HomeData PolitikPolitisi dan Wanita

Politisi dan Wanita

Banyak pihak yang mengatakan bahwa fenomena skandal seks dalam politik menggambarkan terjadinya penggerusan terhadap moral bangsa. Seks dalam politik adalah fenomena gunung es di negara yang sangat menjunjung nilai-nilai keagamaan ini.


PinterPolitik.com

[dropcap size=big]B[/dropcap]aru-baru ini publik dikejutkan dengan penangkapan hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Patrialis Akbar yang diduga terlibat dalam aksi suap terkait uji materi Undang-Undang Peternakan. Hal yang turut menjadi perhatian publik adalah bahwa ketika ditangkap KPK, Patrialis sedang berada bersama dengan seorang perempuan yang bukan isterinya. Berbagai cerita dan gosip pun berhembus di seputaran penangkapan tersebut.

Memang belum bisa dibuktikan apa pun terkait hubungan wanita tersebut dengan Patrialis. Namun demikian, bagi sebagian orang, hal ini menjadi pembuktian lain bahwa dalam politik keberadaan wanita masih sering dianggap inferior, bahkan tidak jarang perempuan dipakai untuk menjatuhkan lawan politik, merusak citra seseorang, atau bahkan sebagai bagian gratifikasi dan deal-deal politik tertentu.

Ketika tertangkap bersama seorang perempuan, dengan sendirinya citra Patrialis Akbar pun memburuk – hal yang berlawanan dengan kedudukannya sebagai Hakim MK yang seringkali dianggap sebagai penyambung lidah Tuhan. Di negara seperti Indonesia yang budaya patriarkinya (patriarch) masih sangat kuat, fenomena ‘politisi dan wanita’ masih banyak terjadi. Bahkan wanita dianggap sebagai bagian yang tak terpisahkan dari politik dan kekuasaan.

Politisi dan Wanita: Hal yang Biasa?

Kita tentu masih ingat kasus yang menimpa politisi Golkar Yahya Zaini yang terjerat skandal dengan pedangdut Maria Eva pada akhir tahun 2006 lalu. Pada saat itu, menanggapi kejadian tersebut, ada politisi senior yang bahkan mengakui bahwa kasus seperti ini sudah biasa terjadi di gedung dewan (DPR).

Kita juga pernah dihebohkan dengan skandal yang menjerat Max Moein (politisi partai PDIP) serta Al Amien Nur Nasution (politisi partai PPP), atau juga yang terbaru skandal perselingkuhan Bupati Katingan. Saat ini pun mulai muncul berbagai dugaan skandal bersama wanita yang melibatkan para politisi, pejabat negara, hingga pemuka agama. Sebut saja dugaan skandal yang melibatkan Habib Rizieq Shihab dan Firza.

Seks dan wanita seringkali juga menjadi bagian dari gratifikasi dalam upaya suap atau korupsi. Fenomena ini seolah kembali menegaskan bahwa dunia politik adalah dunia maskulinitas – merujuk pada sifat-sifat laki-laki yang diadopsi politik dan kekuasaan. Tentu pertanyaannya adalah apakah benar demikian?

Politik: Dunia Maskulinitas?

Saat dorongan bagi keterlibatan perempuan dalam dunia politik semakin digalakkan di seluruh dunia, sebuah fakta terbentang di hadapan kita bahwa maskulinitas adalah hal yang melekat dengan politik dan kekuasaan. Todd Reeser dalam bukunya yang berjudul “Masculinity in Theory” (2009) bahkan mengatakan bahwa ada hubungan tradisional yang sangat erat antara kesan maskulinitas dari pendekatan fisik maupun psikis terhadap kekuasaan yang kemudian ditampilkan dalam ruang-ruang publik dan politik. Secara sederhana bisa dikatakan bahwa ada kaitan antara sifat genetis-biologis laki-laki terhadap politik dan kekuasaan.

Politik dan kekuasaan mewarisi sifat laki-laki, misalnya tentang ketertarikan terhadap seks dan uang – walaupun tidak semua laki-laki memiliki sifat yang demikian. Lalu, apakah hal ini berarti politik bukan untuk perempuan? Tentu saja tidak, hanya saja politik – entah sampai kapan – masih akan didominasi oleh laki-laki. Pandangan ini tentu saja masih bisa dikoreksi jika melihat munculnya semakin banyak figur wanita dalam politik dan kekuasaan, seperti Angela Merkel yang menjadi wanita paling berkuasa di Eropa dalam satu dekade terakhir.

Dengan menampilkan maskulinitas dirinya, politik dan kekuasaan secara tidak langsung menyerap sifat tradisional laki-laki tentang uang, kuasa dan seks – sebuah pandangan yang juga masih bisa diperdebatkan lagi. Oleh karena itu, fenomena politisi yang terkena skandal seks atau gratifikasi seks sebenarnya bukanlah fenomena yang mengherankan karena demikianlah kondisi yang ditimbulkan oleh politik dominasi laki-laki.

