Jokowi memang terlihat ‘galak’ di Natuna saat mengatakan bahwa masalah territorial tidak bisa diganggu gugat. Namun demikian, sebetulnya Jokowi juga terlihat berhati-hati dalam konflik di LCS.
PinterPolitik.com
[dropcap size=big]K[/dropcap]etegangan kembali terjadi di Laut China Selatan (LCS). Pada awal Maret lalu situasi sempat memanas setelah Vietnam memprotes aksi kapal pesiar Tiongkok yang berhenti di Pulau Paracel – pulau di LCS yang masih menjadi sengketa antara Tiongkok dan Vietnam.
Saat ini, situasi diperkirakan akan kembali memanas setelah Jepang – negara yang tidak terlibat dalam konflik ini – berencana mengirimkan kapal perang JS Izumo (DDH 183) dalam misi 3 bulan melewati LCS menuju ke India. JS Izumo (DDH 183) merupakan salah satu jenis kapal perang destroyer paling besar di dunia – saat ini menduduki peringkat 10 di dunia – dan mampu membawa 9 helikopter di atasnya.
Rencana Jepang ini tentu saja akan memperkeruh situasi konflik, mengingat Tiongkok sangat tegas dengan klaim wilayah perairan di LCS, selain juga karena Jepang adalah salah satu sekutu terdekat Amerika Serikat – salah satu negara yang ada di balik konflik LCS.
Konflik perebutan wilayah atau territorial dispute yang terjadi di LCS melibatkan Tiongkok dan beberapa negara ASEAN, seperti Filipina, Malaysia, Vietnam serta Brunei Darussalam. Namun, beberapa waktu lalu, Tiongkok juga mengklaim wilayah perairan milik Indonesia di Kepulauan Natuna sebagai bagian dari wilayahnya.
Menanggapi hal tersebut, Indonesia melakukan latihan militer udara di wilayah tersebut – yang disebut sebagai salah satu latihan militer terbesar yang pernah dilakukan oleh Indonesia – dan seolah mengirim ‘pesan’ kepada Tiongkok untuk tidak mengganggu kedaulatan wilayah Indonesia. “Natuna adalah wilayah territorial Indonesia. Itu final,” demikian kata Presiden Joko Widodo saat itu.
Persoalan ini mau tidak mau akhirnya menyeret Indonesia ke dalam konflik di LCS. Apalagi, potensi alam di wilayah Natuna sangat besar – diperkirakan ada cadangan gas alam yang nilainya mencapai 6.000 triliun rupiah di sana. Lalu, bagaimana pemerintahan Presiden Jokowi menyikapi persoalan ini dan bagaimana sebetulnya peta konflik yang ada di LCS?
Teritorial Dispute di LCS
Paul R. Hensel – Professor ilmu politik dari North Texas University – pernah menulis bahwa persoalan territorial dispute atau sengketa wilayah negara merupakan penyebab konflik yang paling sering terjadi dalam 2 sampai 3 abad terakhir. Hensel bahkan menyebutkan bahwa hampir semua konflik teritori yang pernah terjadi di dunia diselesaikan lewat peperangan. Apakah hal yang sama juga akan terjadi dalam konflik di LCS?
Konflik yang terjadi di wilayah LCS berawal dari klaim Tiongkok atas wilayah lautan ini berdasarkan peta dengan 9 garis putus-putus (nine dashed lines) – awalnya 11 garis putus-putus – yang dianggap sebagai wilayah tradisional perairan Tiongkok. Klaim Tiongkok atas wilayah ini didasarkan pada sebuah peta yang dibuat pada tahun 1940-an. Dalam peta tersebut, ada 9 garis putus-putus yang melampui perairan wilayah negara-negara yang ada di sekitarnya. Saat itu, Tiongkok adalah salah satu pemenang Perang Dunia II dan menjadi salah satu negara yang ikut mendirikan United Nations (PBB), sementara negara-negara yang ada di sekitar wilayah tersebut belum sepenuhnya berdaulat.
Tiongkok menggunakan peta historis tersebut untuk mengklami kepemilikannya atas kepulauan-kepulauan yang ada di wilayah LCS. Persoalannya, hingga awal tahun 2000-an, Tiongkok belum menjadi negara yang kuat secara ekonomi seperti saat ini. Ekonomi Tiongkok baru direformasi oleh Deng Xiaoping pada tahun 1978 – yang pernah mengatakan: ‘tidak masalah kucingnya hitam atau putih, yang penting ia bisa menangkap tikus’ – dan membawa Tiongkok memasuki era kebangkitan ekonomi.
