Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) beberapa waktu lalu menerima kunjungan dari Presiden Timor Leste José Ramos-Horta. Mungkinkah Timor Leste menjadi kunci bagi warisan Jokowi dalam politik luar negeri?
“Yang patah tumbuh. Yang hilang berganti. Yang hancur lebur akan terobati. Yang sia-sia akan jadi makna. Yang terus berulang suatu saat henti. Yang pernah jatuh ‘kan berdiri lagi” – Banda Neira, “Yang Patah Tumbuh, Yang Hilang Berganti” (2016)
Siapa sangka bila ternyata masa lalu yang pahit tidak melulu menjadi penghambat bagi terbentuknya hubungan yang erat? Meski situasi yang terjadi di masa lalu menjadi memori buruk, hubungan yang telah rusak tetap saja bisa diperbaiki – atau mungkin tergantikan yang baru.
Kurang lebih, begitulah makna yang mungkin ingin disampaikan oleh Banda Neira dalam lagunya yang berjudul “Yang Patah Tumbuh, Yang Hilang Berganti” (2016). Seperti semangat juang kemerdekaan Indonesia, mati satu tumbuh seribu.
Boleh jadi, ini mungkin bisa digambarkan dengan sebuah singkatan populer, CLBK (cinta lama bersemi kembali). Jadi, bagi kalian yang baru saja putus cinta, ada baiknya kita tidak berputus asa.
Apa yang terjadi dalam CLBK seperti ini boleh jadi kini juga terjadi dalam hubungan antar-negara, seperti hubungan yang tampaknya semakin mesra antara pemerintah Timor Leste dan pemerintah Indonesia.
Padahal, seperti yang banyak diketahui, sejarah antara Timor Leste dan Indonesia dipenuhi dengan peristiwa-peristiwa kelam. Di akhir abad ke-20, misalnya, Indonesia ditengarai melakukan pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di negara yang sebelumnya dijajah oleh Portugis tersebut.
Namun, kini, Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Presiden Timor Leste José Ramos-Horta – sosok yang dulunya juga terlibat dalam melawan aneksasi Indonesia terhadap Timor Timur – bertemu dan membahas kerja sama di antara dua negara. Sambut senyum pun terlihat di raut muka mereka.
Selain membahas kerja sama bilateral, Jokowi dan Ramos-Horta juga membahas kemungkinan-kemungkinan lain yang bakal mempengaruhi keanggotaan Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) di masa depan, yakni kesempatan Timor Leste untuk bergabung ke organisasi kawasan tersebut.
Pemerintah Indonesia sendiri disebut juga telah mendukung keanggotaan Timor Leste di ASEAN. Bahkan, Ramos-Horta mengklaim bahwa momen yang ditunggu-tunggu ini akan diwujudkan pada tahun 2023 mendatang – ketika Indonesia menjabat sebagai Ketua ASEAN.
Jika Timor Leste nantinya benar-benar berhasil bergabung ke ASEAN, jelas ini akan menjadi momen yang bersejarah. Pasalnya, sejak awal merdeka pada tahun 2002, negara kecil di bagian timur dari Pulau Timor ini sudah berambisi untuk bergabung ke organisasi kawasan tersebut.
Lantas, mengapa baru sekarang Ramos-Horta begitu yakin dengan kemungkinan bergabungnya Timor Leste ke ASEAN pada tahun 2023 mendatang? Mengapa pemerintahan Jokowi juga tampak menyambut dan mendukung bergabungnya negara yang dulu sempat dianeksasi oleh Indonesia?
Timor Leste, Anak Tiri ASEAN?
Dalam sejarahnya, Timor Leste memang menjadi wilayah yang didesain sedemikian rupa untuk menjadi bagian dari Indonesia – setelah pada akhirnya Portugis meninggalkan wilayah koloninya ini. Tujuannya pun satu, yakni agar Timor Leste tidak jatuh pada pengaruh komunisme pada tahun 1975 – kala Perang Dingin antara Amerika Serikat (AS) dan Uni Soviet masih sangat dingin-dinginnya.
Namun, pelanggaran-pelanggaran HAM yang dilakukan Indonesia di Timor Leste membuat negara-negara asing mendukung lepasnya negara tersebut dari Indonesia. Melalui mekanisme referendum, Timor Leste akhirnya lepas dari kedaulatan Indonesia dan administrasi pemerintahan diambil alih oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui United Nations Transitional Administration in East Timor (UNTAET).
Namun, sejak berdaulat atas negaranya sendiri pada tahun 2002, pemerintah Timor Leste langsung bersemangat mengajukan permohonan keanggotaan ASEAN. Tentu saja, permohonan tersebut tidak begitu saja diterima oleh negara-negara anggotanya.
Sebagian besar negara-negara ASEAN justru sebenarnya mendukung Indonesia untuk tetap memegang kontrol atas wilayah Timor Leste. Apalagi, pada saat itu Asia tengah diguncang oleh Krisis Finansial 1997.
Mengacu pada penjelasan Lee Jones dalam bukunya yang berjudul ASEAN, Sovereignty and Intervention in Southeast Asia, banyak negara ASEAN justru membiarkan Indonesia melakukan aneksasi terhadap Timor Leste. Terlepas dari prinsip non-interferensi yang dipegang oleh organisasi kawasan ini, saling keterhubungan antar-negara ASEAN membuat mereka takut untuk ikut campur di Timor Leste.