Hal ini tentu memprihatinkan – karena bagaimanapun juga politisi adalah tokoh publik yang dipandang dalam masyarakat dan dijadikan panutan – sekaligus juga semakin jelas membuktikan bahwa kekuasaan dan seks adalah hal yang saling terhubung. Apalagi dalam masyarakat yang tidak bebas nilai, hal ini tentu akan dianggap bertentangan dengan norma-norma dan nilai yang diakui dalam masyarakat tersebut.

Baca juga :  Prabowo: Penegak Keadilan Dapat Keadilan!

Seks dan Politik dalam Sejarah

Salah satu tokoh sejarah yang mungkin dianggap paling berkaitan dengan seks dalam politik adalah Cleopatra VII Philopator (69-30 SM) seorang ratu Mesir kuno dan anggota terakhir dinasti Ptolemeus. Cleopatra dikenal sebagai sosok yang menggunakan seks dan kecantikannya untuk memenangi pertarungan politik.

Cleopatra tahu bahwa politik dan kekuasaan sangat identik dengan kaum laki-laki, maka agar tidak terbuang dari lingkaran elit istana Mesir, ia menikah dengan Ptolemeus XIII, saudaranya sendiri. Kemudian, ketika ancaman kudeta yang dirancang pendukung saudaranya datang, Cleopatra bersekutu dan menikah dengan Kaisar Romawi Julius Caesar (100-44 SM), lalu juga dengan jenderal Marcus Antonius (83-30 SM). Hal ini berhasil membuat kekuasaannya bertahan untuk beberapa saat.

Lain lagi kisah antara Konstantinus (272-337 M) dan Licinius (263-325 M). Pada masa Konstantinus hidup, Kekaisaran Romawi pada saat itu sedang mengalami pergolakan dan menghadapi ancaman perpecahan. Konstantinus yang mengetahui bahwa ada dua kekuatan politik yang ada di sekitarnya saat itu, yakni Maxentius (278-312 M) dan Licinius, memainkan strategi cerdas dengan merangkul Licinius dan menyatakan perang terhadap Maxentius.

Strategi Konstantinus adalah memberikan saudarinya Flavia Julia Constantia untuk dinikahi oleh Licinius. Licinius dan Konstantinus kemudian secara bersama-sama mengalahkan Maxentius. Setelah Maxentius yang tenggelam di sungai pada pertempuran di jembatan Malvius berhasil dikalahkan, Konstantinus berbalik memerangi dan akhirnya mengalahkan Licinius. Secara jelas kita bisa melihat gambaran bagaimana wanita bisa menjadi salah satu ‘alat’ bagi Konstantinus untuk menyatukan dan memperkuat kerajaan Romawi saat itu.

Tidak hanya di dunia kuno, skandal seks juga menimpa tokoh-tokoh kontemporer, misalnya Presiden Amerika Serikat Bill Clinton pada 1998 yang pernah direpotkan oleh skandal hubungannya dengan staf Gedung Putih, Monica Lewinski. Atau juga dugaan skandal yang menimpa mantan Perdana Menteri Italia, Silvio Berlusconi yang pernah dituding melakukan hubungan seks dengan perempuan di bawah umur. Masih banyak lagi kasus-kasus politisi yang terjerat dalam fenomena skandal seks, yang mungkin kalau disebutkan satu per satu tidak akan pernah habis.

Wanita dan Kapitalisme

Mungkin pertanyaan paling besar adalah mengapa fenomena ini bisa terjadi? Ada banyak asumsi yang bisa digunakan untuk menjelaskan fenomena ini. Selain karena maskulinitas politik dan kekuasaan serta faktor masyarakat patriarki, ada pandangan yang mengatakan bahwa sistem kapitalisme ekonomi menjadikan perempuan (dengan segala aspek psikis dan biologisnya) sebagai objek komoditi.

Tidak heran, perempuan – dalam struktur ekonomi politik yang demikian – seringkali menjadi inferior. Kapitalisme juga dianggap melekat kuat terhadap ideologi patriarki. Bahkan pada tataran tertentu, kapitalisme – yang juga melekat dengan eksploitasi – berujung pada eksploitasi tubuh – dalam hal ini perempuan.

Pola pikir kapitalisme dalam ekonomi ini terserap ke dalam politik. Tubuh perempuan diekspolitasi ke dalam bentuk-bentuk komoditi. Misalnya, wanita digunakan sebagai bagian dari suap saat uang tidak cukup lagi untuk dijadikan alat suap menyuap. Hal ini miris – dan mungkin bagi sebagian orang – rasanya tidak pantas untuk diperbincangkan. Namun, faktanya memang demikian adanya.

