Krisis imigran yang terjadi di benua Eropa membuat Perdana Menteri (PM) Belanda Mark Rutte mengajukan pengunduran diri setelah adanya krisis politik dengan partai koalisi pemerintah terkait dengan kebijakan pembatasan imigran. Lantas, apakah ini termasuk bentuk kegagalan Eropa untuk mengintegrasikan para imigran ke dalam masyarakat Eropa?
Perdana Menteri (PM) Belanda Mark Rutte mengajukan pengunduran diri setelah memimpin “Negeri Kincir Angin” itu sejak Oktober 2011 lalu. Pengunduran diri ini buntut dari krisis politik dengan partai pendukungnya di parlemen.
Rutte menjadi kepala pemerintahan terlama dalam sejarah Belanda, dan kedua terlama di Uni Eropa setelah Viktor Orban dari Hungaria.
Rutte kabarnya memberikan usul untuk membatasi kerabat pengungsi perang masuk Belanda maksimal 200 orang per bulan untuk memperketat pembatasan terhadap penyatuan kembali keluarga pencari suaka.
Hal itu guna mengekang jumlah pencari suaka setelah kejadian tahun lalu, dimana pusat migrasi yang penuh sesak mengakibatkan seorang bayi meninggal dan ratusan orang terpaksa tidur di tempat terbuka.
Namun, karena tak kunjung ditemukan kata sepakat dengan para partai pendukungnya di parlemen membuat Rutte memilih untuk mengundurkan diri sebagai Perdana Menteri.
Rutte menilai sulit untuk dirinya menemukan kata sepakat jika melihat pandangan partai-partai itu.
Koalisi partai pendukung Rutte di parlemen Belanda memiliki pandangan lain atas apa yang harus dilakukan terhadap para imigran.
Seperti negara-negara lain di Eropa, Belanda kini sedang mencari cara untuk mengendalikan jumlah migran yang disebabkan karena semakin banyak orang yang mencoba menyeberangi Mediterania.
Permohonan suaka di Belanda melonjak hingga mencapai lebih dari 46 ribu pada tahun lalu. Bahkan, pemerintah Belanda memperkirakan dapat menjadi 70 ribu dan menjadi yang tertinggi sejak tahun 2015 lalu.
Masalah ini sangat mengganggu koalisi empat partai Belanda. Rutte mengatakan bahwa sudah menjadi fakta politik partai-partai koalisi memiliki perbedaan dalam masalah ini.
Sebelumnya, permasalahan terkait imigran ini juga menimpa negara Eropa lain, seperti Prancis dan Swedia.
Melihat hal itu, bukan tidak mungkin apa yang dialami oleh Mark Rutte akan juga dialami oleh kepala pemerintahan negara Eropa lain.
Lalu, mengapa persoalan imigran menjadi krisis yang seakan tidak kunjung usai sejak 2015 bagi negara-negara Eropa?
Chauvinisme Bangsa Eropa?
Eropa merupakan salah satu benua dengan kemajuan peradaban terbaiknya. Namun, karena kemajuan itu pula yang kemudian jamak dinilai menjadikan bangsa Eropa menganggap bangsa mereka superior.
Persepsi ini yang kemudian tampaknya membuat bangsa Eropa tak jarang dianggap melakukan hal-hal diskriminatif kepada mereka yang bukan berasal dari keturunan Eropa.
Untuk menjelaskan fenomena itu, Laurenz Ennser-Jedenastik dalam tulisannya yang berjudul Welfare Chauvinism in Populist Radical Right Platforms: The Role of Redistributive Justice Principles memperkenalkan konsep welfare chauvinism atau chauvinisme kesejahteraan.
Welfare chauvinism adalah pandangan politik yang mempromosikan nativisme sebagai prinsip pengorganisasian utama dari kebijakan sosial.
Dalam pandangan welfare chauvinisim, manfaat kesejahteraan harus diarahkan terutama kepada anggota kelompok pribumi. Sebaliknya, anggota kelompok luar non-pribumi harus menerima dukungan sosial yang terbatas, itu pun jika ada.
Dengan adanya pandangan chauvinisme semacam ini menjadikan Eropa gagal dalam mengintegerasikan para imigran. Imigran dianggap sebagai sebuah ancaman terutama yang berasal dari luar Eropa.
Kegagalan itu yang kemudian jamak dinilai menjadi sasaran empuk para kelompok sayap kanan untuk menekan pemerintah.
