Persaingan Rusia dan negara-negara Barat memiliki sejumlah kemiripan dengan Perang Punik Kedua antara Kartago dan Republik Romawi. Sayangnya, di skenario ini Rusia sepertinya terancam bernasib sama seperti Kartago.
“Carthago delenda est / Kartago harus dihancurkan” – Cato, senator Republik Romawi
Ribuan tahun lalu, tepatnya saat abad ke-3 sebelum masehi (SM), dunia dihadapkan pada salah satu turning point paling penting dalam sejarah peradaban manusia, yaitu Perang Punik Kedua.
Perang yang terjadi antara dua peradaban raksasa Mediterania saat itu, yakni Imperium Kartago dan Republik Romawi, menentukan siapa yang paling berhak menjadi “majikan”, tidak hanya di lautan dan daratan Eropa, tetapi juga di Benua Afrika dan Asia kuno.
Dan setelah melewati sejumlah pertempuran besar dari tahun 218-201 SM, kemenangan yang diperoleh Republik Romawi dalam perang tersebut akhirnya menyegel persaingan yang sudah terjalin antara Kartago dan Romawi di Laut Mediterania selama lebih dari 100 tahun.
Kalau kita bertanya pada sejarawan manapun yang meneliti tentang peristiwa ini, bisa dipastikan sebagian besar dari mereka akan mengatakan bahwa dampak Perang Punik Kedua adalah yang paling besar pada peradaban kita saat ini. Karena, kalau misalnya saat itu Kartago yang memenangkan perang, maka mungkin sejarah peradaban modern tidak akan didominasi peradaban Eropa, melainkan peradaban Afrika Utara dan Asia Barat.
Well, perang memang seringkali menjadi momentum puncak yang menentukan alur sejarah peradaban manusia. Bukti paling nyata yang bisa kita rasakan langsung adalah bagaimana Perang Dunia II akhirnya membuka jalan bagi para negara terjajah, seperti Indonesia, untuk meraih kemerdekaannya.
Dan omong-omong soal perang, ada satu konflik saat ini yang mulai dilihat para pengamat internasional berpotensi menjadi turning point paling penting pada abad ke-21. Tentu ini adalah Perang Rusia-Ukraina.
Filsuf Rusia yang pemikirannya kerap diasosiasikan sebagai motivasi Presiden Vladimir Putin untuk menyerang Ukraina, Alexandr Dugin, pernah mengatakan bahwa di perangnya dengan Ukraina ini, Rusia akan berubah menjadi Romawi modern, yang akan memberikan batasan-batasan politik baru pada Kartago modern, yang dia artikan sebagai Amerika Serikat (AS), dan kawan-kawan Baratnya.
Namun, apakah dasar pemikiran Dugin dalam melihat Rusia sebagai Romawi baru tersebut sudah tepat? Dan bagaimana kira-kira kita bisa merefleksikan Perang Punik dengan perselisihan antara Rusia dan negara-negara Barat saat ini?
Justru Rusia Kartago-nya?
Menarik memang bila kita coba membandingkan perselisihan antara Rusia dan kubu Barat saat ini dengan perseteruan antara Kartago dan Romawi pada zaman dulu.
Mungkin, ini karena Rusia dan AS sama-sama merepresentasikan kekuatan geopolitik, khususnya terkait kekuatan militer, dari masing-masing belahan dunia. Pada Perang Punik, polarisasi geopolitik militer yang bipolar seperti itu juga berlaku serupa.
Namun, kalau kita ingin menganalogikan Rusia sebagai Republik Romawi di persaingan geopolitik sekarang, seperti yang diungkapkan Dugin, maka sepertinya kita salah. Jika kita memperhatikan lebih seksama, justru Rusia-lah yang sekarang tampak terancam bernasib sama seperti Kartago.
Mari kita berselancar sedikit dalam sejarah Perang Punik.
Perang Punik Kedua yang begitu dahsyat tidak terjadi secara tiba-tiba. Sebelumnya, pada tahun 260-241 SM, ada sebuah perang pendahulu antara Kartago dan Romawi yang juga tidak kalah dahsyatnya, yakni Perang Punik Pertama.
Perang tersebut awalnya terjadi karena pada tahun 264 SM Republik Romawi menginvasi Pulai Sisilia, lalu mereka menancapkan pengaruh militernya di pulau tersebut. Padahal, Pulau Sisilia selama bertahun-tahun sebelumnya selalu menjadi zona netral antara Kartago dan Romawi. Alhasil, melalui sejumlah eskalasi diplomasi, perang antara Kartago dan Romawi tidak terhindar.
