Presiden Tiongkok Xi Jinping terlihat menumpahkan emosinya kepada Perdana Menteri (PM) Kanada Justin Trudeau di sela-sela Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20, Bali. Xi terlihat emosi atas bocornya percakapan antara kedua pemimpin tersebut terkait tuduhan spionase Tiongkok dan campur tangan pemilihan umum (Pemilu) di Kanada. Lantas, akankah kebocoran percakapan itu dapat mengancam kekuasaan Xi di kancah domestik dan internasional?
Rekaman pembicaraan antara Presiden Tiongkok Xi Jinping dan Perdana Menteri Kanada, Justin Trudeau di sela-sela Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 Bali telah bocor ke media massa.
Xi diduga menumpahkan emosinya karena isi pembicaraan tertutup keduanya dinilai tidak pantas untuk dibocorkan kepada khalayak. Di samping itu, Xi tetap mengungkapkan hal tersebut sambil tersenyum dan berbicara dengan bahasa Mandarin.
Trudeau membalas sikap Xi dengan menyatakan bahwa kultur dialog di Kanada bersifat bebas, terbuka, dan terang-terangan. Menurut Trudeau, agaknya suatu organisasi akan terus bekerja sama secara konstruktif, namun ketidaksepahaman akan selalu menyertai.
Pada akhirnya, Xi menyudahi konfrontasi tersebut dengan berjabat tangan. Selagi beranjak pergi, Xi berbicara kepada Trudeau dalam bahasa Mandarin untuk mengingatkannya terkait batasan-batasan pembicaraan yang harus ditentukan terlebih dahulu.
Interaksi maupun gelagat Xi tampaknya langka. Pada umumnya, segala interaksi maupun pergerakan Xi di berbagai forum selama ini disebut-sebut sangat diatur sehingga tidak menimbulkan kesan tertentu.
Reuters membeberkan isi pembicaraan tersebut yaitu terkait “kekhawatiran serius” Trudeau atas adanya dugaan “campur tangan” Tiongkok di Kanada. Hal itu merujuk pada laporan media yang mengungkap pengakuan intelijen Kanada yang mencurigai Tiongkok ikut campur dalam pemilihan umum (Pemilu) 2019.
Adapun dugaan lainnya adalah terkait seorang pegawai di produsen listrik terbesar di Kanada yang diduga berupaya mencuri rahasia perdagangan untuk diberikan ke pemerintah Tiongkok.
Lantas, apa arti gelagat yang coba disampaikan Xi? Serta, mengapa dirinya seolah merasa marah akan kebocoran pembicaraan tertutup tersebut?
Pengaruhi Kekuasaan Domestik?
Setidaknya terdapat dua sudut pandang yang dapat ditelaah dari gelagat langka Xi saat pembicaraan tersebut yakni dilihat dari kacamata domestik dan internasional.
Xi merupakan sosok yang dikenal memiliki kekuatan melebihi salah satu pendiri Partai Komunis Tiongkok (PKT) Mao Zedong sekaligus tokoh besar Tiongkok yang disebut-sebut sebagai ahli teori komunis paling terkemuka dan dijuluki sebagai “Bapak Tiongkok Modern”.
Hal itu dibuktikan Xi melalui upaya politik domestiknya untuk menjabat sebagai presiden selama tiga periode. Alhasil, kongres PKT bulan lalu telah menjadi sejarah baru bagi Tiongkok. Dirinya berhasil menduduki jabatan itu untuk yang ketiga kalinya.
Usaha Xi untuk memperkuat kekuasaan politiknya dapat dilihat dari caranya me-romantisasi kepemimpinan Mao Zedong.
Dengan penerapan aliran konfusianisme yang kerap kali diterapkan oleh pemimpin Tiongkok, Xi cenderung bertindak sebagai orang tua di dalam suatu grup maupun organisasi sehingga mereka juga cenderung melakukan kontrol otoriter.
Pernyataan tersebut dikemukakan oleh Harry Hui dan Chen K. Tan dalam tulisan mereka yang berjudul “Employee Motivation and Attitudes in the Chinese Workforce” dalam Handbook of Chinese Psychology.
Sehubungan dengan hal itu, kepemimpinan paternalistik yang diterapkan Xi memperkuat otoritas dan disiplin yang kuat di berbagai kebijakan.
Farh dan Cheng dalam publikasi yang berjudul An Examination of Three-Way Interactions of Paternalistic Leadership in China oleh Wai Kwan Laua, Zhen Lib, dan John Okpara mengemukakan kepemimpinan paternalistik merupakan gaya kepemimpinan yang memadukan disiplin dan otoritas yang kuat dengan kebajikan kebapakan dan integritas moral yang terbungkus dalam suasana personalistik.
Berdasarkan kedua penjelasan teoritis di atas, tak heran jika Xi menerapkan sistem tersebut untuk menunjukkan kebaikan kebapakannya dan memanfaatkan kontrol otoriter dari aliran konfusianisme untuk mengontrol masyarakat.
Jika romantisasi Mao Zedong dan sikap otoriter yang dibungkus dengan kepemimpinan paternalistik digabungkan, maka Xi perlu selalu menunjukkan bahwa dirinya merupakan pemimpin yang unggul.
Kontrol yang terlalu ketat mencapai puncaknya ketika Xi menerapkan kebijakan “Zero-Covid Policy” melalui lockdown. Masyarakat Tiongkok menolak dengan keras karena merasa tertekan dan melemahkan ekonomi Negara Tirai Bambu itu hingga muncul demonstrasi dimana-mana.
