“Media massa masih diyakini memiliki kekuatan besar dalam pembentukan opini publik dan menjadi alat efektif dalam melancarkan propaganda. Dengan media massa, seseorang atau kelompok tertentu menanamkan pesan tertentu melalui informasi-informasi yang penyajiannya seringkali di-setting terlebih dulu.”
PinterPolitik.com
JAKARTA – Pada dasarnya manusia merupakan makhuk sosial. Dimana satu sama lain saling membutuhkan dan saling berhubungan. Dalam berbagai macam sektor kehidupan manusia memerlukan komunikasi. Melalui perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, semuanya menggunakan media sebagai suatu sumber untuk memperoleh informasi.
Lebih dari pada itu, lahirlah yang disebut Media Massa. Yaitu melaluinya orang banyak dapat mengakses informasi terbaru. Media massa merupakan saluran komunikasi, yang menjangkau publik yang berjumlah besar. “Media massa secara sederhana terdiri dari media cetak (surat kabar, majalah, buku, dan lain-lain), media elektronik (televisi dan radio), dan media online.
Berkat perkembangan teknologi informasi dan telekomunikasi, pengertian media massa ini makin meluas.” (Satrio Arismunandar, 2012). Pada umumnya, media massa memiliki tiga fungsi, yaitu memberi informasi, mendidik, menghibur. Dan, dalam masyarakat demokrasi saat ini, juga disebutkan fungsi keempat, yaitu melakukan kontrol sosial. Dalam hal ini media berfungsi seperti anjing penjaga (watchdog).
Tugasnya tidak hanya memenuhi tiga fungsi dasarnya saja, namun juga menjadi pengawas jalannya pemerintahan, mengritik berbagai penyimpangan dalam sistem pemerintahan dan tata negara baik hukum maupun kebijakannya, serta berbagai fenomena yang berlangsung dalam masyarakat itu sendiri. Entah itu berupa permasalahan ekonomi, kriminal, sosial maupun budaya.
Menurut Straubhaar & LaRose (2002), media memiliki beberapa pendekatan yang bisa dilakukannya. Diantaranya adalah Setting the agenda (Penetapan Agenda), Gate keeping (Menjaga Gerbang), Framming (Pembingkaian). Semuanya itu jika dijalankan dengan baik, maka akan menghasilkan output yang baik bagi banyak pihak.
Memang di era demokrasi ini semua bersifat terbuka, bebas dan aktif. Namun bukan berarti tidak ada batasnya, semua harus berjalan sesuai aturannya. Kembali seperti jaman Orde Baru dahulu, media massa pernah melewati fase terburuknya. Media massa di Indonesia pernah menjalani kondisi represif yang panjang kala itu, di mana saat itu praktis tidak ada kebebasan pers.
Bahkan ini menjadi sorotan di seluruh dunia ada masa itu. “The Authoritarian Theory is operationalized as strict control of content by the state and a general lack of freedom for the public to criticize state policies” said Jennifer Ostini. (https://epiclawyers.wordpress.com/introduction-to-four-theories-of-the-press/). Ancaman pembreidelan atau pencabutan izin penerbitan selalu menghantui pengelola media cetak. Sebaliknya, media saat ini justru menikmati kebebasan yang luar biasa, yang belum pernah dialami sebelumnya.
Tidak pernah terbayangkan di era Orde Baru bahwa sebuah media bisa bebas mengritik seorang presiden tanpa khawatir dibreidel, seperti yang bisa kita lihat sekarang. Persoalan utama yang dihadapi saat ini bukan lagi tentang ada-tidaknya kebebasan bagi media, melainkan bagaimana media massa dapat memanfaatkan anugerah kebebasan yang sudah ada itu dengan sebaik-baiknya, untuk mendukung upaya pembentukan karakter bangsa. Hal ini menjadi salah satu “misi” penting media massa kita sekarang.