Di sisi lain, penolakan negara-negara ASEAN terhadap keanggotaan Timor Leste juga didasarkan pada alasan ekonomi. Pasalnya, sejak tahun 2010-an, ASEAN mendorong dilakukannya integrasi regional Asia Tenggara – mulai dari sisi budaya hingga ekonomi.
Tentunya, mengacu pada penjelasan Enrique Galan dalam tulisannya berjudul Ready or Not? The Ultimate Push of Timor-Leste to Join ASEAN, ada kekhawatiran di antara negara-negara ASEAN bahwa Timor Leste tidak akan bisa menjalankan komitmen yang telah disepakati bersama sebagai proses standarisasi dan integrasi regional, khususnya dari Singapura.
Sikap Singapura ini semakin terlihat dari bagaimana KTT ASEAN 2018 yang diketuai negara-kota itu menjadi KTT pertama sejak tahun 2013 yang tidak menyebutkan aspirasi Timor Leste untuk bergabung – bahkan meski Timor Leste telah memenuhi persyaratan. Pantas saja bila Ramos-Horta sampai menyebutkan lelucon hiperbolik yang mengatakan bahwa bergabung ke ASEAN merupakan hal yang lebih mustahil ketimbang masuk surga.
Dengan kesulitan-kesulitan yang dihadapi Timor Leste, mengapa kini Ramos-Horta merasa begitu optimis bahwa negaranya bisa diterima pada tahun 2023 mendatang? Mengapa pemerintahan Jokowi juga mendukung keanggotaan Timor Leste di ASEAN?
Jokowi Justru Butuh Timor Leste?
Rasa percaya diri Ramos-Horta dan dukungan dari pemerintahan Jokowi soal keanggotaan Timor Leste di ASEAN bisa jadi dipengaruhi oleh perubahan dinamika geopolitik yang terjadi di kawasan Indo-Pasifik. Salah satu alasan utamanya bisa jadi karena pengaruh Republik Rakyat Tiongkok (RRT) yang terus meluas, termasuk ke Timor Leste.
Timor Leste bisa dibilang memiliki letak geografis yang sangat penting. Bila pengaruh Tiongkok – yang kini memang terus bertumbuh melalui perdagangan dan bantuan ekonomi – menguasai Timor Leste, negara itu seakan-akan menjadi penyusup di “halaman belakang” Indonesia dan Australia sendiri.
Mengacu pada penjelasan John J. Mearsheimer dalam bukunya berjudul The Tragedy of Great Power Politics, negara-negara akan berupaya untuk menjadi yang paling dominan di tengah anarki situasi politik internasional, khususnya di kawasan yang mereka anggap sebagai “halaman belakang” sendiri.
Tidak hanya secara geopolitik, Indonesia bisa jadi memiliki kepentingan ekonomi di Timor Leste sebagai mitra dagang terbesar bagi negara itu. Pada tahun 2017, Timor Leste paling banyak mengekspor ke Indonesia, yakni senilai USD6,13 juta (sekitar Rp85,8 miliar) – 25 persen dari total ekspor Timor Leste.
Di sisi lain, Indonesia juga jadi mitra impor terbesar bagi Timor Leste pada tahun 2017, yakni sebesar USD187 juta (sekitar Rp2,6 triliun) – 31 persen dari total impor Timor Leste. Pengaruh ekonomi Indonesia juga semakin luas dengan masuknya perusahaan-perusahaan, seperti Waskita Karya dan DAMRI.
Selain itu, dukungan Indonesia kepada keanggotaan Timor Leste di ASEAN bisa juga didasari oleh memori kolektif kedua negara. Seperti yang dijelaskan Kathrin Bachleitner dalam Collective Memory in International Relations, apa yang terjadi di masa lampau juga menentukan hubungan antar-negara – utamanya terhadap peran dan citra yang dibangun oleh negara tersebut di panggung politik dunia.
Bukan tidak mungkin, kesalahan masa lampau yang dilakukan Indonesia membuat pemerintahan Jokowi turut mendukung keanggotaan Timor Leste di ASEAN – belum lagi bila peran ini didukung oleh AS yang selalu menggalakkan prinsip-prinsip liberal internasional.
Terakhir, dukungan pemerintahan Jokowi untuk keanggotaan Timor Leste juga bisa jadi berkaitan dengan ambisi warisan Jokowi dalam politik luar negeri. Berdasarkan penjelasan Aaron T. Walter dalam tulisannya Foreign Policy: Public Opinion and Political Legacy, kebijakan luar negeri kerap jadi dasar bagi warisan politik – entah karena opini publik atau karena agenda-setting yang dibangun oleh sang pemimpin.
Dalam hal ini, ambisi untuk membangun warisan politik luar negeri bukan tidak mungkin juga ada pada Jokowi. Keinginan Jokowi untuk mengambil peran sebagai penengah antara Rusia dan Ukraina, misalnya, bisa jadi didasari oleh motivasi serupa.
Namun, dengan anggapan soal kegagalan Jokowi dalam menciptakan peningkatan perdamaian Rusia-Ukraina dalam rangkaian kunjungannya, bukan tidak mungkin pemerintahan Jokowi akhirnya membutuhkan jawaban lain. Dan, mungkin saja, keanggotaan Timor Leste di ASEAN bisa menjadi jawabannya. (A43)