Site icon PinterPolitik.com

Perlu 100 Tahun untuk Luar Jawa?

Perlu 100 Tahun untuk Luar Jawa?

Wapres Jusuf Kalla (JK) berkelakar perlu 100 tahun bagi orang luar Jawa untuk jadi presiden. (Foto: un.org)

“Di Amerika (Serikat) butuh 170 tahun untuk orang Katolik jadi presiden di Amerika, butuh 240 tahun untuk orang hitam jadi presiden di Amerika, jadi mungkin butuh 100 tahun dari kemerdekaan (agar) orang luar Jawa jadi presiden.” ~ Jusuf Kalla


PinterPolitik.com

[dropcap]J[/dropcap]awa lagi, Jawa lagi. Mungkin hal itu yang ada di benak beberapa pemilih saat membuka surat suara Pilpres. Lebih dari 70 tahun republik ini berdiri, perebutan kursi presidennya kerapkali didominasi oleh orang asal pulau di selatan Kalimantan tersebut. Memang, ada nama Baharuddin Jusuf Habibie – pria bugis berdarah – yang pernah menduduki kursi RI 1. Akan tetapi ia tidak lahir dari mekanisme pemilihan dan menerima jabatan dari kejatuhan sebuah rezim.

Di mata Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla (JK), perlu waktu 100 tahun bagi orang di luar pulau Jawa untuk bisa mencicipi kursi nomor satu republik ini. Ia mengambil perbandingan dengan Amerika Serikat (AS) yang harus menunggu begitu lama sebelum memiliki presiden kulit hitam untuk pertama kalinya.

Menurut JK, sulitnya orang luar Jawa menjadi capres disebabkan oleh faktor kesukuan yang ada di negeri ini. Tidak dapat dipungkiri bahwa etnis Jawa memang mendominasi jumlah penduduk tanah air. JK menilai kesamaan identitas antara pemilih dan yang dipilih menunda kemungkinan presiden berasal dari luar Jawa.

Waktu 100 tahun jelas terlalu lama bagi negeri ini untuk memiliki presiden luar Jawa yang lahir dari mekanisme pemilihan. Akan tetapi, benarkah republik ini harus menunggu selama itu? Adakah cara untuk mempercepat penantian panjang tersebut?

Ikhtiar Presiden Luar Jawa

Di atas kertas, negeri ini memang pernah hidup di bawah kendali seseorang yang tidak berasal dari Pulau Jawa. Adalah Habibie, putra asal Sulawesi Selatan yang memutus rantai kepemimpinan presiden asal Pulau Jawa. Meski demikian, perlu diakui, pria lulusan Jerman tersebut menjadi presiden melalui sebuah “kecelakaan politik” runtuhnya rezim Orde Baru.

Setelah Habibie, pucuk kepemimpinan di tanah air kembali ke Jawa. Tercatat ada empat orang presiden yang menjadi suksesor Habibie, semuanya berasal dari pulau tersebut. Praktis, tokoh-tokoh asal luar Pulau Jawa seperti tersingkir dari kekuasaan tertinggi di negeri ini.

Ikhtiar figur-figur non-Jawa untuk menjadi orang nomor satu bukannya tidak pernah dilakukan. Tercatat, ada dua tokoh non-Jawa yang melaju menjadi capres dalam waktu yang berbeda. Pada Pilpres 2004, ada Hamzah Haz yang maju bersama Agum Gumelar. Sementara itu, di tahun 2009 ada nama JK yang berpasangan dengan Wiranto.

Hamzah Haz menjadi perwakilan Kalimantan pertama yang mencoba mengejar kursi presiden. Ia lahir di Ketapang, Kalimantan Barat dan memulai karir politiknya dari provinsi tersebut. Di tahun 2004, Hamzah harus tersingkir di putaran pertama dan menempati urutan buncit dalam perolehan suara.

Di tahun 2009, JK muncul menjadi perwakilan Pulau Sulawesi. Kader senior Partai Golkar itu mencoba menantang kandidat petahana Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Sayang, perolehan suaranya kala itu terpaut jauh dari SBY sehingga gagal menjadi presiden.

Di luar dua tokoh itu, tokoh-tokoh luar Jawa lebih sering menjadi pelengkap dalam gelaran Pilpres. Mereka seringkali diberikan kursi orang nomor dua untuk membentuk pasangan Jawa dan luar Jawa. Terlihat bahwa tokoh luar Jawa hanya dijadikan sebagai vote-getter bagi kandidat presiden asal Jawa.

Faktor Kedaerahan Penting?

Dalam artikel di The Conversation yang ditulis oleh Paru R. Shah, Associate Professor dari University of Wisconsin-Milwaukee, disoroti tiga hal dalam pencalonan kandidat minoritas. Ketiga hal tersebut adalah peran dari kandidat itu sendiri, keengganan kandidat minoritas untuk maju, dan peran dari partai politik.

Jika merujuk pada artikel yang ditulis Shah, terlihat bahwa unsur kedekatan etnis tidak menjadi persoalan dalam minimnya kesempatan bagi kelompok minoritas di dalam politik. Dalam kadar tertentu, kandidat minoritas memiliki kesempatan yang sama untuk menang seperti kandidat dari kelompok mayoritas.

Shah menggambarkan kondisi tersebut melalui kasus etnis Latin di AS. Menurutnya, di AS amat jarang kandidat berdarah Latin muncul di surat suara. Akan tetapi, ketika kandidat Latin tersebut maju menjadi kandidat, tingkat kemenangan mereka serupa dengan kandidat kulit putih. Hal tersebut bahkan terjadi di wilayah yang secara demografis didominasi etnis kulit putih.