Di luar daripada dasar itu semua, bahwa yang terpenting bahwa masyarakat merupakan subyek, tidak dapat lagi dikatakan pasif. Berkembang di era modern saat ini, masyarakat tidak hanya menjadi penonton, pendengar, pemirsa ataupun pembaca (satu arah) tetapi sejauh ini masyarakat memiliki akses untuk terlibat, menanggapi atau bahkan membuat sendiri suatu informasi.
Tapi masyarakat aktif terlibat, dikarenakan munculnya sosial media. Masyarakat dapat dengan mudah menanggapi, memberi sanggahan, bahkan masyarakat dapat membuat beritanya sendiri (upload). Bahkan menurut riset, Indonesia salah satu pengguna terbesar sosial media (media online/modern). Dapat dikatakan masyarakat Indonesia aktif dalam media informasi. Lalu dimana batas-batas informasi diterapkan. Apakah era kebebasan berarti sebebas-bebasnya?
“Alat Dan Senjata” Yang Ampuh
Ketika era kebebasan bergulir begitu saja, lalu apakah sebenarnya masyarakat memiliki kemerdekaan yang sejati? Atau itu semua hanya semu? Media massa yang sepatutnya dapat mengawal dan menterjemahkan arti kebebasan itu sendiri bahkan saat ini dirasa tidak murni berjalan dengan baik. Entah itu kode etik pers atau apapun sebutannya, berita yang saat ini tersaji seperti ada satu alur khusus yang telah ditentukan.
Apakah artinya media massa telah dikalahkan oleh kekuatan lain? Mungkin kurang tepat disebut seperti itu. Namun, pastinya media massa merupakan suatu alat yang mudah dijalankan untuk membuat, merubah ataupun menyusun opini dalam masyarakat. Entah itu benar ataupun tidak.
Media massa masih diyakini memiliki kekuatan besar dalam pembentukan opini publik dan menjadi alat efektif dalam melancarkan propaganda. Dengan media massa, seseorang atau kelompok tertentu menanamkan pesan tertentu melalui informasi-informasi yang penyajiannya seringkali disetting terlebih dulu. Dengan media massa orang bisa mencitrakan dirinya, menaikkan pamor tokoh tertentu atau bahkan menjatuhkan figur lawan.
Media massa sendiri memiliki berbagai peran, salah satunya ialah dalam mempengaruhi sikap dan perilaku seseorang maupun sekelompok orang ataupun masyarakat. Media mempengaruhi pandangan masyarakat dalam proses pembentukan opini atau sudut pandangnya. Media massa dapat dikatakan merupakan senjata yang ampuh bagi perebutan citra (image).
Media massa dalam perkembangannya kemudian menjadi salah satu media modern yang mendukung praktek propaganda. Media massa sendiri memiliki berbagai peran, salah satunya ialah dalam mempengaruhi sikap dan perilaku seseorang maupun sekelompok orang ataupun masyarakat. Media mempengaruhi pandangan masyarakat dalam proses pembentukan opini atau sudut pandangnya.
Media massa dapat dikatakan merupakan senjata yang ampuh bagi perebutan citra (image). Penggunaan media massa untuk tujuan tertentu tersebut lebih sering disebut sebagai Propaganda. “Propaganda modern menurut Garth S. Jowett and Victoria O’Donnell, adalah usaha dengan sengaja dan sistematis, untuk membentuk persepsi, memanipulasi pikiran, dan mengarahkan kelakuan untuk mendapatkan reaksi yang diinginkan penyebar propaganda.
Dalam kegiatannya, propaganda ditandai dengan beberapa komponen penting, yaitu ada pihak yang menyebarkan pesan; dilakukan secara terus menerus; terdapat proses penyampaian, ide/gagasan, kepercayaan atau doktrin; mempunyai tujuan untuk mengubah opini, sikap dan perilaku individu atau kelompok; suatu cara sistematis prosedural dan perencanaan matang; suatu program yang mempunyai tujuan konkrit.”