Kemajuan ekonomi berdampak pula pada kemajuan di bidang militer, sehingga pada tahun 2000-an Tiongkok mencoba kembali untuk mengklaim wilayah yang menjadi miliknya. Pada tahun-tahun ini juga ada perubahan paradigma militer angkatan laut Tiongkok dari green water navy – yang hanya berorientasi pada laut yang menjadi teritorinya – menjadi blue water navy atau sudah berorientasi untuk menjadi angkatan militer yang mampu beroperasi secara global dan melewati lautan-lautan dalam. Oleh karena itu, penguasaan atas wilayah LCS sangat vital bagi strategi blue water navy Tiongkok.
Masalahnya, saat itu telah ada aturan United Nations on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982 tentang Zona Ekonomi ekslusif (ZEE) yang jaraknya mencapai 200 mil laut dari garis pantai suatu negara. Klaim tiongkok atas 9 garis putus-putus tersebut melampui wilayah perairan beberapa negara yang ada di sekitar LCS, yakni Filipina, Malaysia, Brunei Darussalam, Vietnam, dan termasuk juga wilayah perairan Indonesia di Natuna. Maka, lahirlah ketegangan dan konflik di antara negara-negara tersebut.
Ekonomi di LCS
Selain karena persoalan historis, sesungguhnya LCS merupakan wilayah laut yang sangat strategis dalam jalur pelayaran dan perdagangan internasional. Jika terjadi konflik di wilayah ini, maka tentu saja perdagangan dan ekonomi dunia akan terganggu.
Setiap tahunnya, tercatat hampir 50.000 kapal melewati perairan ini. Jumlah ini merupakan dua kali lipat jumlah kapal yang melewati Terusan Suez, dan hampir tiga kali lipat jumlah kapal yang melewati Terusan Panama. Jumlah minyak mentah yang lewat di jalur ini menuju ke Jepang, Tiongkok, Korea Selatan dan Taiwan bahkan mencapai 23 % dari total keseluruhan konsumsi minyak dunia. Selain itu, pengapalan LNG melalui LCS mencapai dua pertiga perdagangan LNG dunia secara keseluruhan.
Nilai ekonomi dalam perdagangan yang menggunakan jalur pelayaran ini mencapai 5,3 triliun dollar setiap tahunnya dan nilainya mencapai 30 % dari total perdagangan di seluruh dunia. Maka, sangat jelas mengapa wilayah ini menjadi begitu strategis. Hal yang menarik adalah dari total keseluruhan nilai perdagangan tersebut, 1,2 triliun dollar merupakan nilai perdagangan yang melibatkan Amerika Serikat di dalamnya. Wow, apakah hal ini yang menyebabkan Amerika Serikat cukup serius menanggapi persoalan ini?
Selain itu, dari sisi sumber daya alam, diperkirakan ada 11 miliar barell minyak bumi dan 190 triliun kubik gas alam yang terkandung di wilayah LCS. Kekayaan laut dan perikanan di wilayah ini juga diperkirakan mencapai 10 % dari total perikanan di seluruh dunia. Tergambar jelas lah bagaimana potensi ekonomi yang ada di kawasan ini. Tidak diragukan lagi, dengan menguasai LCS, Tiongkok akan mempunyai power yang cukup untuk mengimbangi dominasi Amerika Serikat.
Selain karena nilai perdagangan yang besar, Amerika Serikat punya kepentingan lain terkait keberadaan jalur laut terbuka (open sea lanes) di wilayah Asia. Sebagai negara dengan angkatan laut terbesar di dunia, hal ini penting untuk menjamin posisinya sebagai ‘polisi’ di berbagai wilayah di dunia. Selain itu, Amerika Serikat belum yakin dengan posisi Tiongkok dalam konteks politik global: apakah negara ini akan mengikuti ‘liberal world order’ yang ada, atau malah ingin mengacaukannya. Kedekatan Tiongkok dengan Rusia juga dianggap sebagai salah satu faktor mengapa LCS begitu penting bagi Amerika Serikat.
Jokowi: ‘Mendayung di Antara Dua Karang’ di LCS
‘Mendayung di antara dua karang’, itulah judul pidato Mohammad Hatta pada 2 September 1948 untuk menggambarkan bagaimana politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif. Untuk kasus di LCS, tampaknya Presiden Jokowi juga sedang ‘mendayung di antara dua karang’. Sangat jelas terlihat bahwa di LCS ada konflik kepentingan antara Amerika Serikat dan Tiongkok.
