Site icon PinterPolitik.com

Xi Jinping-Hu Jintao, Serupa Soeharto-AH Nasution?

gettyimages 1244136601 scaled

Hu yang tampak lemah dikawal keluar dari Aula Besar Rakyat (Foto: AFP via Getty Images/Noel Celis)

“Penyingkiran” Hu Jintao ketika kongres Partai Komunis Tiongkok (PKT) mengundang pertanyaan besar di berbagai belahan dunia. Fenomena ini seakan mengingatkan kembali peristiwa pembungkaman kritik Jenderal AH Nasution terhadap pemerintahan Soeharto. Mengapa demikian?


PinterPolitik.com

Bagi Partai Komunis Tiongkok (PKT), kongres merupakan acara yang esensial. Semua anggota berkumpul dalam acara lima tahunan itu untuk melanjutkan tongkat estafet kepemimpinan Tiongkok demi masa depan negara.

Tepatnya pada tahun 2022, pergelaran kongres menyerbakkan nuansa yang berbeda. Pada tahun ini juga Presiden Xi Jinping secara resmi melanjutkan kepemimpinannya di periode ketiga.

Layaknya sebuah permainan catur, para loyalis Xi telah berdiri pada tempat yang dianggapnya sebagai tempat strategis pemerintahan. Siapa pun yang menghalangi ambisi Xi seakan mudah untuk disingkirkan.

Salah satu insiden yang menuai kontroversi yakni ketika Mantan Presiden Tiongkok Hu Jintao dikawal keluar dari kongres oleh staf. Sontak, peristiwa ini mengejutkan dunia dan mengundang banyak penafsiran.

Peristiwa itu dimulai ketika Hu tampak meletakkan tangannya di atas dokumen yang secara bersamaan berusaha diraih olehnya. Gelagat Hu tampak seperti sedang mencegah dokumen itu diambil oleh rekan di sebelahnya.

Saat itu, posisi Hu berada di sebelah Xi, kemudian datang dua orang staf yang hendak menyuruhnya keluar. Sebelum dikawal keluar, Hu sempat berbicara seolah tampak protes kepada dua orang staf tersebut, namun pada akhirnya dia dikawal keluar.

Sebelum dikawal keluar, Hu sempat berhenti sejenak dan tampaknya hendak mengatakan sesuatu kepada Xi, kemudian menepuk pundak Perdana Menteri (PM) Li Keqiang. Keduanya sempat mengangguk, meskipun belum diketahui secara pasti apa yang dikatakan oleh Xi.

Kejadian itu berlangsung tak lama setelah wartawan dipersilahkan masuk. Wartawan tersebut juga termasuk media mancanegara.

Fenomena itulah yang kemudian menimbulkan tanda tanya besar. Lantas, apa yang sebenarnya terjadi?

Cari Atensi Dunia?

Meskipun pencarian kata untuk ‘Hu Jintao’, ‘Kakek Hu’ dan ‘Xi Jinping’ telah dibatasi, kantor berita Xinhua mengungkapkan bahwa Hu sedang tidak dalam keadaan sehat. Liu Jiawen selaku reporter media tersebut mengetahui bahwa Hu sebelumnya bersikeras untuk mengikuti upacara penutupan kongres dalam keadaan tidak sehat.

Namun, tak banyak kalangan yang mempercayai narasi demikian hingga muncul teori-teori konspirasi dimana Xi tampak sedang membungkam Hu.

Xi seakan terlihat seperti mencari atensi dunia bahwa kini dia memiliki kekuasaan yang sangat besar. Bisa jadi aksi itu sengaja dilakukan sebagai suatu simbol bahwa pemerintahan masa lalu telah berhasil disingkirkan mengingat dirinya berhasil mengamankan posisinya sebagai Sekretaris Jenderal (Sekjen) PKT sekaligus presiden tiga periode.

Di saat yang bersamaan, fenomena itu agaknya sudah direncanakan mengingat kejadian tersebut terjadi tak lama setelah wartawan diperbolehkan meliput upacara penuputan kongres.

