Perkembangan teknologi jet tempur Tiongkok belakangan ini terlihat semakin mengesankan. Meski begitu, hampir tidak ada negara yang berminat beli jet tempur mereka. Mengapa demikian?
Tidak diragukan lagi bahwa Tiongkok saat ini telah menjadi sebuah negara yang kuat.
Kebangkitan Tiongkok pun tidak hanya tersorot dari aspek ekonominya saja. Belakangan ini, Tiongkok kerap jadi headline pemberitaan karena perkembangan militernya yang luar biasa.
Hanya dalam kurun waktu beberapa dekade saja, negara yang tadinya hanya andalkan jet tempur murah dari Uni Soviet ini sekarang sudah mampu ciptakan jet tempur silumannya sendiri, dalam bentuk pesawat J-20 dan FC-31.
Banyak pengamat militer menilai jet-jet tempur tersebut bahkan bisa bersaing dengan jet unggulan buatan AS dan Rusia, seperti F-22 Raptor dan Sukhoi SU-57. Ini tentu jadi catatan yang menarik mengingat perkembangan teknologi yang digunakan jet tempur Tiongkok sebagian besar murni dikembangkan dalam negeri.
Karena pencapaian yang luar biasa itu, banyak pengamat memprediksi Tiongkok akan jadi eksportir besar jet tempur di masa depan, yang mampu menyaingi AS. Dengan kapabilitas yang tidak jauh beda dengan produk asal AS dan Rusia, namun dengan harga penjualan yang lebih murah, Tiongkok akan menjadi pemain besar pasar pertahanan udara selanjutnya.
Tapi anehnya, fakta justru berkata sebaliknya. Sejak pertama kali kembangkan jet tempur sendiri, hampir tidak ada negara asing yang membeli jet tempur buatan Tiongkok.
Para pelanggan setia Tiongkok hanyalah negara-negara tetangga dengan perekonomian yang masih berkembang, seperti Myanmar, Pakistan, dan Bangladesh. Itu pun yang dibeli hanya jet-jet kelas bawah seperti JL-10, yang seharusnya digunakan untuk latihan saja.
Di sisi lain, negara dengan perekonomian yang meningkat, seperti Indonesia misalnya, tidak pernah terlihat tertarik membeli jet tempur buatan Tiongkok, padahal kualitas yang didapat cukup lumayan dan harganya lebih terjangkau dibanding jet Rusia ataupun Barat.
Mengapa bisa demikian? Beberapa orang berasumsi ini akibat potensi embargo AS. Benarkah anggapan tersebut?
Embargo AS Bukan Alasannya?
Meski secara sekilas potensi embargo AS terlihat masuk akal, kenyataannya alasan tersebut kurang tepat. Melalui Undang-Undang Melawan Musuh Amerika Melalui Sanksi (CAATSA), AS memang berhak memberikan sanksi pada siapapun yang berani membeli persenjataan dari negara “musuh AS”.
Namun, Tiongkok tidak pernah termasuk dalam negara yang dilarang dalam CAATSA, aturan tersebut hanya mem-blacklist Rusia, Iran, dan Korea Utara (Korut).
Lantas, kenapa masih banyak negara yang enggan beli jet tempur dari Tiongkok? Well, setidaknya ada tiga alasan.
Pertama, ini karena Tiongkok tidak memiliki sejarah penjualan jet tempur internasional yang kuat. Richard Aboulafia, pengamat pertahanan dari AeroDynamic Advisory mengatakan bahwa pembelian jet tempur lebih bersifat sebagai penghargaan keterikatan politik dibandingkan pertimbangan kualitas.
Rusia dan AS adalah dua negara besar yang memiliki banyak ikatan penjualan alat-alat militer dengan banyak negara dari puluhan tahun yang lalu, karena itu, mereka akan selalu memiliki pelanggan tetap, meski terkadang saling mengecam posisi politik satu sama lain.
Dengan demikian, negara-negara yang membeli senjata AS dan Rusia melakukan pembelian jet tempur sebagai upaya menghargai dan memperkuat keterikatan politik yang sudah dijalin dalam waktu yang lama. Selain itu, juga untuk mengurangi biaya perawatan, karena tidak perlu mendatangkan suku cadang yang berbeda jenis bila harus beli ke produsen senjata baru, seperti produsen jet tempur Tiongkok, misalnya.
Sementara itu, Tiongkok belum pernah menjadi pemasok jet tempur ke banyak negara asing, sehingga, mereka kesulitan menarik perhatian negara-negara yang melihat akan mendapat lebih banyak manfaat politik jika beli jet tempur ke AS ataupun Rusia.
Kedua, ini juga akibat ketidak percayaan internasional pada Tiongkok. Kembali mengutip Richard dalam artikelnya The World Doesn’t Want Beijing’s Fighter Jets, ia mengatakan bahwa industri persenjataan yang super canggih hampir tidak bermakna apa-apa bila Anda tidak memiliki “teman”.
Karena saat ini Tiongkok selalu dicitrakan sebagai negara yang berpotensi menimbulkan ancaman geopolitik, banyak negara akan berpikir dua kali bila ingin memiliki hubungan politik yang mendalam dengan Xi Jinping. Di Asia Tenggara, Tiongkok dianggap sebagai bahaya dalam Laut China Selatan (LCS). Di Asia Timur, Tiongkok juga dianggap sebagai bom waktu terhadap Taiwan dan juga menjadi pendukung setia Korut.
Memang, dalam aspek ekonomi banyak negara yang ingin kerja sama dengan Tiongkok, tapi itu hanya sebatas ekonomi. Sementara, penjualan jet tempur tidak hanya soal ekonomi, tetapi juga tentang dukungan politik (political favour) dan kepercayaan politik (political trust).
