Site icon PinterPolitik.com

Politik Kutu Loncat

Politik Kutu Loncat

ilustrasi

Pragmatisme secara sederhana bisa diartikan sebagai tradisi filsafat yang mengatakan bahwa pengetahuan harus digunakan sebagai alat untuk memprediksi masa depan, menyelesaikan masalah dan mengambil tindakan.


PinterPolitik.com 

[dropcap size=big]S[/dropcap]ore ini sembari ngopi atau ngeteh sambil makan gorengan, mari kita membolik-balik buku sejarah, mengingat kembali kebesaran kekaisaran Romawi. Salah satu kisah yang menarik untuk diceritakan kembali adalah kisah pertempuran di jembatan Malvius. Pertempuran di jembatan Malvius (Malvian bridge) pada 28 Oktober 312 M merupakan salah satu pertempuran epik yang meninggalkan banyak kisah. Bukan hanya soal kekalahan Maxentius dari Konstantinus Agung, tetapi juga soal politik dan pragmatisme di belakangnya. Kekaisaran Romawi pada saat itu sedang mengalami pergolakan dan menghadapi ancaman perpecahan. Konstantinus yang mengetahui bahwa ada dua kekuatan politik yang ada di sekitarnya: Maxentius dan Licinius, memainkan strategi cerdas dengan merangkul Licinius dan menyatakan perang terhadap Maxentius. Konstantinus memberikan saudarinya Flavia Julia Constantia untuk dinikahi oleh Licinius. Licinius dan Konstantinus kemudian secara bersama-sama mengalahkan Maxentius. Setelah Maxentius yang tenggelam di sungai pada pertempuran di jembatan Malvius berhasil dikalahkan, Konstantinus berbalik memerangi dan akhirnya mengalahkan Licinius. Kekaisaran Romawi pada akhirnya tetap kuat dan kokoh di bawah kendali kaisar agung Konstantinus.

Kisah sejarah ini menggambarkan secara jelas bukan hanya soal kebesaran Konstantinus – seorang kaisar yang menggunakan agama Kristen sebagai alat politik, tetapi juga soal strategi politiknya yang pragmatis. Ada petuah lama yang mengatakan bahwa dalam politik tidak ada musuh dan teman yang abadi. Kisah Konstantinus dan Licinius merupakan gambaran paling jelas pemaknaan petuah tersebut: dalam politik seringkali kawan bisa berubah menjadi lawan, begitu pun sebaliknya lawan politik pada suatu saat bisa berubah menjadi kawan. Heraclitus bilang: ‘tidak ada yang abadi di dunia ini, satu-satunya yang abadi adalah perubahan’. Lawan dan kawan bisa berubah dengan sangat cepat, tergantung situasi dan kepentingan.

Lalu apakah hal tersebut juga terjadi di Indonesia? Jawabnya adalah: ya. Bila perlu ‘YA’ ditulis dengan huruf kapital semua agar semakin meyakinkan. Politik yang pragmatis sudah dan sedang terjadi di negara ini. Sebelum lebih jauh melangkah, biar nggak bikin bingung, kita tentunya harus paham soal pragmatisme. Pragmatisme secara sederhana bisa diartikan sebagai tradisi filsafat yang mengatakan bahwa pengetahuan harus digunakan sebagai alat untuk memprediksi masa depan, menyelesaikan masalah dan mengambil tindakan. Jika dikaitkan dengan politik, maka politik yang pragmatis bertujuan untuk memperjuangkan atau mengamankan kepentingan tertentu melalui prediksi, solusi atau tindakan. Oleh karena itu, pragmatisme menolak pandangan kaum idealis dan realis tentang pengetahuan sebagai proyeksi realitas. Makin bingung bukan? Tentu saja, karena ini butuh 6 SKS di kuliahan untuk benar-benar bisa dimengerti secara mendalam. Jadi cukup dipahami secara sederhana saja bahwa orang yang pragmatis adalah yang menggunakan pengetahuan dan kemampuannya untuk menyelesaikan masalah dan mengartikulasikan kepentingannya. Orang yang pragmatis adalah yang bisa berubah pendiriannya tergantung situasi, kondisi, dan artikulasi kepentingannya. Dalam politik, pragmatisme itu ibarat pepatah: ‘ada gula, ada semut’. Di mana ada kekuasaan yang bisa memberikan keuntungan, maka di situlah para politisi pragmatis akan berada.

Panggung perpolitikan di Indonesia saat ini dipenuhi oleh banyak politisi pragmatis. Lihat saja partai-partai yang ada saat ini. Pada pemilu 2014, partai-partai terbagi dalam dua kubu besar: koalisi Indonesia Hebat dan Koalisi Merah Putih. Namun, setelah kemenangan diraih oleh koalisi Indonesia Hebat, beberapa partai dari koalisi Merah Putih kemudian berpindah posisi ke koalisi pemerintah. Sebut saja Golkar, PAN dan PPP. Sementara partai koalisi Indonesia Hebat, sebut saja PKB misalnya dalam kasus pilkada Jakarta malah menyebrang ke koalisi Cikeas bersama Partai Demokrat.

