Dari California, Amerika Serikat (AS), para pemimpin negara Aliansi Australia, Inggris, AS (AUKUS) mengumumkan perjanjian pembangunan kapal selam nuklir di Australia. Lalu, apakah maksud utama dari perjanjian ini? Apakah tahap awal dari “perang masa depan” telah dimulai?
“Bersiap untuk perang adalah salah satu cara yang paling efektif untuk melestarikan perdamaian”- George Washington
Bertempat di California, Amerika Serikat (AS), ketiga pemimpin negara Aliansi Australia, Inggris, AS (AUKUS), yaitu Perdana Menteri (PM) Anthony Albanese, Presiden AS Joe Biden (Presiden AS), dan PM Inggris Rishi Sunak resmi mengumumkan proyek kerjasama kapal selam nuklir.
Proyek yang bernilai sekitar $245 miliar (Rp3.700 triliun) ini mampu meningkatkan kemampuan militer Australia secara drastis. Sebab selama ini Australia hanya memiliki jenis kapal selam bertenaga listrik-diesel, yaitu Collins class, yang awalnya hendak diremajakan dengan Attack class dari Prancis yang juga bertenaga listrik-diesel.
Rencananya, kapal selam yang diberi nama SSN-AUKUS ini akan menggunakan model desain dari Inggris, dan dilengkapi dengan teknologi dari AS. Selain Australia, Inggris juga akan mendapat kapal selam ini dengan estimasi penerimaan pertama pada akhir 2030-an. Sementara Australia akan mulai menerimanya sejak awal 2040-an.
Namun sebelum itu, sekitar tahun 2030 Australia juga akan membeli kapal selam nuklir dari AS, yaitu Virginia class sebanyak 3 unit dengan opsi penambahan 2 unit. Pembelian ini sendiri akan berada di bawah perjanjian AUKUS.
Selain membawa keuntungan berupa terbukanya ribuan lapangan kerja, proyek tersebut juga membawa berbagai dampak negatif. Mantan PM Australia, yakni Paul Keating, bahkan mengkritik pembelian tersebut, karena mempertaruhkan keselamatan negara dengan kepentingan “negara asing” yaitu AS dan Inggris dalam potensi konflik di masa depan. Beberapa negara seperti Tiongkok, Rusia, dan Indonesia telah menyampaikan kritik terhadap perjanjian tersebut.
Para pengamat sendiri menduga bahwa kesepakatan ini merupakan upaya yang dilakukan untuk mengimbangi kekuatan dan pengaruh Tiongkok di kawasan regional.
Namun, apa yang sebenarnya ingin dicapai oleh AUKUS? Apa benar semua tindakan tersebut dimaksudkan untuk mengimbangi Tiongkok? Kalau demikian, pertanyaan besar lainnya adalah, apakah Tiongkok memang begitu berbahaya?
Island Chain Strategy?
Status hegemoni yang dinikmati AS bukan kali ini saja mendapat tantangan. Uni Soviet hadir selama masa Perang Dingin sebagai sebuah kekuatan yang berusaha mengimbangi atau menyaingi kemampuan AS. Nah, pada saat itu, AS menerapkan beberapa strategi agar pengaruh Uni Soviet bisa terkontrol.
Salah satunya adalah island chain strategy yang dibuat oleh John Foster Dulles, yang merupakan ahli urusan luar negeri AS. Strategi yang dikembangkan sekitar tahun 1951 ini dibuat untuk menahan dan menekan kemampuan maritim dari Uni Soviet dan Tiongkok. Meski tidak populer pada masa perang dingin, namun strategi ini dipandang sebagai solusi yang efektif untuk melawan Tiongkok.
Tujuan dari strategi ini sendiri adalah untuk membatasi akses laut kepada negara target, dengan jaringan kepulauan yang tersebar di Samudera Pasifik. Ada sekitar 3 rantai yang dikembangkan. Rantai pertama dimulai dari Kepulauan Jepang hingga Pulau Kalimantan. Sementara rantai kedua mencakup Kepulauan Mariana hingga Nugini barat dan termasuk negara Palau. Dan yang ketiga adalah wilayah Hawaii, Samoa Amerika hingga berakhir di Selandia baru.
Seiring dengan meluasnya pengaruh Tiongkok, terutama soal pangkalan militer di negara lain serta proyek Belt and Road Initiative (BRI), wacana perluasan strategi dengan rantai ke 4 dan ke 5 telah diperbincangkan. Hal tersebut ditujukan untuk mengepung pangkalan milik PLA di Djibouti hingga Sri Lanka dan Pakistan.
