Site icon PinterPolitik.com

Zelensky Kena PHP NATO?

zelensky kena php nato

Bendera Ukraina dan NATO di Vilnius, Lithuania (FOTO: Financial Times)

Keinginan Ukraina untuk masuk Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) mendapat “hambatan” besar. Meski mengatakan bahwa “masa depan” Ukraina ada di NATO, dan bahkan telah mengirim banyak bantuan,namun alur penerimaan Ukraina sebagai anggota NATO belum jelas. Sementara Presiden Amerika Serikat, Joe Biden menyebut bahwa tidak mungkin Ukraina bisa bergabung ke NATO jika perang dengan Rusia belum selesai. Lantas, apakah keinginan Ukraina bergabung dengan NATO hanya mimpi belaka?

PinterPolitik.com


“Anda tidak dapat secara bersamaan mencegah dan bersiap untuk perang”, Albert Einstein

Keinginan Ukraina untuk bergabung dengan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) masih belum terwujud hingga saat ini. Kondisi ini bahkan terus menggantung dalam waktu yang sangat lama, bahkan hingga waktu peperangan dengan Rusia telah berlangsung lebih dari satu tahun.

Ukraina sendiri ingin bergabung dengan NATO demi melindungi negaranya dari ancaman Rusia. Keinginan ini juga yang menurut beberapa pihak, menjadi salah satu dasar dari dimulainya invasi Rusia pada Februari tahun lalu.

NATO dan negara-negara anggotanya sebenarnya telah memberi sambutan yang “hangat”, dan bahkan mereka menjadi kelompok pendukung utama bagi Ukraina selama perang dengan Rusia. Berbagai bantuan, terutamanya persenjataan, telah diberikan oleh negara seperti Amerika Serikat (AS), Inggris, Polandia, Jerman dan lainnya.

Meski begitu, kejelasan itu belum ada hingga saat ini. Bahkan Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky, menyebut bahwa proses ini sangat absurd baginya. Di mana dengan tidak adanya kejelasan, itu sama seperti NATO sebenarnya tidak ingin mengundang Ukraina untuk bergabung dengannya.

Lantas, apakah NATO memang sebenarnya hanya ingin mendukung Ukraina sebatas dalam konteks peperangan saja? Atau apakah memang Ukraina tidak bisa masuk ke circle NATO tersebut?

Senasib dengan Georgia?

Upaya dari Ukraina untuk bisa bergabung dengan NATO sepertinya memang menemui jalan yang sangat sulit, dan bahkan hampir tidak mungkin. Satu hal utama yang menyebabkan seperti itu adalah pengaruh dari Rusia.

Rusia, sebagai sebuah negara memiliki kebijakan strategis untuk mempertahankan eksistensi dan kepentingannya. Oleh karena itu, dalam konteks bergabungnya Ukraina ke NATO akan sekeras mungkin ditentang oleh Rusia.

Sebagai negara yang berlawanan sisi dengan NATO dan AS, Rusia modern, sejak berakhirnya Perang Dunia II, telah menikmati batas yang “aman” dari perbatasan dengan negara-negara NATO. Jika pada masa Perang Dingin terdapat negara-negara komunis Eropa Timur sebagai bantalan di antaranya, kini negara-negara seperti Ukraina, mengambil peran tersebut.

Dan sejujurnya, kondisi Ukraina ini sama seperti apa yang dihadapi oleh Georgia pada 2008 lalu. Dulu, Georgia menghadapi invasi Rusia dalam konflik militer 5 hari, dan sebagai akibatnya wilayah Abkhazia dan Ossetia Selatan dimerdekakan oleh Rusia, dan pasukan Rusia ditempatkan di sana hingga sekarang.

Meski telah dijanjikan sejak 15 tahun lalu soal keanggotaan Georgia di NATO, namun hingga saat ini proses tersebut tidak pernah jelas. Bahkan telah terjadi fenomena “kelelahan NATO” sebagai akibat dari kondisi tersebut, menurut Kornely Kakachia, seorang direktur Institut Politik Georgia. 

Walaupun untuk bisa masuk NATO sendiri sebenarnya Georgia menghadapi beberapa tuntutan yang harus dipenuhi dahulu. Contohnya seperti kebijakan reformasi militer, dan bentuk komitmen lainnya dari Georgia secara politik.

Meski begitu, menurut Eka Akobia, seorang direktur Studi Perdamaian di Universitas Kaukasus, mengatakan bahwa alasan utama dari tarik ulur proses keanggotaan Georgia di NATO jelas karena perbatasannya dengan Rusia.

