Site icon PinterPolitik.com

Popularitas vs Elektabilitas

Popularitas vs Elektabilitas

istimewa

Sejak Pemilu 2009 lalu, jumlah artis yang masuk ke panggung politik semakin bertambah. Seberapa berkualitaskah para artis tersebut di mata rakyat?


PinterPolitik.com

“You can’t trust politicians. It doesn’t matter who makes a political speech. It’s all lies – and it applies to any rock star who wants to make a political speech as well.” ~ Bob Geldof, Boomtownrats.

“Apa? Andika Kangen Band jadi kader Demokrat? Mendingan dia jadi vokalis aja lah,” komentar seseorang, saat membaca berita mengenai diangkatnya vokalis tersebut sebagai anggota Partai Demokrat Lampung. “Padahal di luar sana, masih banyak generasi yang jauh lebih baik dari segi pendidikan, moral dan perilaku,” komen lainnya, terkait kenyataan kalau Andika baru saja keluar dari penjara akibat terjerat kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).

Namun Sekretaris DPD Demokrat Lampung, Fajrun Najah Ahmad (Fajar) menyanggah, menurutnya alasan Andika diajak menjadi pengurus partai adalah untuk menarik kalangan generasi muda aktif di partai berlambang Mercy tersebut. “Andika diajak untuk menarik minat anak-anak muda supaya ikut dan aktif di Demokrat. Istilahnya untuk merangkul anak muda melalui bidang kesenian,” katanya.

Selang beberapa hari lalu vokalis band lainnya, Pasha Ungu, juga sempat meramaikan berita. Wakil Walikota Palu ini sempat diminta mundur oleh Ketua DPRD Palu, Mohammad Iqbal Andi Magga. Ia menilai, kembalinya Pasha sebagai vokalis dan ikut konser di luar negeri mengindikasikan Pasha masih belum bisa melepaskan posisinya tersebut. Jika memang begitu, ia menyarankan Pasha mundur dari jabatan Wawali.

“Wakil Walikota Palu sebaiknya membaca kembali UU Pemerintahan Daerah Nomor 23/2014, khususnya Pasal 76, tentang larangan bagi kepala daerah dan wakil kepala daerah. Sangat jelas aturannya bahwa wakil kepala daerah tidak boleh terlibat dalam suatu usaha atau terlibat dalam badan usaha,” ujarnya, dikutip detiknews (29/3).

Politik Pragmatis Parpol

“Akhirnya politik menjadi soal modal, rakyat diajarkan memilih yang terkenal.”

Kalimat itu terlontar dari presenter cantik Najwa Shihab, menyikapi begitu banyaknya artis yang terjun ke dunia politik. Profesi artis saat ini seakan “batu lompatan” untuk cepat melejit menjadi pejabat maupun anggota legislatif. Sistem pemilihan langsung, harus diakui sebagai salah satu penyebabnya. Wajah para artis yang banyak tampil di televisi, dianggap menguntungkan untuk meraup suara bagi partai politik.

Partai Amanat Nasional (PAN) merupakan partai yang paling awal membuka kesempatan bagi para artis untuk berkiprah sebagai politikus. Bahkan, kala itu kepanjangan PAN sempat diplesetkan masyarakat sebagai Partai Artis Nasional. Salah satu kader yang dianggap berhasil, adalah Dede Yusuf. Aktor yang sempat terkenal dengan sebutan ‘Jojo’ saat membintangi sinetron ‘Jendela Rumah Kita’ ini, bahkan berhasil maju sebagai Wakil Gubernur Jawa Barat, periode 2008-2013.

Semenjak itu, parpol-parpol lainnya pun ikut merekrut para artis yang ingin berganti peruntungan di legislatif. Sehingga Pemilu tahun 2009, bisa dibilang sebagai awal mula di mana bangku-bangku DPR dan MPR di isi oleh wajah-wajah cantik dan ganteng. Jumlah artis yang mampu mendapatkan jatah kursi pun cukup fantastis, yaitu 59 orang dari 10 partai. Dari jumlah itu, 20 artis berasal dari PAN.