Judy Dempsey dalam tulisannya yang berjudul Is Migration Europe’s Achilles Heel? menjelaskan bahwa kegagalan Eropa untuk membentuk kebijakan migrasi dan suaka yang efektif merusak integrasi Eropa dan menguntungkan kelompok sayap kanan.
Kerumitan ini membuat hampir tidak mungkin bagi politisi untuk mencapai solusi dengan kelompok yang memandang masalah ini dengan sangat berbeda. Kompromi apa pun tampaknya sulit dicapai.
Partai VVD yang dipimpin Rutte adalah partai terbesar dalam koalisi empat partai. Namun, dua mitra koalisinya yang merupakan sebuah partai demokrat Kristen menentang proposal yang diajukan Rutte.
Suaka dan migrasi memang menjadi masalah bagi Rutte karena adanya tekanan kelompok sayap kanan di Belanda, seperti Geert Wilders yang menimbulkan ancaman politik terhadap partainya.
Kompromi yang sulit tercapai itu lah yang kiranya menjadi faktor Mark Rutte mundur dari jabatannya dan bukan tidak mungkin akan disusul oleh kepala pemerintahan negara Eropa lainnya.
Padahal, jika kita lihat dalam era globalisasi ini, setiap manusia berhak memperoleh kehidupan lebih baik.
Eropa umumnya mendapat manfaat yang tidak proporsional dari integrasi ekonomi yang terkandung dalam proses globalisasi ini.
Eropa tidak dapat begitu saja mengabaikan fakta bahwa orang akan terus melintasi perbatasan untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Itu adalah hak asasi manusia yang mendasar.
Melindungi perbatasan eksternal Eropa tidak dapat dilakukan dengan mengorbankan hak dan nyawa para imigran.
Melihat munculnya penolakan hingga anggapan dari masyarakat Eropa bahwa imigran adalah sebuah ancaman, muncul pertanyaan menarik, benarkah imigran akan menjadi sebuah ancaman bagi negara-negara Eropa?
Isu Sekuritisasi
Isu keamanan selalu menjadi isu yang diangkat oleh kelompok sayap kanan di Eropa yang menolak gelombang imigran.
Isu keamanan semacam ini dijelaskan oleh Barry Buzan, Ole Wæver, Jaap de Wilde dalam bukunya yang berjudul Security: A New Framework for Analysis menggunakan konsep sekuritisasi.
Sekuritisasi adalah proses perubahan subjek menjadi persoalan keamanan oleh negara. Ini adalah politisasi versi ekstrem yang mengizinkan cara apapun demi menjaga keamanan.
Isu yang tersekuritisasi tidak selalu berupa isu ancaman militer yang menentukan keberlangsungan sebuah negara.
Namun, merupakan isu ketika seseorang berhasil mengubah suatu isu menjadi persoalan hidup dan mati, atau eksistensial.
Studi sekuritisasi berusaha memahami siapa yang melakukan (pelaku), atas dasar apa (ancaman), untuk siapa (objek acuan), mengapa, bagaimana hasilnya, dan apa saja syaratnya.
Berkaca dari penjelasan tersebut, kiranya kecemasan negara-negara Eropa terhadap ancaman keamanan yang ditimbulkan oleh para imigran mempunyai beberapa alasan.
Diantaranya, berbagai aksi teror yang terjadi di Eropa belakangan ini tampaknya menjadi alasan bagi negara-negara Eropa untuk menolak gelombang para imigran yang datang ke Eropa.
Hingga kemudian kecemasan masyarakat Eropa itulah yang tampaknya dijadikan suatu isu eksistensial oleh politisi-politisi sayap kanan Eropa.
Padahal, imigran yang melakukan aksi teror di Eropa hanya sebagian kecil dari mereka yang justru mengharapkan kehidupan yang lebih baik di Eropa.
Bahkan, dalam beberapa kasus aksi teror di Eropa pelaku juga berasal dari mereka yang sudah lama tinggal di Eropa.
Namun, karena melihat ketidakadilan yang dilakukan oleh pemerintah Eropa terhadap imigran yang ditambah pengaruh oleh pemahaman radikal tampaknya membuat mereka melakukan aksi teror.
Eropa kiranya harus cepat menemukan kebijakan yang tepat terkait imigran. Hal ini agar adanya keamanan bagi baik masyarakat Eropa atau para imigran itu sendiri.
Jika kebijakan yang tepat itu tak segera ditemukan, bukan tidak mungkin korban jabatan politik karena kegagalan menemukan solusi politik selain Mark Rutte akan kembali bertambah. (S83)