Propaganda dan media massa memang tak bisa terpisahkan, lewat media massa inilah kemudian propaganda bisa terlaksana dengan baik terlepas itu oleh media audio, visual, ataupun audio visual. Media massa memang memiliki pengaruh yang sangat sentral dalam pembentukan opini publik sehingga dalam hal ini informasi yang diberikan dapat mempengaruhi keadaan komunikasi sosial pada masyarakat.
Dengan media massa, seseorang atau kelompok tertentu menanamkan pesan tertentu melalui informasi-informasi yang penyajiannya seringkali disetting terlebih dulu. Dengan media massa orang bisa mencitrakan dirinya, menaikkan pamor tokoh tertentu atau bahkan menjatuhkan figur lawan.
Hingga saat ini, media massa masih diyakini memiliki kekuatan besar dalam pembentukan opini publik dan menjadi alat efektif dalam melancarkan propaganda. Dan uraian berikut menggambarkan bagaimana opini publik, propaganda, dan media massa memiliki hubungan yang sulit terpisahkan. Independensi media massa yang dianggap sebagai source oleh masyarakat untuk mendapat informasi, seakan menjadi pembenaran bahwa apa yang dikeluarkan atau diberitakan oleh media massa adalah kebenaran.
Walaupun apapun yang beredar itu tidaklah mutlak suatu kebenaran. Pertanyaan besarnya adalah siapa yang menggunakannya sebagai alat? Adakah pihak yang powerfull menggunakan media massa sebagai alat? Dalam hal ini negara sebagai pihak yang memegang media massa. Mungkin saja tidak hanya sebagai alat, tetapi sebagian pihak bisa menggunakannya sebagai senjata. Apapun yang ingin dibentuk dalam masyarakat tentunya bisa di propagandakan melalui media massa.
Dalam hal ini, Indonesia sebagai negara dengan era kebebasan informasi. Media massa merupakan kado yang empuk untuk masyarakat. Karena masyarakat Indonesia yang haus akan informasi terkadang kurang menelaah dengan baik kebenaran dan keabsahan informasi tersebut. Sehingga pihak-pihak yang kuat dan dapat mengendalikan media massa bisa saja dengan mudah melakukan propaganda.
Lalu apakah penguasa yang saat ini ada di Indonesia bisa saja melakukan propaganda? Tentu saja penguasa tidak harus pemerintah. Pihak manapun yang kuat, bahkan lebih kuat dari pemerintah sekalipun, bisa saja mengendalikan media massa. Bahkan pada masa Plato, media massa sudah diyakini mempunyai pengaruh. Karena itu, ia membatasi bahan-bahan bacaan untuk masyarakat tertentu.
Di Amerika Serikat (AS), sejak 1960-an, studi media sudah membuktikan bahwa media massa memunyai efek terhadap tindakan masyarakat, termasuk dalam tindakan-tindakan yang agresif dan revolusioner. Sejauh studi yang dilakukan para ahli, interpretasi media massa menjadi pertimbangan bagi sebuah gerakan sosial (Ray Eldon Hiebert dan kawan-kawan, 1982).
Ramainya media di Indonesia
Jikalau sejak jaman dahulu saja media massa begitu berpengaruh dalam perkambangan masyarakat, bagaimana saat ini? Begitu ramainya Indonesia ketika era reformasi, bahwa media massa begitu cepat memberitakan revolusi kecil yang terjadi di Indonesia. Lalu berlanjut sekarang, dalam 10 tahun terkakhir, Indonesia asyik dengan sosial media, yaitu perkembangan jauh media-media konvensional yang dirubah dengan berbagai macam perangkat lunak. Lebih cepat, lebih praktis, bahkan lebih terbuka.