Menurutnya, meski tentu NATO berusaha menjaga kebijakan pintu terbuka nya kepada negara-negara mitra mereka, tapi untuk masalah penambahan anggota, NATO juga harus menjaga proses itu agar jangan sampai menimbulkan masalah besar dengan lawannya, dalam hal ini Rusia.

Tentu hal ini sama dengan apa yang terjadi pada Ukraina. Negara tersebut telah kehilangan beberapa wilayahnya, dan bahkan beberapa seperti Luhansk dan Donetsk, yang telah dimerdekakan oleh Rusia. Tentu, pernyataan Sekretaris Jenderal (Sekjen) NATO, Jens Stoltenberg dan Presiden AS, Joe Biden, menunjukkan makna yang jelas, bahwa jika perang dengan Rusia masih berlangsung, maka mustahil Ukraina mendapat keanggotaan di NATO.

Keadaan ini dapat dijelaskan dengan menghubungkan teori Balance of Power dan chain ganging. Dalam teori balance of power yang dikenalkan oleh Ernst Haast dalam bukunya The Balance of Power: Prescription, Concept or Propaganda, dijelaskan bahwa bagaimana setiap pihak akan berusaha mendapat keseimbangan kekuatan di antara mereka. Selain terus berusaha mendapat keunggulan dari lawannya, di satu sisi mereka berusaha menjaga keseimbangan yang ada saat itu, jika masih ada.

Berkaitan dengan situasi di Ukraina atau Georgia di masa lalu, meski NATO sangat ingin mendapat keunggulan besar dengan memojokkan Rusia, namun di sisi lain mereka juga tidak ingin terlibat perang langsung dengan Rusia, karena akan berdampak negatif tentunya bagi mereka. Dengan adanya prinsip mutual defence dari konsep chain ganging di antara negara anggota  akan menghalangi keanggotaan negara-negara perbatasan itu secara langsung.

Namun, apakah mungkin Ukraina bisa mendapat perlakuan berbeda jika berhasil membawa perang pada kemenangan? Selain itu, apakah mungkin Ukraina memenangkan perang?

Mustahil Dimenangkan?

Dalam sebuah perang, hasil yang terjadi umumnya adalah kekalahan di satu pihak, dan kemenangan di pihak lainnya. Dalam banyak hal, kekalahan dan kemenangan semakin sulit didefinisikan karena semakin kompleksnya penyelesaian yang dibuat.

Dalam perang antara Rusia vs Ukraina, Rusia hadir sebagai kekuatan dominan yang diunggulkan dalam pertarungan tersebut. Bisa dibilang seperti pertempuran David vs Goliath, di mana kekuatan terlihat tidak berimbang.

Meski begitu, Ukraina ternyata mampu untuk melawan balik dan bahkan menahan Rusia dengan sangat baik. Jika dulu diprediksi bahwa Rusia akan menguasai Kiev dengan cepat, kini ternyata Rusia tersendat dengan tujuan kota-kota lain seperti Kherson, Bahamut dan lainnya. 

Hal ini tentu tak lepas dari bantuan persenjataan yang diberikan NATO, khususnya. Bantuan persenjataan yang diberikan negara-negara anggota NATO berupa tank, artileri, hingga rudal, semuanya sangat membantu Ukraina. AS, Inggris, Jerman dan Polandia menjadi salah satu penyokong utama Ukraina.

Namun, apakah dengan hal tersebut Ukraina jadi bisa memenangkan perang?

Tentu tidak, dalam artian mengalahkan Rusia secara harfiah. Paling hebat bagi Ukraina adalah untuk bisa mengusir Rusia dari wilayah wilayahnya yang diduduki. Dan itu juga sulit.

Dalam perang, tentu pihak yang akan menang harus bisa mengungguli pihak yang diserang dalam hal pasukan, teknologi, sumber daya dan sebagainya. Meski Rusia telah menerima kerugian yang sangat besar selama perang, namun sebagai sebuah negara yang sangat besar, mereka masih memiliki kemampuan yang sangat besar berikut dengan cadangannya.

Jalan terakhir adalah lewat meja perundingan. Akan tetapi, dalam konsep ini Ukraina tentu harus siap menerima kekalahan dan kesepakatan lain yang pastinya akan merugikan, terutama soal wilayah. Sebagai sebuah negara yang diserang, akan sulit Ukraina menerima hal ini.

Well, apapun nanti penyelesaiannya, semoga apa yang terjadi dan disepakati adalah yang terbaik bagi semua pihak, terutama rakyat negara-negara tersebut. Dan sudah sebaiknya, setiap negara saling menghormati hak dan kepentingan negara lain. Karena perang tak pernah lebih dari sekedar pertarungan antar elit para negara yang terlibat. (R87)

Exit mobile version