Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir mengatakan saat ini PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk tengah berada dalam tekanan yang luar biasa. Hal itu terkait adanya utang perusahaan pelat merah bidang penerbangan ini yang mencapai triliunan rupiah mulai memasuki masa jatuh tempo.
PinterPolitik.com
“Garuda menghadapi tekanan yang luar biasa karena utang jatuh tempo, karena itu akan kami restrukturisasi agar sehat,” ujar Erick di Hotel Ritz Carlton, Jakarta, Rabu (26/2).
Garuda memang menjadi salah satu perseroan pelat merah yang menjadi perhatian bagi Erick. Orang nomor satu di Kementerian BUMN ini sebelumnya telah melakukan sejumlah langkah untuk menyehatkan perusahaan maskapai tersebut.
Kebijakan yang diambil Erick antara lain adalah dengan memberhentikan direksi yang terlibat skandal kargo gelap Harley Davidson. Selain itu, ia pun merombak jajaran pejabat di emiten pasar modal berkode GIAA itu.
Belakangan ini, Erick mengatakan bakal merestrukturisasi ulang bisnis Garuda Indonesia. Ia pun akan menutup sedikitnya lima anak dan cucu perusahaan yang dianggap kurang sejalan dengan inti bisnis perusahaan.
Menanggapi hal itu, Direktur Utama Garuda Indonesia, Irfan Setiaputra mengatakan pihaknya masih menggodok sejumlah rencana untuk melunasi utang jangka pendek yang akan jatuh tempo dalam waktu dekat.
Menurut Irfan pihaknya masih melakukan diskusi dengan para pemangku kepentingan, termasuk Kementerian BUMN terkait skema pelunasan utang. Garuda juga masih mempertimbangkan sejumlah opsi, termasuk refinancing lewat penerbitan surat utang, hingga penjualan aset.
“Yang penting anda lihat (pesawat Garuda) masih terbang gak? Kalau terbang berarti persoalan utang sudah diselesaikan dalam ruangan tutup,” jelasnya di Jakarta, Kamis (27/2).
Irfan mengatakan, perseroan untuk sementara membatalkan rencana penerbitan sukuk global atau instrumen keuangan lainnya. Sebelumnya, emiten bersandi saham GIAA itu berniat menerbitkan surat utang maksimum US$ 900 juta untuk refinancing utang eksisting.
Rencana penerbitan surat utang batal direalisasikan perseroan karena belum ada laporan keuangan limited review atau laporan keuangan audit perseroan sampai dengan tanggal pelaksanaan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) pada 22 Januari 2020.
Berdasarkan laporan keuangan perseroan per September 2019, Garuda mencatat liabilitas jangka pendek sebesar US$ 2,87 miliar atau sekitar Rp 40 triliun. Jumlah ini terdiri dari pinjaman jangka pendek sebesar US$ 837,73 juta, utang obligasi sebanyak US$ 498,44 juta, dan piutang usaha US$ 696,72 juta, dan pos liabilitas lainnya.
Terpisah, Komisaris Independen Garuda Indonesia, Yenny Wahid mengatakan strategi pembayaran utang belum ditentukan oleh manajemen dan komisaris. Pihaknya masih menunggu Rencana Kerja dan Anggaran (RKAP) dari direksi.
Kendati demikian, dia mengatakan Dewan Komisaris telah memberikan batasan yang jelas tentang penyusunan rencana tersebut. Yenny menuturkan pihaknya mendorong agar manajemen tidak menerbitkan utang baru, namun memaksimalkan potensi aset yang ada.
Dia menuturkan, rencana restrukturisasi utang Garuda juga berkaitan dengan rencana likuidasi sejumlah anak dan cucu perusahaan. Menurutnya, aset yang dimiliki anak dan cucu usaha Garuda saat ini sebagian di antaranya dapat dijual setelah dilikuidasi. (R58)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.