Dengan alasan ini, Richard menduga bahwa salah satu alasan kuat kenapa Tiongkok kesulitan menjual jet tempurnya adalah karena saat ini hampir tidak ada negara yang menganggap Tiongkok sebagai “teman” dalam politik internasional.
Segala hal yang berhubungan dengan Tiongkok dilakukan murni untuk tujuan bisnis, bukan untuk perkerat ikatan politik. Ini juga menjadi pertanda bahwa belum ada negara yang melihat Tiongkok sebagai rekan strategis, karena berbeda dengan AS, Tiongkok dianggap tidak bisa beri perlindungan geopolitik bila ada negara yang memang ingin mendekatkan diri dengan mereka.
Ketiga, dan ini yang jadi tantangan terbesar industri militer Tiongkok, jet tempur Tiongkok tidak pernah terlibat dalam konflik bersenjata kontemporer. Kenapa ini penting? Well, suka atau tidak, perang adalah satu-satunya media nyata yang mampu membuktikan kapabilitas sebuah senjata.
Sebagai contoh, jika dalam suatu peperangan senjata yang diproduksi AS ternyata tampil lebih baik dari senjata buatan Rusia, maka secara otomatis banyak negara akan melirik senjata buatan AS itu.
Sementara itu, meski selalu tampil sebagai negara yang agresif, Tiongkok tidak pernah terlibat dalam pertempuran modern. Berbeda dengan industri senjata AS, Rusia, maupun Eropa, dari tahun ke tahun mereka selalu terlibat dalam pertempuran, entah itu di Afganistan, Suriah, atau Irak.
Karena hal ini, banyak negara yang meragukan kapabilitas jet tempur Tiongkok, meskipun secara teoritis sebenarnya mereka tidak kalah kuatnya dengan jet-jet AS ataupun Rusia.
Lantas, apakah ini artinya penjualan alat utama sistem senjata (alutsista) Tiongkok akan terus “tiarap” di bawah bayang-bayang AS dan Rusia?
Tiongkok Perlu Terlibat Perang?
Mantan Perdana Menteri (PM) Uni Soviet, Vladimir Lenin pernah membuat beberapa opini menarik tentang perdagangan senjata internasional dengan judul Who Stands to Gain? dan Armaments and Capitalism. Dalam dua tulisan ini, Lenin menilai bahwa para kaum kapitalis dengan sengaja menebar konflik di dunia untuk kepentingan bisnis industri militernya.
Dengan beberapa alasan, seperti kepentingan nilai-nilai demokrasi, patriotisme, dan ide-ide liberal lainnya, negara-negara Barat telah mampu mencari justifikasi agar konflik bisa terus terjadi di berbagai belahan dunia. Mereka kemudian menggunakan konflik yang terjadi sebagai upaya marketing senjata canggih yang mereka kembangkan.
Walau tulisan-tulisan Lenin ini bisa dianggap sebagai kepingan propaganda melawan kapitalisme Barat, kita tidak bisa pungkiri bahwa perang memang menjadi ladang bisnis bagi para produsen senjata. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa mungkin penghambat Tiongkok menjadi eksportir jet tempur besar dunia adalah keengganannya melibatkan diri dalam konflik.
Karena itu, bila Tiongkok memang ingin lepas dari tembok yang selama ini memisahkan dirinya dari kekuatan hegemoni Barat, khususnya dalam industri senjata internasional, Tiongkok perlu mulai berani terlibat dalam konflik bersenjata internasional.
Dari sini kemudian kita bisa berandai-andai, apa jadinya bila Tiongkok ikut memberi bantuan senjata dalam konflik yang sedang berlangsung, seperti di Ukraina? Well, yang jelas ini akan jadi salah satu jawaban atas buntunya penjualan alutsista mereka.
Tiongkok tidak perlu menjual jet canggihnya, tapi bisa memberi bantuan-bantuan kecil, seperti drone militer yang menggunakan teknologi targetting yang sama digunakan oleh jet-jet tempur canggihnya. Tiongkok pun tidak perlu melakukan serangan mematikan, mereka bisa hanya cukup lakukan serangan yang dapat lumpuhkan peralatan militer musuh.
Jika komponen-komponen teknologi yang digunakan dalam jet tempur ini akhirnya terbukti membawa dampak yang signifikan dalam peperangan di Ukraina, bukan tidak mungkin bila nantinya banyak negara takut akan kapabilitas jet tempur Tiongkok, dan akhirnya berusaha mencari perlindungan dengan membeli teknologi itu sendiri.
Peran yang demikian sebenarnya saat ini sedang dimainkan oleh Turki. Dengan mengirimkan drone Bayraktar ke Perang Ukraina, Turki disebutkan telah mendapat banyak pesanan internasional, padahal seperti yang diketahui, Turki dan Rusia sebenarnya memiliki hubungan politik yang bisa dibilang cukup dekat.
Ini membuktikan bahwa peperangan nyata sebetulnya memiliki dimensi yang berbeda dengan realita hubungan politik, dengan demikian, Tiongkok sebenarnya bisa gunakan celah-celah konflik untuk meningkatkan penjualan alutsista udaranya. Di sisi lain, kapabilitas efektif dari sebuah senjata dalam perang justru sebenarnya dapat mengakhiri perang itu sendiri dengan lebih cepat.
Anyway, ini semua hanya perandaian belaka. Tentunya, perang adalah sesuatu yang harus selalu kita hindari. Namun, seperti yang diyakini dalam detterence theory atau teori pencegahan dalam studi hubungan internasional, pembuktian senjata yang kuat justru dapat mencegah perang. (D74)