Motif utama lahirnya parpol adalah untuk mendapatkan kekuasaan. Dalam pengertian ini, kekuasaan digunakan sebagai alat untuk merealisasikan aspirasi rakyat. Mungkin bahasa ini yang pantas didengungkan di tengah panasnya Pilkada DKI Jakarta saat ini.
pinterpolitik.com
JAKARTA – Berbagai cara dilakukan oleh partai politik demi menggapai kemenangan untuk meraih kekuasaan. Salah satunya adalah dalam kasus hak angket, terkait status Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang menjadi terdakwa kasus dugaan penodaan agama.
Tidaklah mengherankan jika ada partai politik (parpol) yang sudah menyatakan mendukung pemerintah, anggotanya turut menandatangani hak angket karena sikap pemerintah yang tak kunjung menonaktifkan sang Gubernur Ahok.
Menurut sebuah sumber, masalah ini tidak terlepas dari pengaruh seorang tokoh senior politik. Meski tokoh ini sudah lama lengser dari kepengurusan, tetapi masih memiliki pengaruh yang sangat besar pada keputusan partai. Bahkan sang tokoh tersebut bisa mengalahkan kewenangan pengurus aktif yang ada saat ini.
Menurutnya, seorang ketua umum definitif pun akan tetap kalah pengaruh dengan sang tokoh senior tersebut. Sebab posisi ketua umum dalam partai tersebut, tidak memiliki otoritas penuh dalam menentukan kebijakan partai.
Jadi, sebagian besar anggota Dewan yang menandatangani hak angket kabarnya adalah karena pengaruh yang sangat kuat sang tokoh senior tersebut di internal partai. Sumber ini juga mengatakan, “Dalam situasi seperti ini, sangat terlihat kalau dialah (tokoh senior) yang sejatinya the real ketua umum,” pungkas sumber tersebut.
Dalam sebuah partai politik, kadang posisi hirarkis sering terkikis dengan kekuasaan tokoh senior maupun pendiri partai. Sehingga pada akhirnya, kekuasaan hirarkis hanya semacam jabatan palsu belaka karena kekuasaan terbesar akan selalu ada di tangan “sang tokoh” ini. Begitulah partai politik, sungguh penuh misteri. (Suara Pembaruan/Fit)