Jika kemungkinan ini benar, maka bisa jadi Xi menerapkan tindakan exhibitionist dalam konteks politik. Menurut Cambridge Dictionary, exhibitionist diartikan sebagai seseorang yang sedang berusaha untuk menarik perhatian melalui perilaku.

Sehubungan dengan hal itu, kemungkinan tersebut menjadi lebih masuk akal jika merujuk pada satu pernyataan Xi bahwa dunia butuh Tiongkok untuk berkembang. Xi kiranya ingin menciptakan citra bahwa di kepemimpinannya yang baru, dia mampu membawa negara Tiongkok menjadi negara yang paling berkuasa di dunia.

Dengan demikian, Xi memang agaknya butuh menciptakan suatu propaganda awal untuk mengendalikan rakyat dan mewujudkan ambisi negara itu.

Lantas, bagaimana propaganda di pemerintahan Xi mampu mempengaruhi keberhasilan kebijakan baik secara nasional maupun mancanegara?

Negara Penuh Propaganda?

Sebelum mengulik lebih dalam terkait konteks kebijakan, istilah propaganda perlu didefinisikan secara tepat sesuai dengan realita di Tiongkok saat ini.

Salah satu definisi propaganda yang dapat digunakan yakni diungkapkan oleh Terence H. Qualter. Menurutnya propaganda merupakan suatu usaha yang ditunjukkan secara sengaja oleh sekelompok orang untuk membentuk, mengawasi maupun merubah sikap kelompok-kelompok lain melalui media komunikasi.

Tujuan dari propaganda itu tak lain untuk mewujudkan reaksi yang diinginkan oleh si propagandis berdasarkan berbagai situasi yang bersangkutan.

Propaganda Xi memang tidak mengherankan mengingat Tiongkok merupakan negara komunis. Tiongkok yang sebenarnya berbentuk republik, nyatanya tak sedikit yang mengakui bahwa demokrasi sudah hilang di negara tersebut.

Namun, suatu negara pada hakikatnya tidak akan terlepas dari kebijakan di dalam dan luar negeri. Keduanya saling berkaitan jika ingin menghasilkan keberhasilan kebijakan secara keseluruhan.

Keterkaitan antara keduanya dibahas sesuai dengan teori two level games yang diungkapkan oleh Robert D. Putnam dalam bukunya yang berjudul ​​Diplomacy and Domestic Politic.

Teori two level games membahas mengenai keterkaitan antara dua tingkatan analisis untuk mendapatkan pengakuan internasional. Dua tingkatan tersebut yaitu tingkat internasional (level 1) dan tingkat domestik (level 2).

Berawal dari propaganda itu, Xi kiranya berusaha untuk mempertahankan sistem pemerintahannya yang cenderung bersifat kediktatoran. Oleh karena itu, propaganda menjadi bagian dari kebijakan Xi di dalam negeri.

Ini akan berhubungan dengan kebijakan luar negeri dimana Tiongkok bukan tidak mungkin akan menghadapi situasi internasional yang tak menentu dan kompleks ke depan.

Xi bahkan mengungkap pernyataan yang mengintensifkan pertahanan sengit demi kepentingan nasional Tiongkok dan keamanan terhadap semua ancaman yang dirasakan sehingga dirinya akan mengontrol dengan ketat dan terlibat dalam semua keputusan kebijakan luar negeri.

Kembali ke pembahasan awal, menjadi suatu hal yang masuk akal kiranya jika upaya propaganda Xi atas pengawalan terhadap Hu ke luar kongres merupakan caranya untuk mempertahankan pemerintahan yang cenderung diktator untuk mewujudkan cita-cita Tiongkok.

Fenomena itu sekilas tampak mirip dengan kontroversi Presiden ke-2 RI Soeharto yang berusaha untuk menyingkirkan A.H. Nasution di masa pemerintahan Orde Baru (Orba). Mengapa hal tersebut dapat menjadi fenomena yang serupa?

Serupa Kontroversi Suharto-Nasution?

Kala kontroversi itu masih di luar skenario, Soeharto merupakan seorang Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib), sedangkan Nasution memegang jabatan sebagai pemimpin Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS).

