kecil boleh jadi tidak cukup kuat untuk menjegal kebijakan yang akan ia keluarkan.
Meski begitu, harga dari kemudahan itu boleh jadi tidak murah. Secara alamiah, partai-partai politik itu meminta pengganti dari jasa yang mereka berikan di parlemen. Salah satu transaksi yang paling lazim adalah kursi menteri dalam kabinet yang dibentuk oleh sang presiden. Transaksi seperti ini menggambarkan kartelisasi partai yang dikemukakan oleh Dan Slater dari University of Michigan.
Jika merujuk pada komposisi Kabinet Kerja saat ini, total ada 16 menteri yang memiliki latar belakang partai politik. Angka ini sebenarnya memang lebih sedikit ketimbang 18 menteri yang diisi oleh kalangan profesional. Akan tetapi, jika merujuk pada bertambahnya jumlah partai di koalisi Jokowi saat ini, jumlah jatah menteri dari partai boleh jadi akan bertambah.
Koalisi gemuk bisa menang bisa kalah. Dalam Pemiluyuda Kurawa pilih koalisi gemuk bersama seluruh rakyat Kresna sesenjata2nya. Pandawa pilih koalisi ramping bersama Kresna seorang diri. Tuhan Maha Guyon
— Jack Separo Gendeng (@sudjiwotedjo) March 10, 2018
Potensi bertambahnya menteri berlatar partai ini mengancam menteri-menteri yang berasal dari kalangan profesional. Secara spesifik, menteri-menteri dari golongan tersebut adalah yang disukai Jokowi karena kinerjanya, namun boleh jadi akan terusir. Hal ini bisa membuat kabinet nantinya tidak lagi berisi all president’s men, tetapi all political party’s men.
Jokowi misalnya memiliki sosok-sosok dari kalangan profesional seperti Rini Soemarno (Menteri BUMN), Ignasius Jonan (Menteri ESDM), atau Basuki Hadimuljono (Menteri PUPR) di kabinetnya. Sosok seperti Rini dan Basuki secara khusus, tergolong krusial untuk berbagai kebijakan Jokowi terutama dalam hal infrastruktur.
Banyaknya partai yang mendukung Jokowi bisa membuat menteri-menteri yang krusial bagi ambisi Jokowi ini tersingkir. Bertambahnya partai yang harus menerima kue kekuasaan, bisa saja membuat kursi-kursi penting ini harus dikorbankan untuk menyenangkan partai-partai tersebut.
Jika hal itu terjadi, Jokowi boleh jadi tidak lagi leluasa untuk menjalankan kebijakan sesuai dengan visi misi atau janji-janji kampanyenya. Porsi partai untuk menjalankan kebijakan boleh jadi akan lebih besar seiring dengan bertambahnya kursi yang menjadi jatah mereka.
Jokowi Tersandera Partai?
Berdasarkan kondisi tersebut, boleh jadi periode kedua Jokowi tidak lagi menggambarkan mantan Wali Kota Solo itu sebagai sosok paling berkuasa. Berkumpulnya partai politik bisa saja menggeser kekuasaan dari Jokowi ke partai-partai tersebut. Dalam konteks ini, Jokowi seperti tersandera tirani partai politik.
Partai-partai tersebut kemungkinan besar akan memaksimalkan berbagai keuntungan yang bisa diambil dari periode kedua Jokowi. Kursi menteri yang mereka terima boleh jadi akan digunakan untuk meningkatkan posisi mereka sebagai partai politik untuk Pemilu berikutnya.
Jika merujuk pada Richard S. Katz dan Peter Mair sebagaimana dikutip Marcus Mietzner, ada tiga hal yang akan dilakukan oleh partai politik saat terjadi hubungan antara negara dengan partai politik.
Banyaknya partai di kubu Jokowi bisa membuat sang petahana tersandera. Share on XPertama, partai-partai tersebut akan mengejar regulasi yang menguntungkan mereka. Mereka misalnya akan membuat regulasi yang membatasi munculnya partai-partai baru. Terbatasnya partai baru ini dapat membuat partai-partai berkuasa tidak harus takut kalah bersaing apalagi kehilangan pamor.
Kedua, partai politik juga akan mencari keuntungan finansial. Katz dan Mair menyebut bahwa anggota kartel partai akan memaksa negara untuk memberikan subsidi secara finansial kepada mereka. Katz dan Mair bahkan menyebut bahwa negara menjadi struktur yang mendukung partai tersebut.Subsidi ini dapat membantu sustainibilitas partai, sehingga mampu bertahan untuk Pemilu berikutnya.
Ketiga, mereka akan menguasai institusi kunci dalam negara. Langkah ini membuat partai-partai berkuasa menjadi partai bertipe dominan. Pada akhirnya, antara negara dan partai politik menjadi sesuatu yang sulit untuk dibedakan.
Jokowi itu petugas partai. Kabinetnya adalah hasil transaksi dengan dukungan" politik. Mau bilang Jokowi ngga tersandera kepentingan? Ya delusional namanya.
— Pelan-pelan, Awe! (@awemany) May 6, 2018
Ketiga hal ini bisa menguntungkan posisi partai jelang Pemilu berikutnya karena mendapatkan asupan sumber daya yang cukup memadai. Sebagai penguasa, mereka juga bisa mendominasi dan membuat regulasi yang melemahkan lawan mereka. Oleh karena itu, strategi untuk menjadi presidentialized party boleh jadi akan menguntungkan mereka selama lima tahun periode kedua Jokowi.
Melalui ketiga hal ini, Jokowi terlihat seperti tidak berkuasa. Katz dan Mair terkadang mendeskripsikan hubungan antara negara dan partai seperti ini sebagai invasi partai terhadap negara. Dalam konteks ini, Jokowi sebagai pemimpin tertinggi negara menjadi sosok yang terinvasi karena partai-partai yang mendapatkan keuntungan dari periode kedua Jokowi ini.
Idealnya, Jokowi bisa mengidentifikasi potensi masalah ini. Berbagai kebijakan yang menjadi unfinished business-nya bisa jadi tidak terlaksana jika sosok-sosok profesional penting di kabinetnya harus berganti dengan kader partai. Jika identifikasi tidak berhasil dilakukan, bukan tidak mungkin mulai tahun 2019, Indonesia dipimpin oleh sosok presiden yang tersandera partai. (H33)