Site icon PinterPolitik.com

Xi Jinping Kepancing Perang Biden?

G20: Reverie bagi Xi Jinping?

Presiden AS Joe Biden berbincang dengan Presiden Cina Xi Jinping di KTT G20, Bali, 14 November 2022. (Foto: Reuters)

Belakangan ini Tiongkok tampak semakin meningkatkan kegarangan militernya. Sebagian pengamat Barat sebut ini adalah bentuk agresivitas Xi Jinping yang tengah mempersiapkan gendang perang. Tapi, apakah Tiongkok benar-benar seantagonistis itu?


PinterPolitik.com

Untuk yang senang bermain video game ber-genre strategy, mungkin kalian tidak asing dengan judul-judul seperti Age of Empires atau Total War.

Dan di dalam game-game itu, sepertinya hampir semua pemain paham bahwa ada sebuah aturan tidak tertulis untuk memenangkan setiap permainan dengan kekuatan militer, meskipun sebenarnya kita bisa saja menang dengan cara diplomasi atau kekuatan ekonomi.

Nah, tentunya, agar agresi militer suatu faksi bisa berhasil, faksi tersebut perlu memperkuat pasukan tempurnya terlebih dahulu. Sebagai akibatnya, faksi yang sedang mempersiapkan diri untuk menyerang faksi lain bisa terlihat jelas di peta dunia karena adanya jumlah peningkatan pasukan tempur yang besar.

Bagi pemain lain, hal itu memancing rasa curiga, karena untuk apa mereka meningkatkan pasukan kalau bukan digunakan menyerang “tetangganya” dalam waktu dekat, bukan?

Well, logika seperti itu sebenarnya diambil dari dunia nyata. Di dalam politik internasional, negara-negara kerap menaruh rasa curiga yang begitu tinggi ketika ada negara lain yang tiba-tiba saja memperkuat militernya. Kekhawatiran semakin mencuat bila negara tersebut adalah negara tetangganya.

Dan belakangan, kecurigaan semacam itu tengah dibebankan pada Xi Jinping dan negara yang dipimpinnya, Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Melalui sebuah pernyataan yang disampaikan Perdana Menteri (PM) Li Keqiang, RRT memang menaikkan anggaran militernya menjadi Rp 3.432 triliun di awal tahun ini. Padahal, tensi geopolitik dunia saat ini cenderung dalam keadaan yang relatif panas, mengingat gesekan kubu Timur dan Barat begitu kentara di Perang Rusia-Ukraina.

Seakan melempar mesiu ke api, panas-dingin hubungan AS-RRT semakin menjadi setelah bocornya salah satu memo dari petinggi Angkatan Udara (AU) AS, Jenderal Mike Minihan, yang menyebut bahwa dengan peningkatan militer RRT seperti yang belakangan diperlihatkan, maka tampaknya provokasi yang berujung perang antara AS dan RRT akan terjadi pada tahun 2025.

Dari fenomena-fenomena geopolitik yang belakangan terjadi ini, kita patut pertanyakan. Dari perspektif geopolitik, mengapa RRT terlihat semakin berani? Apakah ini bukti keagresifan Xi Jinping, atau justru ada hal yang luput diperhatikan orang yang akhirnya membuat Xi bertindak demikian?

Tiongkok Terprovokasi NATO?

Semenjak Perang Rusia-Ukraina meletus pada 24 Februari 2022 lalu, ada satu tren dalam pemberitaan internasional yang selalu jadi perhatian utama orang-orang, yaitu perlunya penguatan kembali fungsi pertahanan negara Barat.

Dari perspektif NATO, selain kepada Rusia, perhatian mereka sejak tahun lalu juga tertuju pada RRT.

Seperti yang pernah dibahas dalam artikel PinterPolitik.com berjudul NATO Akan Provokasi Asia?, aliansi yang dibuat ketika masa Perang Dingin tersebut bahkan dengan jelas mencap RRT sebagai potensi ancaman. Oleh karena itu, dibutuhkan penguatan hubungan dengan negara-negara yang cenderung pro-Barat di kawasan Asia, seperti Jepang dan Korea Selatan (Korsel).

Tidak hanya melalui pernyataan-pernyataan tentunya, provokasi tertinggi yang diterima RRT juga sepertinya adalah ketika Ketua DPR AS, Nancy Pelosi melakukan kunjungan kontroversial ke Taiwan, pulau yang selama ini jadi masalah sengketa bagi RRT. Kalau itu belum cukup membuat RRT “panas”, pelatihan militer dengan negara sekutu di Asia Timur dan pengerahan sebagian armada AS ke kawasan Taiwan sepertinya memperlengkap kemelut geopolitik di kawasan ini.

Mungkin saja hal-hal ini awalnya dilakukan oleh AS dan NATO untuk memberi semacam gertakan pada RRT untuk tidak berani berbuat “nakal”, seperti mengirim bantuan ke Rusia misalnya. Namun, strategi tersebut sepertinya gagal.