Ketika pidato pertanggungjawaban Presiden ke-1 RI Soekarno ditolak oleh MPRS, Soeharto terpilih menjadi penggantinya. Lantas, angan-angan menjadi orang nomor 1 di RI hilang bagi Nasution akibat keraguannya. Padahal, dirinya memiliki kans yang tak kalah kuat dari Soeharto.

Nasution memang sudah menjadi jenderal tanpa pasukan semenjak dirinya tidak lagi memimpin Angkatan Darat (AD). Pada tahun 1969 dirinya dilarang berbicara di Akademi Militer (Akmil) dan Seskoad. Ini disinyalir dilatarbelakangi oleh ketakutan Soeharto yang melihat Nasution sebagai saingan politiknya.

Larangan tersebut menjadi masuk akal mengingat kedua tempat itu pernah dimanfaatkannya untuk naik ke pentas politik. Hingga pada akhirnya, pada tahun 1971 Nasution diberhentikan dari dinas militer saat dirinya berusia 53 tahun alias dua tahun lebih cepat dari usia pensiun militer.

Setahun setelahnya, Nasution turun jabatan dari MPRS dan membuatnya mendapatkan julukan sebagai “gelandangan politik”.

Meskipun telah berupaya untuk bertahan di situasi yang tidak mungkin lagi menjadi orang nomor satu, Nasution terus menunjukkan kekuatannya yang seakan tiada yang mampu menghalangi dirinya sebagai orang yang kritis. Tak mengherankan, dirinya memiliki tingkat pendidikan formal dan intelektualitas yang dianggap jauh melebihi Soeharto.

Sayangnya, upaya kritis Nasution kian membuat dirinya tersudutkan oleh rezim Orde Baru terutama ketika dia mendirikan Lembaga Kesadaran Berkonstitusi (LKB) bersama Mohammad Hatta pada tahun 1978. Lembaga itu sendiri berisikan para pensiunan jenderal-jenderal yang kritis terhadap penguasa.

Tentunya, KLB tak mendapat restu dari Soeharto untuk mengadakan pertemuan pertama pada tahun 1979. Namun, hal itu tak menghalangi LKB untuk mengkritisi pidato Soeharto di Pekanbaru dan Cijantung. Kritik itu dibungkus dengan penandatangan Petisi 50 pada 5 Mei 1980.

Petisi 50 kemudian dijadikan sebagai bahan untuk semakin menyudutkan dan mempersempit ruang gerak Nasution dan penandatangan lainnya. Eksistensinya kemudian bagai dihilangkan.

Nasution bahkan dilarang untuk bepergian ke luar negeri, meskipun untuk menghadiri undangan dari pemerintah Malaysia. Hanya ketika akan operasi jantung di Amerika pada 1980, Nasution diperbolehkan untuk keluar.

Dalam autobiografi Nasution yang berjudul Bisikan Nurani Seorang Jenderal, dirinya sempat mengungkapkan kisah yang sangat mirip dengan Hu Jintao saat digiring ke luar kongres PKT.

Nasution menceritakan kisah kurang mengenakkan yang dialaminya saat melayat mantan Wakil Persiden Adam Malik yang wafat 5 September 1984. Saat itu, Nasution hendak mengikuti salat gaib jenazah Adam Malik.

Saat baru memulai salat, Nasution malah digiring keluar oleh Paspampres. Alasannya dikarenakan saat itu Wakil Presiden Umar Wirahadikusumah akan datang ke rumah duka.

Meski memiliki konteks yang sedikit berbeda, kisah Nasution dan Soeharto agaknya dapat menjadi suatu refleksi atas pembungkaman pemerintah yang bersifat diktator untuk mempertahankan kekuasaannya. Termasuk yang kemungkinan dilakukan Xi.

Xi mungkin melakukannya dengan konsep political exhibisionist dan propaganda untuk membungkam orang-orang yang mengkritik dirinya. Semua itu dilakukan demi memperlancar keterkaitan antara kebijakan di level domestik dan internasional yang dibungkus dengan nilai-nilai partai komunis. (Z81)

Exit mobile version