Pada titik ini, bisa jadi sikap Xi diartikan sebagai taktiknya untuk membangun citra jika dilihat dari kacamata domestik sebagai pemimpin yang berani. Terlebih, pemberitaan media luar dapat disaring oleh pemberitaan media dalam negeri sehingga sentimen keduanya akan berbeda.
Lantas, bagaimana sentimen serta pengaruh kontroversi Xi dan Trudeau jika dilihat dari kacamata internasional?
Perburuk Citra Internasional?
Beralih ke kacamata internasional, Xi pernah meminta seluruh jajaran pemerintah dan media arus utama untuk memperluas citra Negara Tirai Bambu itu menjadi negara yang ramah, terhormat, dan bisa diandalkan masyarakat global.
Citra itu diperkuat melalui kemampuan diplomasi Xi yang merujuk pada perilaku Tiongkok yang sangat percaya diri dan lugas dalam berinteraksi dengan negara lain, terutama negara-negara Barat.
Pernyataan itu disebutkan dalam suatu publikasi dengan judul China’s Civilian Army: The Making of Wolf Warrior Diplomacy yang ditulis oleh Peter Martin. Gaya diplomasi itu dinamakan dengan gaya ”Pendekar Serigala” alias “Wolf Diplomacy”.
Selain itu, Xi juga memiliki ide ambisius dalam mewujudkan dominasi di kawasan sekitarnya. Hal ini tentunya akan memengaruhi kebijakan di dalam maupun luar negeri yang saling berkaitan sesuai dengan konsep two level games yang diungkapkan oleh Robert D. Putnam.
Akan tetapi, pemberitaan semacam itu kemungkinan mampu untuk meningkatkan sinophobia, terutama pada dugaan spionase. Menurut Cambridge Dictionary, sinophobia diartikan sebagai ketakutan atau ketidaksukaan terhadap Tiongkok, termasuk orang maupun budayanya.
Oleh karena itu, pemberitaan kontroversi Xi dengan Trudeau bisa jadi mendapatkan sentimen negatif terhadap titah Xi Jinping di dunia internasional, bukan hanya dari segi politik tetapi juga dari segi sosial.
Dengan skenario itu, bagaimana perkiraan pergerakan kerja sama politik luar negeri Xi terhadap negara-negara lainnya di masa yang akan datang? Terlebih, dirinya baru saja akan menjalankan pemerintahan tiga periodenya.
Xi’s Next Move
Kemungkinan atas pergerakan Xi di kancah internasional diprediksi melalui suatu artikel berjudul Analysis: Unmasked And in Charge, China’s Xi Puts Personal Diplomacy Back in Play yang ditulis oleh Eduardo Baptista dan Martin Quin Pollard – yang juga dibubuhi dengan pendapat-pendapat para ahli.
Ini berawal dari absennya Tiongkok dari interaksi tatap muka selama pandemi sekaligus faktor hubungan dengan Amerika Serikat (AS) dan beberapa tetangga Asia yang tengah memburuk karena berbagai perselisihan.
Dengan minimnya akses pimpinan tinggi dari berbagai negara pada KTT G20 dan KTT APEC, kehadiran Xi dinilai langka. Pertemuan-pertemuan itu digunakan Xi untuk melakukan pembicaraan bilateral pada masing-masing negara.
Salah satu pengamat sekaligus profesor studi internasional di Universitas Ewha di Seoul Leif-Eric Easley menggambarkan jadwal sibuk Xi sebagai “serangan pesona” setelah Tiongkok menutup perbatasannya selama hampir tiga tahun.
Aksi itu juga dianggap sebagai bentuk konsolidasi atas perwujudan kekuasaan tiga periodenya pada bulan lalu. Easley juga berpendapat setidaknya tindakan Xi mampu mencegah hubungan diplomatik negara-negara lain menjadi lebih buruk.
Pendapat itu berhubungan dengan interaksi Xi dengan Biden di KTT G20 lalu yang menunjukkan tanda-tanda mencairnya hubungan bilateral Tiongkok-AS dan mengarah pada rencana Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken untuk mengunjungi Beijing awal tahun depan.
Bagi Tiongkok, penjangkauan negara-negara di Asia Pasifik merupakan kunci untuk mengambil kembali inisiatif dalam persaingan AS di wilayah tersebut, terutama melalui dukungannya untuk Taiwan dan kemitraan AUKUS dengan Australia dan Inggris yang semakin membuat Beijing khawatir.
Diplomasi tatap muka juga dijadikan sebagai platform untuk mendorong inisiatif Tiongkok untuk semakin memperkuat statusnya sebagai pemimpin dunia yang sedang berkembang.
Pada akhirnya, pembocoran pembicaraan Trudeau dan Xi bisa jadi mampu mengancam kekuasaan, kepercayaan, dan citra Xi di dunia internasional. Apalagi, Xi dispekulasikan akan memperkuat pengaruhnya sebagai pemimpin dunia yang sedang berkembang lewat jalur diplomasi dengan berbagai negara, terutama AS.
Selain itu, jika dilihat dari segi domestik, pembocoran pemberitaan tersebut belum tentu mendapatkan sentimen negatif.
Bisa jadi justru fenomena ini mampu membangun citra seorang pemimpin yang berani. Sebagai politisi yang menerapkan kepemimpinan paternalistik dan bersifat otoriter, “kemarahan” Xi agaknya merupakan suatu respons dimana ia selalu menunjukkan dirinya unggul sehingga meresponsnya kepada Trudeau tampaknya merupakan ekspresi perasaan direndahkan dan seolah diperlakukan tidak adil. (Z81)