Sembilan petani perempuan asal Kendeng melakukan aksi mengecor kaki di depan Istana Negara. Selama dua hari, para perempuan yang dijuluki Kartini Kendeng ini, mengecor kaki sebagai simbol keterbelengguan dan ketidakberdayaan petani jika pabrik semen tetap dibangun di kawasan pegunungan Kendeng.
PinterPolitik.com
[dropcap size=big]S[/dropcap]ejak Senin (13/03), sepuluh petani asal Jawa Tengah aksi melakukan aksi serupa. sepuluh petani asal Jawa Tengah mengadakan aksi unjuk rasa dengan mengecor kedua kaki mereka dengan semen. Aksi yang dilakukan di depan Istana Negara ini menuntut Presiden Jokowi menghentikan izin lingkungan pembangunan dan pertambangan PT. Semen Indonesia yang diterbitkan oleh Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, pada 23 Februari lalu.
Walaupun sudah mengantongi putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap serta perintah Presiden Jokowi, pihak korporasi dan pemerintah Jawa Tengah semakin bahu membahu ‘mengguncang’ kawasan lahan subur Kendeng.
Petani-petani yang terlibat dalam aksi pengecoran kaki sejak Senin (13/03), antara lain, Sudiri (Rembang), Junika (Rembang), Sukamdi (Rembang), Sukinah (Rembang), Suparmi (Rembang), Giyem (Pati), Darto (Pati), Sariman (Pati), Kumari (Blora), dan Darto (Grobogan). Aksi ini dimulai dari pukul 13:00 WIB sampai 17:00 WIB di pelataran Monumen Nasional yang berseberangan dengan Istana Negara. Setelah aksi berakhir, para petani ‘diangkut’ menuju kantor LBH (Lembaga Bantuan Hukum) Jakarta untuk beristirahat. Aksi ini konon akan terus dilakukan sampai Presiden Jokowi membatalkan izin lingkungan yang diterbitkan Gubernur Jawa Tengah.
Pembangunan pabrik semen oleh PT. Semen Indonesia ini berdiri di kawasan air tanah pegunungan yang menghidupi lebih dari 4 juta jiwa di lebih dari lima kabupaten. Menurut Joko Prianto, salah satu warga Kendeng yang aktif menuntut PT. Semen Indonesia, sudah ratusan tahun warga Kendeng bergantung pada sumber air tanah tersebut, pembangunan pabrik semen hanya akan membawa warga kehilangan mata pencaharian dari bertani, serta dibayangi ancaman pencemaran lingkungan akibat proses produksi semen.
Dampak Penambangan
Siti Maemunah, salah satu aktivis JATAM (Jaringan Advokasi Tambang) dalam wawancara bersama Jurnal Perempuan mengungkapkan ada empat hal yang akan terjadi jika tambang masuk ke suatu tempat, yaitu:
- Kawasan tangkapan air (hutan) akan dibongkar
- Kawasan resapan air berupa batuan akan diambil
- Air akan habis, karena mengolah/mengekstrasi bahan tambang beberapa gram, dibutuhkan air berliter-liter
- Limbah muncul akibat air yang digunakan untuk mengolah bahan tambang
Sudah dipastikan, krisis air akan terjadi pada daerah penambangan. Ketika krisis air terjadi, perempuanlah yang utama berhubungan dengan air untuk kegiatan reproduksi dan peran-peran domestiknya.
Perempuan yang tadinya dapat memenuhi kebutuhan pangan, obat-obatan, dari lingkungan sekitar, akan mengalami kenaikan biaya, jika kerusakan lingkungan terjadi. Tidak hanya urusan domestik saja, perempuan yang tinggal di kawasan lingkungan tercemar akibat penambangan akan mengalami masalah gangguan kesehatan reproduksi seperti keguguran, haid tidak lancar, hingga cacat melahirkan. Maka dari itu, Siti menyebutkan bahwa merusak lingkungan dengan melakukan tambang, sama saja melakukan kerusakan pada tubuh manusia, terutama tubuh perempuan. Ia menambahkan pula, sama seperti masyarakat Molo yang memandang air seperti darah, daging seperti tanah, hutan seperti kulit dan kerangka badan seperti batuan.
Namun, pihak PT. Semen Indonesia, berkilah bahwa dengan melakukan teknik penambangan hanya sampai kedalaman 150 – 250 meter di zona kering, akan meningkatkan produksi air. Sedangkan temuan dari Walhi menyatakan, penambangan di kedalaman 79 meter, sudah merusak zona perbatasan antara basah dan kering sehingga mengikis persediaan air dalam tanah.
Para warga dan juga beberapa aktivis lingkungan juga menemukan bahwa yang dicatut dalam Amdal tidak sesuai dengan kenyataan. Amdal menyebutkan jumlah gua berjumlah 9 buah, sedangkan di lapangan terdapat 64 gua. Amdal juga menyebut sumber mata air yang tersedia ada 40, sedangkan yang ditemukan warga dan para aktivis lingkungan berjumlah 125 sumber mata air. Begitu pula dengan ponor yang disebutkan tidak ada di lapangan, sedangkan kenyatannya terdapat 28 titik ponor.
Tak mau kalah, sejak 15 Juli 2014, PT. Semen Indonesia sudah berusaha memasuki kawasan Kendeng, Jawa Tengah. Daerah pegunungan Kendeng yang kaya akan kapur dan gamping, terbentang di enam kabupaten: Rembang, Pati, Kudus, Jepara, Blora, dan Grobogan. Namun, sejak 2012, melalui Amdal (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan), PT.Semen Indonesia sudah mengantongi izin pembangunan dari Gubernur Bibit Waluyo.