Siapa yang mengeluarkan berita hingga siapa yang membaca atau menangkapnya bisa saling tahu. Bukankah begitu hebat keterbukaan ini? Tapi sepertinya tidak berjalan dengan begitu saja. Banyak kasus yang terjadi justru karena keterbukaan ini.
Hangat dalam pemberitaan saat ini yaitu Gubernur non-aktif DKI Jakarta, Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok sedang terjerat kasus penistaan agama. Kasus yang bermula karena perkataan Ahok tentang Surat Almaidah, dalam pidatonya di kampung nelayan Kepulauan seribu yang disimpan dalam video lalu disebarkan di jejaring sosial.
Bukankah miris ketika era keterbukaan justru membuat apapun yang dilakukan seseorang dapat cepat diketahui masyarakat. Apakah era keterbukaan berarti ketelanjangan privasi? Mengenai kasus Ahok ini Pakar Komunikasi Politik Ade Armando mengatakan bahwa, “Suatu hal yang salah, jika disampaikan terus menerus dan berulang-ulang, bisa menjadi sebuah kebenaran.”
https://www.youtube.com/watch?v=f52awys0vzQ
Senada dengan hal itu, Wilbur Schram, seorang pakar komunikasi asal Kanada pernah menyatakan, memang tidak menyebutkan cara sebagai sesuatu yang utama dalam teorinya. Dia hanya menyebutkan komunikasi sebagai “siapa mengatakan apa kepada siapa melalui media apa dengan dampak apa…” Tidak ada tambahan dengan cara apa. Lalu jika apa yang diterima masyarakat itulah yang dieksekusi oleh masyarakat, karena itu berbagai kalangan masyarakat melaporkan Ahok dan membuat kasus menjadi besar.
Tidak lupa dalam ingatan kita juga mengenai ramainya Pemilu Presiden 2014. Banyak media meliput dan memberitakan, tetapi tidak sedikit pula yang pemberitaannya berbeda. Bahkan antar media yang berasal dari satu sumber, satu kejadian, fakta dan data sama, masih bisa terjadi perbedaan. Bukankah berarti independensi media dipertanyakan. Media berarti sudah memiliki poros masing-masing. Atau bisa disebut juga kubu. Dari hal itu tidak sedikit juga yang mengakibatkan kejadiaan dalam masyarakat. Baik itu kekacauan ataupun keributan.
Lalu munculnya tabloid Obor Rakyat pada masa pilpres. Tabloid yang muncul di pesantren-pesantren itu berisi black campaign terhadap Joko Widodo. Tabloid itu hanya menonjolkan sisi negatif dari profil Joko Widodo dengan menyeleksi fakta-fakta yang ada, sehingga hanya hal-hal buruk saja yang terlihat.
Dalam hal ini dikenal teknik Card Staking, teknik ini dilakukan dengan memilih pernyataan yang akurat dan tidak akurat, logis dan tak logis dan menonjolkan salah satu aspek saja. Card Staking merupakan teknik propaganda dengan menonjolkan satu sisi saja, entah baik atau buruk, sehingga publik hanya melihat satu sisi saja. Card staking meliputi seleksi dan penggunaan fakta atau kebohongan untuk memberikan kemungkinan terburuk atau terbaik dari suatu gagasan.
Bukankah media yang memicunya? Lalu apakah janggal media berbuat demikian? Tentu tidak. Sebab sebagian besar media Indonesia telah berbau unsur politik, maka tidak heran jika setiap media memiliki kiblat politiknya masing-masing dan dapat melahirkan pemberitaan yang berbeda-beda.
https://www.youtube.com/watch?v=RtmIFQHtHkI
“Bola panas” di masyarakat
Seiring dengan perkembangan masyarakat, media juga bermetamorfosis. Dalam hal ini memunculkan kebudayaan virtual riil, dimana era masyarakat post-industry realitas sosial dapat dikatakan telah mati, yang kemudian diambil alih oleh realitas yang bersifat virtual, realitas cyberspace. Dunia baru yang melahirkan hal-hal yang serba virtual, seperti kebudayaan virtual dan komunitas virtual. Kita, sebagai masyarakat lah yang sebenarnya berada di titik paling ujung, untuk dapat memberi penilaian terhadap suatu informasi.
