Cross BorderZelensky “Sulut” Perang di Asia?

Zelensky “Sulut” Perang di Asia?

- Advertisement -

Dampak perang Ukraina-Rusia mulai menyulut ketegangan di kawasan Asia, terutama dalam aspek pertahanan. Mampukah perang Ukraina-Rusia  memicu konflik di Asia?


PinterPolitik.com

Perang Ukraina-Rusia tampaknya belum memunculkan titik perdamaian. Serangan dari Moskow pada 24 Februari 2022 lalu telah memasuki bulan ke-11 alias 342 hari.

Berangkat dari telaknya Ukraina dalam membendung pasukan Rusia, hingga berhasil memukul mundur mereka, tidak terlepas dari bantuan-bantuan negara lain, terutama anggota aliansi Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO).

Baru-baru ini, Amerika Serikat (AS) sepakat mengirimkan sejumlah 31 tank tempur Abrams ke Ukraina, sedangkan Jerman telah mengirimkan 14 tank Leopard II. Kendati demikian, Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky masih berupaya untuk meminta pasokan berupa jet tempur F-16.

Presiden AS, Joe Biden seakan memberikan sinyal negaranya tidak mampu menyediakan jet tempur tersebut.

Di saat yang bersamaan, NATO melaksanakan tur ke wilayah Asia yakni Korea Selatan (Korsel) dan Jepang. Kunjungan itu diwakili oleh Sekretaris Jenderal (Sekjen) NATO, Jens Stoltenberg. Dia turut mendesak negara Asia untuk meningkatkan dukungan militer ke Ukraina dan menyarankan mempertimbangkan kembali kebijakan negara-negara tersebut untuk tidak mengekspor senjata ke negara-negara yang berkonflik.

Zelensky bahkan menyerukan agar pasokan amunisi senjata perang dapat datang lebih cepat untuk dapat menghentikan perang.

Hal itu kemudian memicu peringatan Rusia ke NATO bahwa pasokan senjata justru mampu mengeskalasi perang ke jenjang yang lebih signifikan. Rusia bahkan menyatakan NATO bisa saja terlibat dalam konflik.

Lantas, akankah sentimen Zelensky serta dukungan NATO mampu membawa sentimen positif atas dasar perdamaian dunia, atau sebaliknya?

as tiga hari rusia hancur

Sentimen Emosi Negatif?

Kembali pada kronologis perang Ukraina-Rusia pada tahun 2022 lalu, Zelensky seringkali berusaha menarik atensi dunia untuk mendukung perdamaian di Ukraina. Saat itu, kondisi awal Ukraina masih dibilang “babak belur” oleh serangan agresif Rusia.

Zelensky saat itu berulang kali menyampaikan pesan kepada penduduk Ukraina, negara-negara Eropa, dunia internasional, dan termasuk Rusia, untuk mendorong penghentian invasi atas nama perdamaian.

Gestur tersebut seakan memiliki maksud yang murni disampaikan atas dasar kemanusiaan dan perdamaian dunia. Zelensky bahkan masih “mengumandangkan” semangat perdamaian hingga saat ini, meskipun dirinya terus-menerus meminta pasokan senjata yang justru dinilai dapat memperkeruh konflik oleh pihak Rusia.

Nyatanya, apa yang dilakukan Zelensky dapat merujuk pada political emotions alias emosi politik yang dapat bernilai positif dan negatif.

Menurut Martha Nussbaum dalam bukunya Political Emotions, setiap masyarakat memiliki emosi. Seorang pemimpin politik akan selalu berusaha untuk mengatur emosi publik demi kepentingan tertentu.

Konsep itu dilanjut dengan pendapat yang diungkapkan Prior dan van Hoef dalam tulisannya Interdisciplinary Approaches to Studying Emotions within Politics and International Relations, bahwa emosi politik dapat digunakan untuk mendorong hubungan diplomatik melalui emosi positif tertentu seperti kasih sayang, memaafkan, dan simpati. Adapun, menentang emosi negatif seperti amarah, kemuakan, dan ketakutan.

Jika merujuk pada apa yang dilakukan Zelensky, dirinya berusaha untuk menarik atensi publik melalui emosi negatif untuk memicu perasaan marah, kemuakan, dan ketakutan terhadap apa yang dilakukan Rusia dan dampaknya bagi dunia.

Zelensky bahkan merepresentasikan Rusia sebagai “musuh” yang jahat sehingga berkorelasi dengan apa yang diungkapkan Hoggett dan Thompson dalam bukunya yang berjudul Politics and the Emotions: The Affective Turn in Contemporary Political Studies.