Namun di Pemilu 2014 lalu, ternyata jumlah artis yang melenggang ke bangku legislatif jumlahnya menurun drastis, yaitu hanya 15 orang saja, tersebar di sejumlah parpol dan Daerah Pemilihan (Dapil). Di sisi lain, artis yang mencalonkan diri sebagai pejabat daerah jumlahnya meningkat. Tercatat pada periode 2014-2019, ada enam artis yang berhasil menjabat sebagai wakil gubernur, wakil walikota, wakil bupati, maupun bupati.

Keputusan parpol untuk merekrut para artis sebagai kadernya, menurut pengamat politik dari LIPI, Lili Romli, merupakan strategi instan partai untuk mendapatkan dukungan suara secara cepat. “Politik kita instan. Ingin cepat mendapatkan dukungan suara dengan memasang artis yang dikenal masyarakat. Harusnya ada kesadaran di kalangan artis bisa mengukur diri sendiri, kalau tidak mampu, ya jangan,” ujarnya.

Namun ia pun menambahkan, kalau ada juga artis yang memang mampu dan terbukti berprestasi dalam berpolitik. Menurut Lili, masyarakat Indonesia sebaiknya diberikan kesadaran, agar tidak terjebak ke dalam politik instan. Masyarakat juga harus bisa menilai, apakah artis tersebut kelak mampu mengemban tugas-tugasnya atau tidak. “Masyarakat harus diberi kesadaran, agar tidak terjebak dengan politik pragmatis.”

Popularitas vs Elektabilitas

Taburan nama artis juga mulai menyemarakkan kontestasi pemilihan gubernur Jawa Barat tahun depan. Ketenaran Ridwan Kamil sepertinya akan diadu oleh popularitas para artis, sebut saja komedian Entis “Sule” Sutisna, Desy Ratnasari, dan tentu saja Dedy Mizwar yang saat ini masih menjabat sebagai Wakil Gubernur Jabar.

Munculnya nama Sule, menurut Dosen FSIP Universitas Parahyangan, Leo Agustino sangat memungkinkan sebagai calon gubernur Jabar mengingat popularitasnya yang sangat luas. Bahkan, dalam dua pekan terakhir, nama Sule kian santer didorong untuk maju di Pilkada Jabar 2018. “Bukan tidak mungkin, sebab sudah ramai di media sosial dan media massa terkait Sule maju ke Jabar satu,” katanya di Bandung.

Bila benar Sule dan Desy akan maju sebagai pimpinan puncak Jabar, maka pertarungan Pilkada Gubernur Jabar akan menarik. Kita akan melihat konstestasi politik antara pemimpin yang memiliki elektabilitas seperti Ridwan Kamil dan Dedy Mizwar, dengan artis populer seperti Sule dan si pelantun tenda biru. Keduanya sama-sama dikenal rakyat, namun apakah popularitas artis bisa mengalahkan elektabilitas politikus?

Selain namanya dikenal masyarakat, sosok yang memiliki elektabilitas didefinisikan sebagai seorang yang memiliki kinerja tinggi di bidang jabatan publik. Bila seseorang yang berkinerja tinggi tersebut tidak terkenal, ia tak bisa dikatakan memiliki elektabilitas. Sebaliknya, seorang pejabat publik bisa memiliki elektabilitas tinggi karena ada yang mempopulerkannya secara tepat.

Sedangkan popularitas adalah tingkat keterkenalan di mata publik. Tidak semua orang yang popular, layak dipilih sebagai pejabat publik. Walau profesi bukan masalah, namun bila orang tersebut tidak memiliki kecakapan, pengetahuan, dan wawasan yang diperlukan sebagai pejabat publik, maka ia tidak bisa disebut memiliki elektabilitas.

Di sisi lain, ada juga orang yang mampu memenuhi unsur popularitas dan elektabilitas. Inilah sebenarnya, sosok ideal yang diharapkan oleh masyarakat. Namun tentu saja, orang yang mampu memiliki kualitas seperti ini jumlahnya tidak banyak. Lagi pula, harus ada pembuktian terlebih dahulu untuk menentukan dan mengetahui, apakah artis tersebut memiliki kemampuan sebagai pejabat publik atau tidak.