Lalu bukankah mudah mengarahkan pemberitaan? Apalagi sebagian besar media dimiliki oleh orang yang hidup dalam bidang politik. Bukankah kebijakan negara dapat dnegan mudah diintervesi? Jika owner dari kubu oposisi, maka pembertiaan medianya akan mengkritik bahkan menentang pemerintah. Lalu untuk para media dipihak pemerintah, pastinya akan memberi pemberitaan miring terkait kubu oposisi dan lebih banyak hal positif pemerintah.
Itu baru dari sisi antara pemerintah dan oposisi. Belum lagi untuk konspirasi-konspirasi kelas atas yang tak terkira. Entah itu propaganda untuk politik, isu sara, agama ataupun budaya hanya satu ujungnya yaitu pada kesamaan persepsi masyarkat akan isu yang dihembuskan tersebut. Sehingga timbul adanya pressure antara masyarakat dan pemerintah, untuk itu efeknya pasti munculnya kebijakan pemerintah.
Politik, hukum, sosial ataupun budaya pasti berporos pada hal ekonomi. Para pihak yang menguasai media ini sejatinya hanya butuh ruang untuk observasi demi kelangsungan bisnisnya. Butuh penonton untuk menjalankan aksinya. Serta butuh panggung untuk pementasan drama dan sandiwaranya.
Berita-berita tersebut disajikan, diibaratkan pertunjukan yang hebat, lalu kita masyarakat sebagai penonton asik dan larut dalam ceritanya. Bahkan tidak sedikit pula masyarakat yang terlibat menjadi pemeran atau figuran, tanpa kita mengerti siapa sutradara dibalik semua pertunjukan itu. Entah menjadi cerita gembira atau kesedihan kita tak pernah bisa menebak alurnya. Namun dengan nyamannya kita terlarut menjiwa cerita tersebut, diarahkan, dihipnotis dengan pengaruh-pengaruh kata-kata manipulatif.
Paradoks yang terlihat kemudian, masyarakat di era digital yang sesungguhnya sangat haus informasi, pada perkembangannya justru cenderung mengkonsumsi sumber-sumber informasi dan pemberitaan yang tidak mempedulikan kualitas informasi. Sehingga, masyarakat di era digital dan abad informasi seperti sekarang ini, justru menjelma menjadi masyarakat yang tidak well-informed.
“Saya meilihat ini bukan merupakan kondisi yang paradoks, tapi melainkan masyarakat mengalami kebingungan. Mereka tidak mampu memilah informasi, ” kata mantan Wartawan Kompas dan Pendiri Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Satrio Arismunandar.
Lebih lanjut Satrio mengatakan, saat ini masyarakat tidak lagi sekedar menjadi penerima konten tapi juga bisa menjadi pembuat konten. Masyarakat mampu membuat ‘media’ sendiri. Ini kemudian yang kemudian masyarakat mendapat keberlimpahan informasi.
“Sayangnya kondisi ini tidak bisa diikuti dengan kapasitas masyarakat dalam memilah informasi,” ucap Satrio.
Tanpa kita sadari segala resikonya ada pada kita sendiri sebagai masyarakat. Karena berhasil atau tidaknya propaganda tersebut, lahirlah kebijakan, yang mana diterapkan pada masyarakat. Jefferey Sach berkata, “the starting points is that we must recognize the snares that the economy has set for our own psyches. we must begin by reclaiming our balance as individuals, consumers,citizens and members of society.” Maka sepatutnya sadarlah kita akan segala informasi yang terus mengalir disekeliling kita. Kita harus cerdas dalam menelaah seluruh informasi yang ada. (y10)