Tubuh sebagai entitas fisik dipertukarkan di dalam sistem ekonomi dan politik melalui eksplorasi nilai tukar yang didasarkan pada segala potensi ekonomi dan politik yang dimiliki tubuh itu secara fisik – fenomena  ini pula bisa dipakai untuk menjelaskan mengapa saat ini terjadi perkembangan besar-besaran industri mode. Masuknya seks ke dalam politik juga menandai hubungan baru antara kekuasaan dan wanita.

Seks dan Kekuasaan

Lebih jauh, Michel Foucault (1926-1984), seorang filsuf berkebangsaan Perancis, pernah mengatakan bahwa kekuasaan dan seks memang saling mengintervensi. Seks bisa dijadikan alat untuk meraih kekuasaan dan bisa digunakan untuk menjatuhkan lawan-lawan politik. Politisi-politisi yang bersaing secara tidak sehat, saling menekan bahkan dengan cara memata-matai, atau merekam aktivitas lawan politiknya. Hal ini tentu menandai pelanggaran terhadap ruang-ruang privasi serta penundukan norma moral terhadap politik. Kekuasaan yang maskulin – seperti sudah dijelaskan sebelumnya – akan mudah dimanipulasi dalam bentuk-bentuk tersebut.

Praktik-praktik honey trap – sebutan untuk aktivitas memata-matai seseorang, biasanya lawan politik, kemudian mencari celah (biasanya dengan merekam atau memfoto aktivitas dan pergaulan politisi tersebut) yang bisa digunakan untuk menekan politisi tersebut – masih sering terjadi. Dugaan adanya rekaman yang menunjukkan Presiden Donald Trump saat bersama dengan seorang wanita (pelacur) di Moscow, boleh jadi bisa di sebut sebagai honey trap. Di Indonesia, aktivitas ini juga masih sering terjadi. Desas-desus tentang saling tekan antara politisi dengan menggunakan wanita sudah menjadi gossip jalanan: belum bisa dibuktikan, namun juga tidak bisa tidak diakui keberadaannya.

Baca juga :  The Lords of DPR

Seks dalam Politik: Cerminan Degradasi Moral Bangsa?

Banyak pihak yang mengatakan bahwa fenomena skandal seks dalam politik menggambarkan terjadinya penggerusan terhadap moral bangsa. Seks dalam politik adalah fenomena gunung es di negara yang sangat menjunjung nilai-nilai keagamaan ini. Tentu saja hal ini berarti ada yang salah dengan pendidikan nilai di Indonesia. Moral sangat berkaitan dengan interpretasi terhadap nilai-nilai yang dihormati. Oleh karena itu, kita boleh menyimpulkan bahwa tengah terjadi krisis interpretasi nilai – sesuatu yang coba dibahasakan oleh Presiden Jokowi saat kampanye pada pemilu 2014 lalu sebagai: Revolusi Mental.

Revolusi mental adalah pekerjaan besar dan berat. Tentu kita perlu sedikit merefleksikan pelaksanaan revolusi mental selama 2 tahun pemerintahan Jokowi. Apakah sudah berhasil? Tentu saja masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan di sana-sini. Masih banyak hal yang perlu diupayakan dan digiatkan lagi. Kemajuan teknologi infomasi yang tidak terkendali dan tidak tersaring juga ditenggarai menjadi penyebab terjadinya degradasi moral di negara ini. Pendidikan keagamaan juga perlu diperkuat lagi dan lebih diarahkan untuk memperjuangkan keutamaan-keutamaan hidup manusia, nilai-nilai dan norma moral.

Soal degradasi moral ini bisa kita nilai juga dari peristiwa anak SD yang diminta menyebutkan jenis-jenis ikan, namun secara tidak sengaja ‘terpeleset lidah’ menyebutkan hal yang bersifat pornografi. Bagi kebanyakan orang hal ini mungkin lucu, namun sebenarnya peristiwa ini sangat memprihatinkan. Anak-anak kecil saja sudah terbiasa menyebutkan istilah-istilah yang tidak pantas, bagaimana nantinya misalnya saat ia menjadi politisi.

Politisi dan Wanita: Sebuah Catatan Pinggir

“The winner takes it all”, atau dalam bahasa Spanyol disebut “Va todo al ganador”, merupakan judul lagu yang dipopulerkan oleh grup pop Swedia, Abba. Setidak-tidaknya judul lagu ini menggambarkan apa yang terjadi dalam dunia politik di Indonesia dan dunia. Ketika kontestasi politik berhasil dimenangkan oleh seorang politisi, maka sang pemenang akan mendapatkan semuanya.