Di dalam studi hubungan internasional, ada sebuah teori yang disebut defensive neorealism. Kenneth Waltz dalam bukunya Theory of International Politics, menjelaskan bahwa defensive neorealism adalah perspektif geopolitik yang muncul akibat adanya dua Perang Dunia. Defensive neorealism meyakini upaya yang dilakukan sebuah negara untuk mendapatkan keunggulan kekuatan di panggung internasional bukanlah digunakan untuk tujuan menyerang, melainkan untuk mempertahankan diri dan menjamin eksistensinya.

Oleh karena itu, keperluan untuk meningkatkan daya pertahanan pun akan lebih dipengaruhi oleh pandangan keperluan mempertahankan diri. Hanya ketika yakin kepentingan nasionalnya akan terancam sebuah negara akan berani melakukan eskalasi.

Pandangan defensive neorealism ini sepertinya cukup relevan jika kita ingin melihat pola pikir kenapa RRT belakangan meningkatkan kapabilitas militernya meskipun tengah mendapat tekanan dari Barat.

Walau sekilas itu terlihat seakan RRT-lah yang mencari masalah, kalau kita mencoba melihat dari perspektif yang lebih luas, mereka sesungguhnya hanya bersiap menjaga diri bila akhirnya narasi ancaman perang di Asia terus dimainkan oleh entah siapa pun itu.

Bahkan, tanpa provokasi perang pun RRT terpaksa meningkatkan “kegarangannya”. Karena kalau dari pandangan mereka, bila AS dan NATO terus dibiarkan bertindak seenaknya di Asia Timur -yang notabene adalah “rumah” RRT- maka bisa saja ke depannya diskriminasi politik maupun ekonomi terjadi pada mereka, contohnya adalah penguatan jumlah armada Sekutu di sekitar Laut China Selatan (LCS), yang secara tidak langsung akan menjadi semacam gertakan blokade ekonomi bagi RRT.

Mungkin, dari perspektif RRT, kita sudah mendapatkan gambaran pandangan dasarnya. Akan tetapi, bagaimana dengan pandangan Barat?

Kenapa mereka kerap melempar narasi yang begitu provokatif pada RRT, bahkan sebelum mereka bertindak apapun yang dapat memicu amarah AS dan kawan-kawan?

Semua Karena Doktrin Monroe?

Untuk menjawab pertanyaan di atas, kita bisa berkaca pada buku John Mearsheimer berjudul The Tragedy of Great Power Politics. Di dalamnya, Mearsheimer memopulerkan sebuah istilah yang disebut great power politics, yang melihat bahwa segala aktivitas negara dalam hubungan internasional selalu didasarkan pada kepentingannya untuk menjaga kepentingan nasional.

Mearsheimer juga menyebutkan, terkhusus negara-negara berkekuatan besar, mereka akan melakukan tindakan-tindakan preemptive atau mendahului, agar negara lain yang dapat mengancam kepentingan mereka bisa diredam sebelum benar-benar jadi ancaman.

Dalam beberapa artikelnya, Mearsheimer menggunakan pandangan ini untuk menjelaskan bahwa Perang Rusia-Ukraina adalah desain dari AS dan NATO yang kerap memberikan tantangan-tantangan geopolitik pada Rusia sehingga akhirnya mereka merasa sangat terprovokasi untuk menyerang Ukraina. Padahal jika AS benar-benar ingin menjaga perdamaian dunia, mereka bisa membuat kesepakatan dengan Rusia untuk menjadikan Ukraina sebagai zona netral.

Well, kalau kita ngomongin kebiasaan Negeri Paman Sam yang terkadang terlihat provokatif, kita bisa salahkan doktrin politik luar negeri mereka yang disebut Doktrin Monroe. Doktrin yang dicetus oleh mantan Presiden AS, James Monroe tersebut awalnya digunakan untuk menangkal gerakan kolonialisme Eropa. Monroe melihat bahwa AS tidak bisa hanya bertindak defensif, tapi juga perlu melakukan tindakan-tindakan preventif agar tidak memunculkan masalah yang serius ke depannya.

Pandangan ini kemudian diadopsi hingga sekarang oleh AS untuk menjustifikasi sejumlah agendanya ketika mereka merasa perlu melakukan intervensi pada negara-negara lain di dunia.

Nah, kalau pandangan seperti ini memang masih mengakar di perspektif luar negeri AS dalam melihat masa depan hubungannya dengan RRT, maka sepertinya wajar saja bila RRT kerap dinarasikan sebagai sebuah ancaman geopolitik yang harus diredam semampu mungkin agar tidak menantang hegemoni AS nantinya di masa depan.

Sebagai dampaknya, wajar juga bila RRT seiring waktu merasa perlu untuk melakukan perlawanan, meskipun hanya dengan gertakan.

Namun, pada akhirnya bisa jadi gertakan semacam itulah yang justru ditunggu AS, karena dengan adanya bentuk perlawanan yang ditunjukkan RRT, AS akan semakin memiliki justifikasi untuk memberikan tekanan yang lebih besar pada sang Negeri Tirai Bambu. Kalau memang demikian, ujung-ujungnya Xi Jinping tetap berada dalam kendali politik luar negeri Joe Biden.

Oleh karena itu, bila RRT tidak berhati-hati dan Xi Jinping terlalu bertindak gegabah, sangat mungkin bila mereka nantinya memiliki takdir yang sama seperti Rusia. (D74)

Exit mobile version