Nahdlatul Ulama (NU) disebut tengah mempersiapkan sebuah pertemuan internasional seiring digelarnya Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Bali pada November 2022 nanti. Inisiatif NU yang disebut sebagai G20 Religion Forum (R20) ini disebut merupakan yang pertama kalinya digelar.
“International Hov, that’s my handle” – JAY-Z, “Pound Cake / Paris Morton Music 2” (2013)
Ada salah satu potongan lirik yang menarik dari JAY-Z dalam verse-nya di lagu milik Drake yang berjudul “Pound Cake / Paris Morton Music 2” (2013). Dalam track yang menjadi bagian dari album Nothing Was the Same (2013) itu, JAY-Z alias Hov menyebut dirinya sebagai International Hov.
Nama ini sebenarnya bisa dianggap sebuah klaim sepihak dari dirinya. Namun, tentunya, dalam menulis lirik, seorang JAY-Z pasti mempertimbangkan berbagai aspek dari identitasnya sendiri.
Sebagai seorang penyanyi rap (rapper) populer, nama JAY-Z memang tidak asing lagi di banyak negara. Mungkin, bila kita membayangkan seorang rapper, nama-nama seperti JAY-Z, Eminem, dan 50 Cent menjadi sosok-sosok yang langsung muncul di pikiran kita.
Nah, prestise internasional seperti JAY-Z inilah yang diinginkan oleh banyak individu dan kelompok, seperti Nahdlatul Ulama (NU). Bagaimana tidak? Kabarnya, organisasi masyarakat (ormas) Islam besar di Indonesia ini memiliki inisiatif untuk mengadakan forum internasional yang membahas soal agama, yakni G20 Regional Forum (R20).
Kegiatan R20 ini juga disebut menjadi pagelaran pertama. Selain itu, sama seperti Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 pada November 2022 nanti, R20 nantinya juga diadakan di Bali dengan mengundang tokoh-tokoh agama dunia.
Kabarnya, Ketua Umum (Ketum) PBNU KH Yahya Cholil Staquf bersama Sekjen Muslim World League Sheikh Mohammad bin Abdulkarim Al-Issa akan memimpin jalannya R20 – didukung oleh Kementerian Agama (Kemenag) yang dipimpin oleh Yaqut Cholil Qoumas.
Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) Pengurus Besar NU (PBNU) Muhammad Najib Azca mengatakan bahwa tujuan dari diadakannya R20 adalah agar agama bisa menjadi sumber solusi dan bukan malah menjadi sumber persoalan-persoalan modern.
Setidaknya, ada empat topik yang akan dibahas dalam pertemuan R20 yang akan digelar pada 3 dan 4 November 2022 nanti, yakni historical grievances (keluhan historis), pengungkapan kebenaran, rekonsiliasi, dan pengampunan. R20 juga akan menolak politisasi agama untuk kepentingan politik kecil.
Sebagai ormas domestik, tentu inisiatif NU ini bisa mengundang tanya. Mengapa Gus Yahya ingin NU bisa aktif di tingkat internasional? Mungkinkah ada kepentingan di balik internasionalisasi NU ini?
Akar Internasionalisme NU
NU sebagai ormas keagamaan memang beberapa kali bersikap maju-mundur terkait keterlibatannya dalam politik. Namun, akar berdirinya NU sendiri di bawah tekanan kolonial Hindia Belanda sebenarnya secara tidak langsung membuat lembaga ini memiliki sifat alamiah untuk terlibat dalam kehidupan sosial dan politik masyarakat.
Mengacu pada tulisan Faisal Ismail yang berjudul The Nahdlatul Ulama: Its Early History and Contribution to the Establishment of Indonesian State, NU merupakan ormas yang memang banyak terlibat dalam politik kebangsaan dan kenegaraan Indonesia. Ini paling terllihat bagaimana NU menganggap diri mereka memiliki tanggung jawab moral untuk melawan penindasan Belanda di era kolonial.
Keterlibatan NU dalam politik ini pun berlanjut ketika Indonesia tengah mempersiapkan kemerdekaannya melalui Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI) yang akhirnya merumuskan Piagam Jakarta. Banyak petinggi dan ulama NU kala itu justru menjadi pendukung sila pertama Piagam Jakarta yang mewajibkan seluruh Muslim untuk memegang teguh hukum syariah.
Posisi politik NU kala itu bukanlah hal yang aneh. Mengacu pada tulisan Alexander Arifianto yang berjudul Nahdlatul Ulama and Its Commitment Towards Moderate Political Norms, NU dalam enam dekade pertama berdiri memang dikenal lebih konservatif.
Namun, NU akhirnya memoderasi nilai-nilai mereka. Titik balik utamanya terjadi di era Orde Baru – ketika Abdurrahman Wahid (Gus Dur) terpilih menjadi Ketum PBNU pada Muktamar tahun 1984.
Muktamar itu menandai mundurnya NU dari kancah politik dan menerima Pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara. Sebelumnya, NU melihat Pancasila sebagai ideologi buatan manusia saja.
Sejak saat itu, NU lebih dikenal sebagai ormas Islam yang mendukung dan memprompsikan nilai-nilai demokrasi dan toleransi – baik di kalangan NU maupun di luar NU. Moderasi NU ini pun berlanjut hingga masa kepemimpinan ketum-ketum PBNU selanjutnya – meski sempat dianggap menjadi agak eksklusif di bawah kepemimpinan Hasyim Muzadi.