Jika seorang politisi memenangkan kontestasi menjadi anggota DPR, menjadi Presiden, Gubernur, hingga Bupati, maka seolah-olah berarti ia mendapatkan semuanya. Hal inilah yang kadang kala membuat seorang politisi gelap mata, menggunakan kekuasaannya untuk mencari kepuasan dan kekayaan yang sebesar-besarnya. Tidak sedikit pula politisi yang terjerat dalam skandal dengan wanita karena merasa dirinya berkuasa dan mampu merengkuh semua yang diinginkannya.

Fenomena ‘politisi dan wanita’ adalah sebuah catatan pinggir dalam konstelasi politik internasional maupun lokal. Dunia politik yang didominasi oleh kaum pria meninggalkan catatan merah tersendiri bahwa pada satu titik tertentu politik tidak lebihnya dari jalan pemuas kesenangan. Sementara wanita seringkali menjadi korban dari maskulinitas politik tersebut. Namun demikian, tidak ada salahnya juga untuk tetap optimis dan menaruh harapan pada perubahan ke arah yang lebih baik. Jika pendidikan nilai sudah berjalan dengan semestinya, niscaya para politisi bangsa ini tidak akan mudah tergoda oleh bujuk rayu akan kepuasan sesaat.

Kebangkitan banyak politisi wanita di dunia saat ini sebenarnya menandai babak baru perubahan citra politik yang maskulin. Wanita oleh banyak orang dianggap bisa lebih dipercaya untuk menjalankan tugas-tugas publik dan kepartaian, serta tidak mudah terjebak dalam maskulinitas politik dan kekuasaan tradisional yang lahir dari sifat-sifat laki-laki.

Secara fisik wanita memang mungkin lebih lemah dibandingkan pria. Namun, pada saat berhadapan dengan maskulinitas politik dan kekuasaan yang mudah tergoda uang dan seks, wanita jauh lebih mampu mengambil kebijakan yang lebih rasional ketimbang pria. Apa benar begitu? Mungkin perlu kajian yang lebih mendalam lagi tentang hal ini. Yang jelas, tidak diragukan lagi bahwa para politisi wanita saat ini telah mampu menunjukkan perannya dan untuk perubahan citra politik yang lebih baik hal ini harus didukung. (S13)

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Menguji “Otot Politik” Andika Perkasa

Pilgub Jawa Tengah 2024 kiranya bukan bagaimana kelihaian politik Andika Perkasa bekerja di debutnya di kontestasi elektoral, melainkan mengenai sebuah hal yang juga lebih besar dari sekadar pembuktian PDIP untuk mempertahankan kehormatan mereka di kandang sendiri.

Menyoal Kabinet Panoptikon ala Prabowo

Pemerintahan Prabowo disebut memiliki kabinet yang terlalu besar. Namun, Prabowo bisa jadi memiliki kunci kendali yakni konsep "panoptikon".

Tidak Salah The Economist Dukung Kamala?

Pernyataan dukungan The Economist terhadap calon presiden Amerika Serikat, Kamala Harris, jadi perhatian publik soal perdebatan kenetralan media. Apakah keputusan yang dilakukan The Economist benar-benar salah?

Ridwan Kamil dan “Alibaba Way”

Ridwan Kamil usulkan agar setiap mal di Jakarta diwajibkan menampilkan 30 persen produk lokal. Mungkinkah ini gagasan Alibaba Way?

Hype Besar Kabinet Prabowo

Masyarakat menaruh harapan besar pada kabinet Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

Rahasia Kesaktian Cak Imin-Zulhas?

Dengarkan artikel ini: Audio ini dibuat menggunakan AI. Di tengah kompetisi untuk tetap eksis di blantika politik Indonesia, Zulkifli Hasan dan Muhaimin Iskandar tampak begitu kuat...

Prabowo, the Game-master President?

Di awal kepresidenannya, Prabowo aktif menggembleng Kabinet Merah Putih. Apakah Prabowo kini berperan sebagai the game-master president?

Indonesia First: Doktrin Prabowo ala Mearsheimer? 

Sejumlah pihak berpandangan bahwa Indonesia di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto akan lebih proteksionis. Seberapa besar kemungkinannya kecurigaan itu terjadi? 

More Stories

Hype Besar Kabinet Prabowo

Masyarakat menaruh harapan besar pada kabinet Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

Koalisi Titan: Sentripetalisme Konsensus Demokrasi Prabowo

Prabowo Subianto resmi melantik 48 menteri yang akan mengisi Kabinet Merah Putih yang dipimpinnya.

Perang Bharatayuddha Jokowi vs Megawati

Pemanggilan sosok-sosok calon menteri dan calon wakil menteri untuk kabinet Prabowo-Gibran dalam 3 hari terakhir jadi pemandangan terbaru pertarungan di level elite.