Pemerintahan Recep Tayyip Erdoğan di Turki memutuskan untuk mengganti nama resmi internasional “Turkey” menjadi “Türkiye” dengan mengirimkan surat resmi ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Mengapa Erdoğan ingin nama negaranya diganti?
“I’m authentic, real name, no gimmicks” – Drake, “Pound Cake/Paris Morton Music 2” (2013)
Nama merupakan hal yang penting. Dengan nama, kita bisa mengidentifikasikan diri – baik diri sendiri maupun orang lain.
Oleh sebab itu, makna dan arti yang dimiliki oleh sebuah nama menjadi penting – setidaknya bagi pemilik nama itu sendiri. Nama yang diberikan orang tua kepada kita, misalnya, biasanya selalu memiliki arti-arti baik yang tak jarang sekaligus menjadi doa atas kebahagiaan di masa depan.
Namun, terkadang, arti sebuah nama yang sudah ada membuat kita merasa tidak nyaman. Penyanyi rap (rapper) asal Amerika Serikat (AS) yang bernama Snoop Dogg, misalnya, sempat mengganti nama panggungnya menjadi Snoop Lion.
Namun, seiring berjalannya waktu, penyanyi rap yang bernama asli Calvin Cordozar Broadus Jr. tersebut memutuskan untuk kembali menggunakan nama Snoop Dogg dibandingkan Snoop Lion. Pasalnya, nama tersebut sudah dikenal secara luas.
Bukan hanya Snoop Dogg, penggantian nama seperti ini juga pernah dilakukan oleh politikus asal Indonesia, yakni Ketua Umum (Ketum) PKB Muhaimin Iskandar yang juga dikenal sebagai Cak Imin. Wakil Ketua DPR RI itu – meski sudah memiliki panggilan Cak Imin – sempat memunculkan panggilan dan julukan lain, seperti Gus AMI, Gus Muhaimin, sampai Gus Imin.
Istilah “Gus” dalam nama-nama itu disebut memiliki arti tertentu dalam kelompok Nahdlatul Ulama (NU). Biasanya, gelar itu diberikan kepada mereka yang merupakan putra dari seorang kiai.
Uniknya lagi, penggantian nama seperti ini tidak hanya terjadi pada individu, melainkan juga pada entitas politik yang lebih besar seperti negara. Bagaimana tidak? Baru-baru ini, pemerintahan Recep Tayyip Erdoğan di Turki mengirimkan surat kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) agar nama resmi negaranya diubah dari “Turkey” menjadi “Türkiye” secara internasional.
Mungkin, seperti Cak Imin, Erdoğan merasa nama Türkiye memiliki arti yang lebih baik bila dibandingkan dengan nama Turkey yang berarti “kalkun” dalam Bahasa Inggris. Nama Türkiye sebenarnya juga digunakan oleh warga Turki sendiri guna menyebut negara mereka.
Meski begitu, perubahan nama negara ini bukanlah hal yang sering terjadi – kecuali terjadi perubahan kekuasaan di negara tersebut. Saat Republik Indonesia (RI) memproklamirkan kemerdekaannya pada tahun 1945, nama Hindia Belanda yang sebelumnya digunakan untuk menyebut wilayah kepulauan Asia Tenggara ini tidak lagi digunakan.
Bila Turki tidak mengalami perubahan politik demikian, mengapa Erdoğan memutuskan untuk mengubah nama negaranya dari Turkey menjadi Türkiye? Mungkinkah perubahan nama itu membawa implikasi dalam politik internasional?
Re-branding Turki ala Erdoğan?
Nama biasanya memang menjadi identitas bagi seseorang. Hal yang sama pun berlaku bagi entitas-entitas lain. Contoh mudah yang ada di sekitar kita sehari-hari adalah nama-nama perusahaan.
Dalam dunia marketing (pemasaran), branding menjadi salah satu komponen krusial dari sebuah perusahaan. Salah satu hal penting untuk membangun branding adalah bagaimana identitas perusahaan dibangun – misal melalui nama.
Facebook, misalnya, memutuskan untuk mengubah nama perusahaannya menjadi Meta. Melalui pengumuman yang diberikan oleh CEO Mark Zuckerberg, nama Meta digunakan sebagai identitas baru dengan adanya langkah besar untuk membangun metaverse – sekaligus untuk memperbarui nama Facebook yang dikenal dengan isu-isu persebaran misinformasi.
Bukan hanya Facebook, perubahan nama perusahaan ini juga sempat dilakukan oleh perusahaan restoran IHOP yang kini bernama IHOb karena tidak lagi hanya menjual pancakes, melainkan juga burger. Kabar perubahan nama ini bahkan sempat menjadi meme di banyak platform media sosial (medsos).
Laurent Muzellec dalam tulisannya yang berjudul What is in a Name Change? menjelaskan bahwa perubahan nama perusahaan seperti merupakan strategi branding untuk jangka panjang. Melalui perubahan nama, perusahaan ini ingin membangun brand awareness yang berbeda bagi pasar dan konsumen-konsumennya.