Artis Dengan Elektabilitas

“Enaknya seniman kalau udah di panggung politik, kita tidak perlu terkenal lagi. Bayangkan dengan yang politisi lain-lain, mereka bersusah payah supaya populer. Urusan cibiran sih ya sudah seperti itu yang terjadi di masyarakat kita.”

Perkataan Tantowi Yahya tersebut, terlontar menanggapi banyaknya cibiran masyarakat mengenai para artis yang seolah ingin ikut berebut kekuasaan. Menurutnya, memberikan pendapat jadi lebih mudah disampaikan dan didengarkan ketika ia menjadi politisi. “Kalau dulu, saya teriak, perubahan itu lama. Kalau sekarang jadi anggota dewan, saya bermitra dengan pemerintah, omongannya jadi pedas. Karena itu bukan omongan Tantowi, tapi omongan rakyat yang dititipkan ke saya,” jelas Anggota DPR Komisi I itu.

Namun sikap pragmatis parpol yang merekrut ‘kutu loncat’ atau kader karbitan sebagai calon legislator, baik di daerah atau pusat, membuat mereka tidak menjalankan tugasnya dengan baik, bahkan lebih banyak mengurusi bisnis pribadinya daripada tugasnya sebagai pejabat publik. Kondisi ini, sempat menjadi bahasan tim pakar pemerintah yang tengah menyusun RUU Penyelenggaraan Pemilu.

Kabarnya, dalam RUU yang akan selesai dibahas DPR Mei tahun ini, akan ada penyempurnaan. Salah satunya, memperketat syarat bagi seseorang yang ingin menjadi anggota legislatif. Walau sempat menjadi pro-kontra, namun sejumlah artis di DPR menyetujui syarat itu. Salah satunya dari Fraksi PKB, Krisna Mukti. Menurutnya, untuk menjadi caleg yang berkualitas dari kalangan artis, sebaiknya memang harus menjadi kader partai lebih dahulu.

Sehingga caleg yang diajuka minimal memiliki pengetahuan dan wawasan, walaupun baru satu tahun menjadi kader. Di setiap parpol, nantinya caleg artis akan ditempa dan diarahkan menjadi caleg yang mempunyai kapasitas dan kapabilitas seorang wakil rakyat yang amanah dan punya pengetahuan politik yang luas. “Jadi intinya bukan diskriminasi terhadap artis yang ingin nyaleg,” terang Krisna yang terpilih di Pileg 2014 lalu.

Hal yang sama juga dikatakan oleh artis dan anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrat Venna Melinda, ia menganggap syarat itu mudah dan wajar. Dengan begitu, caleg artis tidak hanya dianggap vote getter saja, melainkan memahami politik dan memang tahu kenapa memasuki dunia politik. Tentunya memasuki dunia politik dengan integritas, komitmen, dan visi-misi untuk membangun masyarakat di Dapilnya agar lebih maju.

Namun komedian senior Indro Warkop punya pendapat berbeda, menurutnya para seniman bangsa sebaiknya tidak turut campur di politik. Baginya, pentas hiburan masih sangat membutuhkan karya-karya segar dan baru dari para pembuat seni. “Karena mereka artis, berbuatlah untuk dunia yang berjasa untuk dirinya. Mereka kan dipilih karena punya nama dari status artisnya,” kritik penggemar motor Harley ini.

Ia mengaku kecewa dengan banyaknya artis yang beralih ke dunia politik. Padahal, dunia hiburan sendiri masih sangat membutuhkan ide-ide menarik dari mereka. Dalam pandangannya, para wakil bangsa di DPR sudah memiliki porsinya masing-masing. Untuk itu, ia mengajak para artis kembali lagi ke dunia hiburan untuk menjamah masyarakat secara ramah dengan ide yang lebih segar dan mengedukasi. “Baliklah ke dunia yang buat lo terkenal. Jangan kayak kacang lupa sama kulitnya.”

Bagaimana menurut pendapatmu sendiri? (Berbagai sumber/R24)

Exit mobile version