Selain partai, politisi-politisi pragmatis pun berseliweran di mana-mana. Mungkin terkesan sarkastis menyebutnya secara langsung sebagai politisi pragmatis, tapi faktanya banyak yang pindah-pindah partai misalnya demi mencapai kepentingan pribadinya atau memperoleh jabatan dan kekuasaan. Yuddy Chrisnandi dari Golkar ke Hanura, Ruhut Sitompul dari Golkar ke Demokrat, Dede Yusuf dari PAN ke Demokrat, atau bahkan Basuki Tjahja Purnama atau Ahok yang telah tiga kali berpindah partai hingga saat ini, merupakan beberapa contoh politisi yang berpindah partai. Apakah mereka politisi pragmatis? Mungkin sebaiknya ditanyakan pada para tukang sapu jalan. Paling juga dijawab: “Mas, kalau jalan di trotoar jangan nginjek taman-nya, ya”. Sebutan ‘kutu loncat’ mungkin bagus untuk disematkan pada para politisi tersebut.

Selain itu, politisi pragmatis juga handal dalam lobi-lobi politik. Ada yang setelah diberhentikan dari jabatan di DPR, malah bisa memperoleh jabatan ketua partai, bahkan kemudian kembali memperoleh jabatan di DPR yang sebelumnya dicopot darinya. Siapa dia? Mungkin ditanyakan saja pada pedagang rokok di pinggir jalan. Masyarakat saat ini sudah pandai menilai. Walaupun demikian, sebenarnya agak cukup sakit hati juga melihat orang seperti itu: wakil rakyat yang tidak membawa dampak apa-apa untuk daerah yang ia wakili. Politisi-politisi tersebut semula seolah anti terhadap pemerintahan yang berkuasa, namun bisa dengan cepat berubah haluan mendukung pemerintah. Itulah pragmatisme dalam politik, tidak ada kawan dan lawan yang abadi.

“Politics is the art of possible”. Ungkapan tersebut merupakan salah satu penggalan kalimat terkenal yang diungkapkan oleh Otto von Bismarck, kanselir pertama Jerman  yang memerintah antara tahun1871 sampai 1890. Politik adalah seni untuk memperhitungkan semua kemungkinan. Terlepas dari peran Bismarck sebagai penggagas welfare state atau sistem negara kesejahteraan, ungkapan tersebut sungguh sangat relevan untuk menggambarkan dan mereflesikan situasi politik dan prilaku para politisi saat ini. Politik adalah hitung-hitungan untung rugi: sebuah kalkulasi kepentingan dan bagaimana mengupayakannya terwujud. Politik butuh matematika. Namun, matematika politik bukanlah perhitungan yang absolut, kadang kala hasil yang dicapai bisa berbeda, tergantung situasi dan variabel yang dipakai.

Politisi pragmatis semakin banyak dan ada di mana-mana di negara ini. Tetapi, apakah itu salah? Dalam dunia perpolitikan tentu saja kita tidak bisa membuat justifikasi. Politik adalah seni untuk melihat setiap variabel yang memungkinkan dan menguntungkan: politisi cerdas tahu apa yang harus dilakukannya untuk menyelamatkan kepentingannya. Namun, jika melihat permasalahan ini dari sudut pandang rakyat biasa, tentu saja kita bisa dan bahkan sangat boleh untuk merasa sakit hati. Politisi ‘kutu loncat’ yang seolah memperjuangkan kepentingan rakyat, tetapi pada ujungnya lebih concern pada kepentingan pribadinya masing-masing adalah sebuah pengkhianatan. Rakyat berhak untuk memilih orang-orang yang setia memperjuangkan kepentingan masyarakat, bukan yang membohongi rakyat dengan janji-janji manis.

Berangkat dari kisah Licinius dan Konstantinus, marilah kita merefleksikan dunia politik di negara ini. Apalagi saat ini menjelang pemilukada serentak di berbagai daerah di Indonesia. Marilah kita memilah-milah mana politisi yang layak kita pilih untuk memimpin kita. Pantau track record-nya dan lihat mana yang pragmatis atau hanya sekedar mencari jabatan dan mengumbar janji. Pada akhirnya kita bisa mendapat gambaran yang jelas sosok pemimpin yang ideal untuk kita pilih. Mari melihat mana Konstantinus, mana Licinius dan mana Maxentius. Sambil memikirkannya, mungkin baik juga kita membersihkan sampah dan kerja bakti membersihkan lingkungan sekitar. Mumpung musim hujan, biar nggak banjir. (S13)

Exit mobile version