PT Semen Indonesia merupakan produsen semen terbesar di Indonesia. Berganti nama dari PT. Semen Gresik (Persero) Tbk, perusahaan ini diresmikan di Gresik pada tanggal 7 Agustus 1957 oleh Presiden Soekarno. Waktu itu, kapasitas produksi semen diharapkan bisa mencapai 250.000 ton per tahunnya.
Kini, di bawah BUMN dan Kementrian Perindustrian, PT. Semen Indonesia dapat memproduksi semen hingga 7,7 juta ton per tahun. Angka produksi diharapkan bisa mencapai 102 juta ton pada 2017 seiring dengan tingginya realisasi investasi pada industri semen dalam negeri.
Walaupun sempat mengalami penurunan penjualan sebanyak 0,15 persen pada semester II 2016 akibat kompetisi bisnis, PT. Semen Indonesia tetap optimis menargetkan adanya pertumbuhan penjualan sebanyak 4 persen di tahun 2017. Masuknya 10 pemain semen baru membuat kompetisi di pasar semen kian sengit. Sebab, beberapa pemain baru berani membanting harga jual untuk merebut hati konsumen.
CEO PT. Semen Indonesia, Rizkan Chandra menyiapkan beberapa langkah guna mengatasi penurunan laba tersebut. Pertama, ekspansi membangun pabrik di pasar regional Asia Tenggara yang dinilai masih membutuhkan pasokan semen. Kedua, fokus pada industri hilir guna menyeimbangkan tingginya pasokan dan meredam penjualan. Ketiga, melakukan transformasi pembiayaan untuk menjaga pendapatan dan laba bersih perusahaan.
Efisiensi dengan memperketat belanja operasional dan belanja-belanja yang tidak terlalu menjadi priorotas juga menjadi pertimbangan strategi PT. Semen Indonesia. Alokasi belanja terbesar akan diarahkan untuk meningkatkan kapasitas produksi melalui pembangunan pabrik baru di Rembang, Jawa Tengah. Pabrik senilai Rp. 4,4 triliun tersebut direncanakan memliki kapasitas 3 juta ton per tahun.
“Sejak awal kami sudah bertempur dengan asing. Jadi penting sekali proyek kami di Rembang untuk menghadang pemain-pemain baru.” Ujar Sekretaris PT. Semen Indonesia.
Kapitalisme adalah panglima
Aksi warga Kendeng memasung kaki mereka selama dua hari berturut-turut dalam dua tahun belakangan, semakin menunjukan kemana keberpihakan pemerintah daerah Jawa Tengah menghadapi kasus sengketa agraria ini.
Ganjar Pranowo sebagai Gubernur Jawa Tengah lebih melindungi kepentingan PT. Semen Indonesia untuk meningkatkan produksi semen di tahun 2017 di angka fantastis 102 juta ton dan perkiraan pendapatan lebih dari 3 triliun. Dengan penerbitan izin lingkungan yang baru serta pembangunan pabrik yang terus berjalan, Ganjar ikut membantu PT. Semen Indonesia menghadapi ketatnya persaingan bisnis semen di tingkat regional Asia akibat masuknya 10 pemain baru di bisnis semen.
Dalam aksi ini PT. Semen Indonesia mengutarakan bahwa relasi dengan alam tentu tidak masuk dalam cara berpikir kapitalisme perusahaan. Perusahaan hanya berpaku pada keuntungan sebesar-besarnya dengan modal sekecil-kecilnya. Padahal apa yang dilakukan oleh perusahaan, apalagi PT Semen Indonesia sebagai ‘anak’ BUMN (Badan Usaha Milik Negara), seharusnya dapat memikirkan kesejahteraan alam dan rakyat.
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN (Badan Usaha Milik Negara) menyebutkan, “Badan Usaha Milik Negara mempunyai peranan penting dalam penyelenggaraan perekonomian nasional guna mewujudkan kesejahteraan rakyat.” Hal ini jelas tidak terjadi pada kasus pendirian pabrik di semen di Rembang, dan PT. Semen Indonesia melanggar hukum dasar negara atau pemerintah.
Mengamandemen kebijakan yang tidak membolehkan melakukan penambangan atau pembangunan di kawasan lindung harus dijaga, tidak boleh diterabas. Namun, yang terjadi di daerah pemerintahan Jawa Tengah, Negara bahu membahu menindas rakyat kecil.
Bagaimana agar perusahaan beroperasi secara bertanggung jawab? Siti Maemunah, aktivis lingkungan JATAM (Jaringan Advokasi Tambang), menjawab hal itu terletak pada negara yang kuat, penegakan hukum yang kuat, dan rakyat yang kuat. Perusahaan sendiri harus menyadari corporate social responsibility dan itu merupakan kewajibannya.
Jika kembali pada kasus petani Kendeng, rakyat yang kuat menjadi satu-satunya elemen untuk tetap bertahan dan terus hidup. Aksi para petani dan perempuan Kendeng mengecor kaki mereka di depan Istana Negara, menurut Gadis Arivia, aktivis perempuan,adalah bentuk partisipasi politik yang sudah menubuh atau menyatu dengan tubuh. Aksi tersebut termanifestasi dari penderitaan tubuh dan dikembalikan lagi melalui cara melukai tubuh (mengecor kaki). (Berbagai sumber/A27)