Berdasarkan pergub, pendemo hanya diperbolehkan melakukan aksi di tiga lokasi, yaitu Parkir Timur Senayan, Alun-alun Demokrasi DPR RI, dan Silang Selatan Monas. Melalui pergub ini diharapkan unjuk rasa tidak mengganggu kenyamanan warga.
pinterpolitik.com
JAKARTA – Masih ingatkah akan demonstrasi para mahasiswa sewaktu menggulingkan pemerintah Orde Baru pada 1998? Mahasiswa dengan gigih dan tulus menyuarakan aspirasi dengan beberapa alasan. Salah satu di antaranya adalah bahwa pemerintah Orde Baru sebetulnya bukan pemerintahan yang demokratis, karena sudah berkuasa selama 32 tahun.
Para mahasiswa menyuarakan aspirasi bahwa NKRI memerlukan reformasi. Dalam peristiwa itu gugur beberapa mahasiswa, yang ditembak, dan menjadi Pahlawan Reformasi, meninggalkan kasus Semanggi yang belum terkuak tuntas hingga kini.
Masyarakat perlu berpartisipasi untuk mengawal jalannya pemerintahan, sehingga aksi unjuk rasa atau demo dilakukan. Hal itu sekaligus mempertontonkan kebebasan berekspresi dan menyampaikan gagasan.
Belakangan ini ada demonstrasi yang dijadikan alat untuk memaksakan kehendak dari sekelompok orang terhadap otoritas tertentu. Bahkan, ada pula aksi demo yang bisa dipesan untuk mencapai tuntutan yang memesan. Hal ini tentu menjadi fenomena yang beda dari demo mahasiswa pro-reformasi pada 1998.
Kadang-kadang kita bertanya, mengapa masih ada demo pada jam-jam kerja yang bisa menggalang banyak orang? Konon ada orang-orang tertentu yang sanggup mendatangkan banyak orang dan tentu saja ini jasa.
Lepas dari hal itu, kenyataannya masih banyak pihak yang suka memakai demo untuk menggolkan aspirasi dan tujuan agar didengar dan diterima oleh pemerintah, DPR, Pemprov DKI Jakarta, dan lain sebagainya.
Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, telah menandatangani Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 228 Tahun 2015 tentang Pengendalian Pelaksanaan Penyampaian Pendapat di Muka Umum pada Ruang Terbuka. Melalui pergub tersebut, pengunjuk rasa tidak bisa sewenang-wenang lagi melakukan aksinya. “Jadi, sekarang suara pendemo sudah tidak boleh keras dan jangan bikin macet,” kata Ahok beberapa waktu lalu.
Berdasarkan pergub, pendemo hanya diperbolehkan melakukan aksi di tiga lokasi, yaitu Parkir Timur Senayan, Alun-alun Demokrasi DPR RI, dan Silang Selatan Monas. Melalui pergub ini diharapkan unjuk rasa tidak mengganggu kenyamanan warga.
Peraturan tersebut disahkan Ahok pada 28 Oktober 2015. Jam-jam berunjukrasa pun ditentukan, yakni pukul 06.00-18.00. Kemudian pelaku demo tidak boleh mengganggu kesehatan dengan membakar ban atau menggunakan pengeras suara lebih dari 60 desibel (DB).
Pemerintah bisa bertemu dengan perwakilan demonstran, dengan lima perwakilan pelaku demo yang dapat menemui perwakilan pemerintah atau dari kementerian.
Para pendemo yang akan melakukan untuk rasa ke Istana Presiden atau Balai Kota akan dibantu Polri dengan mengarahkan mereka ke Monas. Pengunjuk rasa yang mengarah ke DPR atau kantor kementerian akan diarahkan ke Parkir Timur Senayan dan Alun-alun DPR RI.
Selama aksi demo masih sebatas sesuai aturan tentu Polri akan menjaga dan mengawalnya. Yang kadang-kadang terlihat berlebihan adalah sedikit-sedikit demo, padahal tuntutan dan tujuannya hanya untuk sekelompok atau golongan tertentu, bukan untuk kemaslahatan rakyat banyak. Aksi demikian akan membuat kesal masyarakat. (Berbagai sumber/G18)