Jokowi memang terlihat ‘galak’ di Natuna saat mengatakan bahwa masalah territorial tidak bisa diganggu gugat. Namun demikian, sebetulnya Jokowi juga terlihat berhati-hati dalam konflik di LCS. Tiongkok adalah salah satu investor terbesar di Indonesia – hal yang sama mungkin bisa dilihat dari sikap Presiden Duterte di Filipina yang terlihat dekat dengan Tiongkok. Nilai Foreign Direct Investment (FDI) dari Tiongkok di Indonesia juga terus meningkat, sementara pada saat yang sama FDI dari Amerika Serikat justru menurun drastis.
Selain itu, Presiden Xi Jinping juga sangat dekat dengan Jokowi. Jika terlalu konfrontatif terhadap Tiongkok, bisa jadi hal ini dapat berdampak bagi investasi Tiongkok di Indonesia. Walaupun demikian, Jokowi harus tetap menunjukkan sikap. Jika tidak, akan ada tekanan dari dalam negeri serta dari Amerika Serikat.
Sikap hati-hati Jokowi ini terlihat ketika ada wacana untuk melakukan kerjasama di bidang maritim dengan melakukan patroli bersama dengan Australia. Namun, wacana tersebut kemungkinan tidak terealisasi karena Jokowi tidak ingin patroli tersebut membuat Tiongkok gusar – tentunya terkait masalah di LCS.
Sebagai negara inti di ASEAN, Indonesia sebetulnya bisa memainkan peran yang lebih besar untuk menjembatani penyelesaian konflik di LCS. Namun, hal itu tidak dilakukan karena adanya vested interest – istilah yang digunakan oleh Profesor Ikrar Nusa Bakti untuk menggambarkan ‘kepentingan-kepentingan’ yang saling berseberangan – di antara negara-negara anggota ASEAN.
Presiden Jokowi juga agaknya kurang begitu tertarik dengan politik luar negeri yang tidak membawa dampak ekonomi bagi Indonesia. Maka, dalam kasus konflik di LCS ini, selama tidak ada dampak bagi kedaulatan Indonesia dan tidak ada gangguan ekonomi bagi Indonesia, mungkin saja presiden Jokowi akan tetap ‘menyembunyikan kartunya’. Jokowi memang mendayung di antara dua karang, memilih untuk mengirim pesan yang lebih simbolik kepada Tiongkok lewat latihan militer di Natuna. Lalu, apakah Jokowi akan membuka kartunya saat konflik ini memasuki babak baru?
Masa Depan Konflik LCS
LCS merupakan wilayah laut yang strategis, dan karenanya jika pecah konflik bersenjata di wilayah ini, maka perdagangan dan ekonomi global akan terganggu. Amerika Serikat akan merasakan dampak yang besar karena kehilangan nilai perdagangan yang cukup besar. Selain itu, jika berkuasa atas wilayah nine dashed line, maka Tiongkok bisa dengan sesukanya mengatur wilayah tersebut, bahkan bisa jadi menutup wilayah perairan tersebut – hal yang bisa meningkatkan biaya perdagangan ke Asia Timur.
Presiden Jokowi memang sedang berusaha untuk mengembalikan negara ini menjadi pusat kemaritiman dunia – cita-cita yang mungkin diamini sepenuhnya oleh Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti.
Aksi Nyentrik Menteri Susi : Mulai Yoga di Laut Sampai Nyeruput Kopi di Atas Kano https://t.co/cKgFmW6xfa
— Tribun Jogja (@tribunjogja) March 14, 2017
‘Yang berkuasa di laut, dia lah yang memenangkan peperangan’, demikianlah salah satu pesan dari kisah epik pertempuran Lade (494 SM) antara 600 kapal Raja Darius Yang Agung (550 – 486 SM) dari Persia melawan 300-an kapal negara-negara kota Ionia. Mereka mungkin menjadi cerita tentang pentingnya kekuasaan di laut, sama seperti moto Angkatan Laut (AL) Republik Indonesia: “Jalesveva Jayamahe”, yang artinya ‘Di Laut, Kita Berjaya’.
Ketika memimimpin delegasi Indonesia pada Konvensi PBB tentang Hukum Laut di Cararcas, Venezuela pada tahun 1974, Menteri Kehakiman, Mochtar Kusumaatmadja – salah seorang yang berjasa bagi lahirnya UNCLOS – mengatakan bahwa bagi negara kepulauan seperti Indonesia, penting adanya perasaan tidak terancam dan adanya kondisi yang memungkinkan bagi terciptanya Zona Damai, Kebebasan, dan Netralitas (Zone of Peace, Freedom and Neutrality/ZOPFAN). Maka, politik kemaritiman Indonesia harus diarahkan untuk tujuan tersebut. Pertanyaannya apa mungkin dalam konflik LCS hal itu juga dapat tercipta? (S13)