Zelensky berusaha merepresentasikan Rusia sebagai “kejahatan”. Dirinya bahkan menyamakan invasi Rusia yang setara dengan Nazi Jerman sehingga mampu mengarahkan emosi publik menuju amarah dan kemuakan.

Selain itu, Zelensky memperkuatnya pengaruh narasinya dengan menebar emosi negatif terhadap ketakutan penduduk Eropa terhadap Nazi Jerman. Dirinya mampu memicu memori buruk penduduk Jerman ketika menjadi korban invasi Nazi.

Berdasarkan apa yang ditunjukkannya secara tersirat pada publik, Zelensky terlihat menolak emosi positif untuk memaafkan Rusia. Zelensky justru menuntut pembalasan dan hukuman kepada Rusia, terutama ketika dirinya meminta berbagai pasokan senjata dari negara-negara lain dan mempercepat pasokan tersebut.

Apa yang dilakukan Zelensky kemudian mendorong NATO untuk segera merangkul pertahanan di kawasan Asia akibat adanya dinamika politik Rusia dengan Korea Utara (Korut) dan Tiongkok.

Konflik Ukraina-Rusia bahkan mampu dinilai memicu perang di kawasan Asia, terlebih ketika Korsel dan Jepang mampu memberikan dukungan senjata kepada Ukraina.

Lantas, dengan adanya narasi emosi negatif tersebut, mampukah konflik Ukraina-Rusia memicu perang di kawasan Asia? Serta, bagaimana makna kunjungan misi pertahanan di kawasan Asia yang sebenarnya dilakukan oleh Stoltenberg? 

infografis nato rusia siaga satu

Asia Terlibat?

Wakil Asisten Menteri Pertahanan AS untuk Eropa dan NATO di bawah mantan Presiden Barack Obama, Jim Townsend, menilai Stoltenberg tengah melakukan misi pertahanan di kawasan Asia. Pada titik ini, NATO dianggap sebagai salah satu “jaminan” bagi mitra Asia.

Menurutnya perang di Ukraina memiliki dampak signifikan bagi negara-negara Asia, terutama Korsel dan Jepang. Hal ini didasari oleh kedekatan hubungan Tiongkok dengan Rusia. Oleh karena itu, NATO memiliki urgensi untuk memperkuat kemitraannya dengan Asia.

Selain itu, kunjungan Stoltenberg direpresentasikan sebagai tanda persatuan NATO dan Asia yang sama-sama memiliki kepentingan bersama untuk menghadapi pengaruh Tiongkok, Korut, dan Rusia di Asia.

Kerja sama yang didasari oleh kepentingan yang sama ini seolah-olah menandakan bahwa tiap negara merasa berada dalam situasi antagonisme.

Menurut Jack Donelly dalam bukunya yang berjudul The Ethics of Realism, fenomena tersebut merujuk pada teori yang dinamakan realisme, di mana sistem internasional akan selalu berada dalam situasi antagonisme.

Situasi antagonisme mampu mendorong kewaspadaan negara-negara terkait adanya kemungkinan konflik. Hal tersebut membuat negara-negara perlu melakukan aksi yang ekstra dalam menjaga pertahanan untuk menjamin kelangsungan hidup negara.

Konsep itu sejalan dengan pernyataan Perdana Menteri (PM) Jepang, Fumio Kishida, yang telah menyatakan kekhawatirannya atas kemungkinan konflik di Asia Timur, terutama di tengah pembangunan militer Tiongkok serta kehadiran Tiongkok sedang meningkat di Laut China Timur dan Selatan.

Sementara itu, kewaspadaan Korsel tentunya bukan hanya berkaitan dengan pengaruh Tiongkok, melainkan juga kerja sama antara Korut dengan Rusia pada bulan Januari lalu. Korut bahkan mendapatkan apresiasi atas dukungannya untuk Rusia.

Stoltenberg menyatakan bahwa Korut telah memberikan dukungan militer kepada Rusia untuk invasi di Ukraina berupa roket dan rudal. Situasi ini mendorong Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Korea untuk mengambil tanggapan agar dapat mendesak komunitas internasional dalam menghadapi ancaman nuklir dan rudal Korut.

Oleh karena itu, retorika kunjungan Stoltenberg agaknya dapat dinilai sebagai tur propaganda untuk merepresentasikan kekuatan NATO yang bukan hanya memiliki ally atau sekutu di Eropa dan AS, melainkan juga kawasan Asia.