Kondisi tersebut menggambarkan bahwa faktor etnis atau kedaerahan kelompok minoritas tidak berpengaruh bagi pemilih di AS. Lalu, bagaimana dengan kasus Indonesia?

Berdasarkan survei, sepertinya faktor suku atau asal daerah tidak lagi berperan besar bagi masyarakat untuk memilih seorang kandidat presiden. Hal ini terungkap misalnya dalam survei yang dirilis oleh Poltracking Institute beberapa waktu lalu.

Dalam survei tersebut terlihat bahwa masyarakat menganggap faktor asal daerah dan suku tidak berpengaruh dalam pengambilan keputusan mereka di bilik suara. Sebanyak 51,6 persen responden menilai bahwa faktor asal daerah tidak berpengaruh dalam menentukan pilihan. Serupa dengan hal itu, sebanyak 50,5 persen responden juga menganggap faktor suku tidak berpengaruh bagi mereka dalam memilih presiden.

Jika diurutkan, perkara kedaerahan dan kesukuan ini tidak menjadi prioritas utama masyarakat dalam memilih presiden. Hanya 1,7 persen responden yang menyebut bahwa asal daerah adalah faktor terpenting dalam memilih presiden. Sementara itu, hanya 1,4 persen responden yang menilai bahwa faktor etnis adalah hal yang terpenting. Kondisi tersebut terpaut jauh dari faktor agama di urutan pertama dengan 19,4 persen dan kinerja di urutan kedua dengan 19,1 persen.

Perlu diperhatikan bahwa sampel dari survei tersebut didominasi oleh unsur demografi Jawa. Dari total 1.200 responden, sebanyak 40 persen-nya berasal dari suku Jawa. Sampel terbanyak pun diambil dari wilayah Jawa yaitu Jawa Barat (17,8 persen), Jawa Timur (15,1 persen), dan Jawa Tengah (13,3 persen).

Hal itu dapat dikatakan cukup menggambarkan populasi riil masyarakat Indonesia. Berdasarkan Sensus Penduduk 2010, etnis Jawa menempati urutan pertama masyarakat berdasarkan suku dengan jumlah mencapai 95 juta atau 40,2 persen dari seluruh penduduk Indonesia. Survei tersebut juga sejalan dengan persentase penduduk Pulau Jawa yang mencapai 57,49 persen dan didominasi oleh Jawa Barat (43 juta orang), Jawa Timur (37 juta orang), dan Jawa Tengah (32 juta orang).

Berdasarkan hal tersebut, boleh jadi ungkapan JK bahwa faktor kesukuan mempengaruhi keterpilihan kandidat luar Jawa menjadi terbantahkan. Boleh jadi, tidak diperlukan waktu 100 tahun untuk memiliki presiden luar Jawa jika merujuk kepada survei yang pernah dilakukan.

Dominasi Elite Jawa

Jika faktor asal daerah dan etnis tidak lagi berpengaruh bagi masyarakat, lantas apa yang menyebabkan figur luar Jawa sulit menjadi presiden? Merujuk pada artikel Shah, ada faktor partai politik yang menyulitkan kelompok minoritas mendapat tempat dalam politik. Berdasarkan kondisi tersebut, boleh jadi elite-elite parpol-lah yang menghalangi jalan figur dari luar Jawa.

Secara umum, banyak orang menilai bahwa kondisi politik tanah air banyak dikendalikan oleh elite-elite parpol yang bercokol di Jawa, dan secara spesifik di Jakarta. Merekalah yang berperan besar dalam menentukan sebagian besar keputusan politik di negeri ini. Elite-elite tersebut berperan menentukan kandidat mulai dari tingkat kabupaten/kota hingga presiden sekalipun.

Kuatnya peran aktor politik ini sejalan dengan pemikiran Nicole Bolleyer. Menurut Bolleyer, sebagaimana dikutip oleh Jurnal Politik Universitas Indonesia, pengurus parpol dapat menggunakan kekuasaannya untuk menentukan siapa yang maju dalam Pemilu dengan memperhatikan kepentingan politik partai tersebut.

Terlihat bahwa unsur kepentingan parpol mewarnai keputusan mereka dalam pencalonan. Parpol jelas lebih memilih kandidat yang sesuai dengan kepentingan mereka tersebut. Boleh jadi, banyak kandidat  non-Jawa yang dianggap tidak sesuai dengan kepentingan mereka.

Jika dilihat secara umum, terlihat bahwa secara umum sebagian besar parpol tengah bergeser orientasinya menjadi presidentialized party. Dalam konteks ini, parpol memang cenderung memilih kandidat populer agar dapat mengikuti popularitas mereka. Hal ini membuat banyak kandidat luar Jawa tersingkir karena tidak bisa memenuhi hasrat parpol sebagai presidentialized party.

Kepentingan presidentialized party adalah memburu efek ekor jas dari kandidat presiden yang diusungnya. Elite-elite partai ini hanya mengincar kursi untuk menyelamatkan partai mereka dari pemilu ke pemilu. Oleh karena itu, mereka enggan memilih kandidat luar Jawa yang tidak memiliki efek ekor jas yang diingkan mereka.

Boleh jadi, jika ingin memecah penantian panjang presiden luar Jawa, kuncinya ada di elite-elite Jakarta petinggi parpol. Mereka harus berhenti mengharapkan popularitas dari kandidat Jawa dan mulai berani memberi kesempatan kepada figur non-Jawa.

Pernyataan Shah dapat menjadi dasar bahwa kelompok minoritas seperti orang luar Jawa tetap memiliki kesempatan menang yang tinggi. Oleh karena itu, tidak ada salahnya bagi mereka untuk mencoba kandidat luar Jawa dan memperpendek penantian 100 tahun yang diungkapkan JK. (H33)

Exit mobile version