Dalam hal ini, nama memiliki arti sebagai identitas dari perusahaan tersebut. IHOb, misalnya, mengubah namanya karena nama lama dirasa tidak lagi sesuai dengan identitas brand-nya.
Hal yang sama juga berlaku bagi negara. Dengan menggunakan pendekatan yang diadposi dari dunia marketing, negara-negara juga melakukan langkah serupa untuk membangun branding atas negaranya – biasa disebut dengan istilah nation-branding.
Keith Dinnie dalam bukunya yang berjudul Nation-Branding menjelaskan bahwa branding bagi negara diperlukan sebagai reputasi dari negara tersebut yang ditampilkan di hadapan panggung politik dunia. Implikasinya pun beragam – mulai dari pariwisata (tourism) hingga perdagangan.
Dalam kasus perubahan nama Turki, misalnya, dinilai bertujuan untuk membangun reputasi yang lebih baik di mata internasional. Pasalnya, nama “Turkey” dapat memiliki makna lain, yakni hewan unggas kalkun dalam Bahasa Inggris.
Di sisi lain, ada sejumlah keuntungan lain yang didapatkan oleh Turki bila mengganti namanya. Dalam hal perdagangan dan pariwisata, misalnya, pemerintahan Turki membuat kampanye dengan nama baru, Hello Türkiye, dan label ekspor bertuliskan, “Made in Türkiye.”
Namun, apakah benar alasan penggantian nama resmi Turki oleh pemerintahan Erdoğan ini dilakukan semata hanya karena nama unggas, serta promosi pariwisata dan perdagangan? Mengapa sebenarnya perubahan nama ini bisa memiliki dimensi geopolitik di baliknya?
Erdoğan Lepas Belenggu Barat?
Bukan tidak mungkin, ada alasan politik – dan geopolitik – di balik perubahan nama Turki ini. Seperti yang telah diketahui, Erdoğan merupakan pemimpin populis.
Mengacu pada pendapat Francesco Siccardi dari lembaga think-tank Carnegie Europe, Erdoğan bisa jadi tengah berusaha menarik suara pemilih yang berspektrum politik nasionalis. Pasalnya, dukungan terhadap Erdoğan dan Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) terus menurun dengan krisis ekonomi yang menggerogoti Turki.
Bagaimana bisa perubahan nama ini menarik suara pemilih nasionalis? Bukan tidak mungkin, nama baru ini berkaitan juga dengan nama yang selama ini Turki sendiri gunakan secara resmi, yakni Turkey.
Nama “Türkiye” sebenarnya bukan nama baru. Nama itu adalah kata yang memang digunakan oleh orang-orang Turki menyebut negaranya. Namun, seiring berjalannya sejarah, nama ini dituliskan berbeda di bahasa-bahasa lain.
Nama “Turkey”, misalnya, digunakan akibat peradaban Barat kerap melafalkan dan menuliskan nama negara tersebut dengan istilah tersebut. Mungkin, Erdoğan tidak ingin Turki terus terjebak dengan nama yang diberikan oleh Barat tersebut.
Jebakan nama seperti ini sebenarnya bukan hanya dialami oleh Turki. Filipina, misalnya, harus terjebak dengan nama yang telah diberikan oleh negara penjajahnya – yakni Spanyol – yang mana memberikan nama tersebut dari nama Raja Philip II yang berkuasa pada tahun 1556 hingga tahun 1598.
Di sisi lain, pergantian nama Turki oleh Erdoğan ini bisa jadi juga memenuhi mimpinya untuk mewujudkan “The New Turkey” atau “Turki Baru” yang pernah diusung oleh sang presiden pada tahun 2014. Namun, apa sebenarnya yang dimaksud dengan Turki Baru?
Mengacu pada tulisan Mustafa Akyol yang berjudul What Exactly is the ‘New Turkey?’, Turki Baru yang digadang-gadang oleh Erdoğan adalah Turki yang ‘dikuasai’ oleh kelompok konservatif-religius – yang mana menjadi antitesis terhadap Turki yang telah mengalami Westernisasi (Westernized). Namun, untuk mewujudkannya, Erdoğan perlu menjaga momentum politiknya.
Akyol pun menyebutkan bahwa karakteristik pola kekuasaan Turki selalu berpusar pada satu sosok pemimpin-penyelamat (savior-leader). Bila sebelumnya sosok ini adalah Mustafa Kemal Atatürk, kini Erdoğan ingin menggantikan peran tersebut.
Identitas “Turki Baru” ini juga bisa berimplikasi pada kebijakan luar negeri Turki. Seperti yang dijelaskan oleh Dinnie dalam bukunya, nation-branding juga berkaitan dengan identitas negara tersebut dalam masyarakat internasional – mempengaruhi bagaimana negara-negara saling berinteraksi.
Dengan posisi Turki sebagai kekuatan tengah (middle-power) yang terletak di antara dua benua, yakni Eropa dan Asia, Erdoğan bisa jadi ingin membangun identitas Turki yang istimewa (exceptional) di antara negara-negara yang ada di sekitarnya – membentuk eksepsionalisme Turki yang baru ala Erdoğan. Menarik untuk diamati kelanjutan arah kebijakan sang pemimpin populis satu ini. (A43)