Namun, jika merujuk pada sikap Korsel dan Jepang, agaknya kedua belah pihak belum mampu merespons tuntutan NATO untuk membantu Ukraina. Andaikan bila keduanya memberi bantuan, tentu akan ada konsekuensi besar yang akan diterima, terutama meletusnya perang dan memperkeruh konflik.

Lantas, berdasarkan korelasi tersebut, mengapa NATO seakan-akan terlihat sangat berambisi untuk membangun pengaruhnya baik di kawasan Eropa maupun Asia?

rusia jadi negara sponsor terorisme ed.

Egoisme Adidaya?

Pada publikasi video YouTube Gita Wirjawan yang berjudul Connie Bakrie: Tunjukkan Taring, Pimpin dengan Integritas | Endgame #117, dengan mengundang Connie Rahakundini Bakrie, pengamat bidang militer dan pertahanan keamanan dari Universitas Jenderal Ahmad Yani Bandung, disebutkan bahwa demokrasi tidak akan berjalan dengan konsep negara adidaya di dunia.

Connie turut mengutip materi kepemimpinan bervisi World Balance Of Power, yang diungkapkan oleh Warren Bennis dan Burt Nanus. Keduanya menjelaskan kepemimpinan merupakan kekuatan signifikan untuk melahirkan pengaruh di balik kekuasaan suatu organisasi baik negara maupun non negara melalui dua konsep dasar, yakni ilmu dan seni.

Connie mengungkapkan konsep keseimbangan dalam balance of power mengacu pada negara-negara maupun aliansi untuk mencegah suatu entitas menjadi kuat dengan keseimbangan. Negara tersebut tidak dapat memaksakan kehendaknya atau mengganggu kepentingan negara lain.

Apabila balance of power tidak dapat diwujudkan, maka hal itu mampu menggerus nilai-nilai demokrasi yang merujuk pada hilangnya kesempatan yang sama.

Kembali pada isu kunjungan Stoltenberg, jika merujuk pada penjelasan tersebut, AS sebagi pemimpin de facto NATO, agaknya memiliki ambisi untuk menjadi negara adidaya dengan merangkul sejumlah negara-negara Asia, terutama Korsel dan Jepang.

Korelasi tersebut sejalan dengan respons Korut dan Tiongkok terhadap kunjungan Stoltenberg. Media Korut menilai kunjungan tersebut mampu membawa “awan gelap” “Perang Dingin baru” di kawasan Asia-Pasifik.

Tiongkok pun beraksi serupa. Duta Besar Cina untuk PBB, Zhang Jun menyatakan  ekspansi NATO ke arah timur setelah perang dingin dinilai gagal membuat kawasan Eropa menjadi lebih aman sekaligus telah menabur benih konflik baru.

Pada akhirnya, Zelensky telah merubah emosi positif menjadi negatif terhadap sentimen perang Ukraina-Rusia. Hal itu memicu AS untuk mewujudkan ambisinya menjadi negara adidaya. Jika merujuk pada konsep balance of power, kestabilan politik dan ekonomi dunia akan terancam dan tidak dapat terwujud akibat tergerusnya nilai-nilai demokrasi. (Z81)

spot_imgspot_img

More from Cross Border

Unlike Jokowi, Prabowo Will Be His Own Man

More assertive foreign policy and democratic backsliding are most likely on the horizon as Prabowo Subianto becomes the next Indonesian president.

Nuklir Oppenheimer Justru Ciptakan Perdamaian?

Film Oppenheimer begitu booming di banyak negara, termasuk Indonesia. Menceritakan seorang Julius Robert Oppenheimer, seorang ahli fisika yang berperan penting pada Proyek Manhattan, proyek...

Oppenheimer, Pengingat Dosa Besar Paman Sam?

Film Oppenheimer baru saja rilis di Indonesia. Bagaimana kita bisa memaknai pesan sosial dan politik di balik film yang sangat diantisipasi tersebut?  PinterPolitik.com  "Might does not...

Zelensky Kena PHP NATO?

Keinginan Ukraina untuk masuk Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) mendapat “hambatan” besar. Meski mengatakan bahwa “masa depan” Ukraina ada di NATO, dan bahkan telah...

More Stories

Betulkah Jokowi Melemah? 

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya? 

Sikat Korupsi Pertamina Prabowo Leads the Way!

Setuju Pertamina di bawah komando Presiden Prabowo langsung?  #prabowo #pertamina #bumn #hincapanjaitan #petronas #erickthohir #infografis #politikindonesia #beritapolitik #beritapolitikterkini

Ketika Mantu Jokowi Sikut Jenderal?

Panas rasa Pilkada Sumut. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya, share pendapat kalian di kolom komentar ya!