Jika kita hubungkan, proyek AUKUS sendiri bisa jadi merupakan “bentuk” lain dari strategi tersebut. Mengingat wilayah Australia yang berdekatan dengan wilayah Samudera Pasifik dan hindia, sehingga kehadiran kapal selam nuklir Australia dapat menjadi ancaman serius bagi militer Tiongkok.
Kemampuan inilah yang berusaha diletakkan oleh AS untuk semakin mengurung keberadaan Tiongkok, terutama di wilayah pasifik. Efek deterrence atau penyeimbangan yang dihadirkan tentu dapat mempengaruhi tindakan Tiongkok, yang akan mempertimbangkan hal tersebut.
Wajar AS Agresif?
Mungkin banyak orang yang berpikir tentang kenapa AS tidak mengupayakan diplomasi atau kolaborasi dengan Tiongkok. Hal ini sebenarnya masuk akal karena AS sendiri bergantung pada Tiongkok, banyak barang murah dari Tiongkok yang kini menjadi pilihan utama bagi kebutuhan warga AS.
Kita bisa memahami tindakan AS tersebut dengan melihat sebuah konsep dari Brantly Womack, yaitu Allison trap. Dalam konsepnya, profesor dari hubungan internasional Universitas Virginia tersebut, menyebut bahwa persaingan antara kekuatan dominan dan kekuatan potensial akan selalu menghasilkan konflik yang besar. Hal ini tidak dapat dihindari mengingat kepentingan keduanya yang akan bertentangan.
Kekuatan dominan akan selalu melihat tindakan kekuatan potensial sebagai ancaman, sementara kekuatan potensial akan terus berusaha menjalankan ambisinya, meski dengan menentang kemauan sang kekuatan dominan. Hal ini disebabkan oleh keadaan dunia yang tidak pasti, sehingga setiap pihak akan mementingkan dan memaksakan keinginannya.
Pada kondisi tersebut, tentu kekuatan dominan akan berusaha semaksimal mungkin untuk mengalahkan ambisi dan keinginan dari kekuatan potensial tersebut.
Jika kita melihat dalam kasus AUKUS dan Tiongkok, tentunya AS adalah pihak yang paling berkepentingan dalam hal ini. Meski harus “membagi” teknologinya kepada Australia, namun dalam hal ini AS mendapat bisa melancarkan kepentingan nasionalnya.
Jika kita analogikan dalam permainan catur, kesepakatan ini membuat Australia tidak hanya menjadi “pion” bagi AS, namun telah berubah menjadi benteng atau kuda, yang kemampuannya lebih baik dari sebuah pion.
Sejatinya, Australia memiliki hubungan yang cukup krusial dengan Tiongkok, karena Tiongkok adalah mitra dagang terbesarnya. Hal ini membuat Australia harus “mendayung diantara dua karang”, untuk menjaga kepentingan nasionalnya.
Tiongkok sendiri merupakan lawan yang lebih tangguh dari Uni Soviet, karena menggabungkan kemampuan ekonomi dan militernya yang besar. Sehingga Amerika harus lebih cermat untuk mengeliminasi ancamannya.
Di sisi lain, tentu AS tidak bisa berkonfrontasi secara langsung dengan Tiongkok, karena di masa yang penuh dengan keterbukaan serta harga nyawa yang begitu “mahal” di AS, dapat membahayakan kondisi dalam negeri mereka. Opsi proxy war dengan bidak lain yang bisa digunakan, menjadi pilihan lain yang brilian bagi AS.
Tentunya kita berharap agar jangan sampai konflik terbuka terjadi di kawasan ini, karena akan merugikan Indonesia dan negara ASEAN lain. Selain itu akan menyebabkan destabilisasi kawasan Indo-pasifik..
Pada kondisi seperti inilah peran Indonesia begitu krusial. Semestinya, Indonesia -sebagai salah satu “pemilik rumah” Indo-Pasifik- bisa tampil menjadi pihak netral dan mediator untuk kedua kekuatan besar yang sewaktu waktu bisa bentrok. Meminimalisir dampak yang terjadi tentu harus menjadi tujuan tersebut.
Karena di dunia yang semuanya saling berkaitan ini, kadang nasib kita ditentukan dengan hubungan yang terjadi di antara pihak lainnya. Semoga, Indonesia bisa sebaik mungkin melewatinya, mengikuti perkataan Bung Hatta, “mendayung di antara dua karang”. (R87)