Prinsip demokrasi, inklusivitas, dan toleransi inilah yang membuat NU akhirnya memiliki kedekatan ideologis dengan internasionalisme. Fred Halliday dalam tulisannya yang berjudul Three Concepts of Internationalism menjelaskan bahwa, secara sederhana, internasionalisme bisa dipahami sebagai gagasan di mana semua orang perlu menjadi bagian dari komunitas yang lebih luas daripada hanya sebagai bagian dari sebuah negara dan bangsa – mencakup ide-ide seperti demokrasi, toleransi, hak asasi manusia (HAM), dan sebagainya.
Prinsip internasionalis NU ini sudah terlihat sejak lama – dengan terlibat dalam persoalan-persoalan internasional. Terkait Deklarasi Balfour, misalnya, NU menjadi salah satu ormas yang aktif mendukung negara-negara Arab untuk menolak pendirian negara Israel.
Jika prinsip internasionalisme NU ini sudah terbangun sejak lama, terutama di era kepemimpinan Gus Dur di PBNU, menjadi wajar apabila NU kini melanjutkan proses internasionalisasinya. Namun, mengapa upaya internasionalisasi ini semakin kentara di bawah kepemimpinan Gus Yahya? Mungkinkah ini strategi lebih lanjut dari NU yang baru?
Siasat Yahya dan Yaqut?
Upaya internasionalisasi NU di bawah PBNU yang dipimpin oleh Gus Yahya ini menjadi masuk akal. Ini bisa dilihat dari strategi yang ingin dibangun oleh sang Ketum untuk NU.
Dalam tulisan Governing the NU yang ditulis oleh Gus Yahya, disebutkan bahwa NU perlu menjaga kepentingan-kepentingannya. Salah satu cara yang disebutkan adalah bagaimana NU terlibat dalam percaturan politik internasional.
Keterlibatan NU dalam isu-isu internasional di bawah Gus Yahya sebenarnya juga mulai kentara saat perang antara Ukraina dan Rusia memanas. Beberapa bulan lalu, banyak duta-duta besar (dubes) dari berbagai negara berkepentingan datang dan menemui Ketum PBNU.
“Atas nama NU, saya menyeru kepada Rusia, kepada Presiden Putin, untuk menghentikan segera perang ini, gencatan senjata sekarang juga,” seru Gus Yahya kepada Rusia setelah bertemu dengan Dubes Ukraina Vasyl Hamianin. Pernyataan ini secara tidak langsung menunjukkan bagaimana NU di bawah Gus Yahya ingin terlibat lebih dalam persoalan-persoalan global yang terjadi.
Bukan tidak mungkin, R20 pun bisa menjadi jembatan Gus Yahya untuk bermain di level internasional. Namun, seperti yang disebutkan sang Ketum dalam tulisannya, kepentingan apa yang ingin didapatkan oleh NU dengan terlibat dalam panggung politik antarnegara?
Politik internasional sebenarnya tidak jauh terpisah dengan lingkup domestik. Ini sejalan dengan penjelasan Robert D. Putnam dalam teorinya yang disebut sebagai two-level game theory.
Dalam teori ini, disebutkan bahwa aktor politik internasional sebenarnya bermain dalam dua tingkat yang saling berkaitan, yakni tingkat internasional dan tingkat domestik. Dua level ini pun saling memengaruhi kebijakan di masing-masing tingkat.
Bukan menjadi rahasia lagi bahwa NU sebenarnya juga berperan dalam panggung politik internasional. Terkait isu Uighur di Xinjiang, Republik Rakyat Tiongkok (RRT), misalnya, NU disebut menghindari untuk berkomentar. Sementara, pemerintah Tiongkok juga mengadakan kerja sama – seperti beasiswa – dengan pesantren-pesantren NU.
Pola kerja sama antara Tiongkok dan NU ini secara tidak langsung juga menunjukkan bagaimana pola politik yang eksis di NU. Mengacu pada tulisan Syamsul Ma’arif yang berjudul Pola Hubungan Patron-Client Kiai dan Santri di Pesantren, pola patron-klien di pesantren turut membangun kharisma seorang kiai dalam memengaruhi komunitas santri.
Bukan tidak mungkin, kerja sama dengan negara-negara lain bisa mendukung pola ini bagi Gus Yahya – dengan dukungan Yaqut di Kemenag. Apalagi, seperti yang diketahui oleh banyak orang, Gus Yahya kini harus berebut pengaruh dengan Ketum PKB Muhaimin Iskandar (Cak Imin) di kalangan Nahdliyin yang juga menggunakan pola patron-klien.
Dengan menghelat R20 yang mempromosikan toleransi, bukan tidak mungkin Gus Yahya dan Yaqut ingin menarik perhatian kekuatan besar lainnya, yakni Amerika Serikat (AS) yang membangun tatanan dunia liberal (liberal international order) – seperti yang disebut oleh John Mearsheimer dalam tulisannya Bound to Fail. Apalagi, Gus Yahya dan Yaqut disebut memiliki kecenderungan politik yang lebih dekat dengan AS.
Pada akhirnya, boleh jadi, Gus Yahya ingin menggunakan internasionalisasi NU sebagai salah satu taktik untuk bermain di dua level tadi. Mungkin, kepentingan-kepentingan NU inilah yang ingin dibangun dan dijaga oleh Gus Yahya. (A43)