Walau pada awalnya berjalan cukup seimbang, perang ini kemudian berujung pada kekalahan Kartago. Imperium adidaya Afrika tersebut akhirnya terpaksa menerima sejumlah “hukuman” dari Romawi, dalam bentuk kewajiban untuk membayar emas tahunan, pembatasan aktivitas politik dan ekonomi, dan lain-lain.
Namun, kekalahan Kartago di Perang Punik Pertama tidak membuatnya tunduk begitu saja pada Republik Romawi. Melalui ambisi besar dari Jenderal Hannibal Barca untuk membalaskan harga diri keluarganya dan Kartago, seluruh lapisan masyarakat Kartago, dari kalangan rakyat jelata sampai elit, merasakan amarah yang sama untuk turut menghancurkan Republik Romawi atas diskriminasi yang mereka lakukan terhadap Imperium yang tadinya pernah menjadi penguasa Laut Mediterania.
Kalau kita kemudian membawa latar belakang kenapa Kartago akhirnya tetap ingin berperang melawan Romawi meskipun sudah kalah di Perang Punik Pertama, maka kita akan menemukan kemiripannya dengan Rusia.
Rusia dan Kartago sama-sama pernah merasakan bagaimana rasanya hampir menjadi penguasa dunia. Melalui Uni Soviet, sang Negeri Beruang Putih sempat dipandang sebagai satu-satunya negara di dunia yang mampu bertarung secara seimbang dengan AS, baik dalam aspek militer, maupun ekonomi.
Namun, persis seperti Kartago, Uni Soviet harus menelan pahitnya kekalahan ketika Perang Dingin berakhir, dan kehilangan sebagian besar kekuatannya dengan memecah diri menjadi beberapa negara baru. Meskipun Perang Dingin saat itu memang bersifat lebih ke peperangan tidak langsung.
Menariknya, ambisi pembalasan pada kekuatan hegemon dan romansa kembali ingin menjadi negara besar, seperti yang terjadi di Kartago dulu, juga sepertinya tengah dirasakan para elite dan warga Rusia saat ini. Dengan sejumlah indoktrinasi dari filsuf seperti Alexandr Dugin tadi, lalu populis pro-Rusia seperti Vladimir Mozhegov, warga Rusia bisa melihat bahwa wacana untuk menganeksasi Ukraina dan negara-negara bekas Uni Soviet adalah hal yang perlu dilakukan bila Rusia ingin kembali jadi negara besar.
Sayang, persis seperti Kartago di Perang Punik Kedua, ambisi semacam itu berpotensi hanya akan menjadi ambisi semata yang malah berujung pada bencana.
Di perangnya dengan Romawi dulu, salah satu alasan kenapa Kartago kalah adalah karena mereka tidak lagi memiliki kekuatan seperti di era Perang Punik Pertama. Pertama, kondisi ekonomi mereka tidak sanggup mencukupi keperluan Hannibal untuk benar-benar menaklukkan Romawi, dan kedua, ketidakstabilan negara pada saat itu juga membuat sejumlah elite berpikir dua kali dalam mendukung Hannibal.
Dan kalau kita lihat kenyataannya sekarang di Perang Ukraina, kita bisa sadari sendiri bagaimana setelah satu tahun lebih Rusia masih belum bisa memenangkan perangnya. Banyak pengamat yang menilai tidak efektifnya performa militer Rusia adalah karena mereka memang tidak memiliki modal yang mumpuni untuk menjalankan perang.
Lalu, kita juga pantas mencurigai stabilitas politik di Rusia sedang berada dalam posisi yang tidak begitu menguntungkan bagi Putin karena sejumlah pejabatnya di Rusia, melalui beberapa berita, mulai terlihat memiliki pandangan yang berbeda terhadap Perang Ukraina. Dari poin-poin ini saja, wajar bila kita merasakan bahwa Rusia sepertinya berpotensi terjebak ambisi politik fana persis seperti Kartago di Perang Punik Kedua.
Nah, kalau memang benar Rusia saat ini justru memiliki arah nasib yang tidak jauh berbeda dengan Kartago, akankah Perang Rusia-Ukraina saat ini juga akan jadi turning point yang begitu krusial bagi Putin dan warganya?
Nasib Seperti Kartago Tak Terhindarkan?
Dalam studi hubungan internasional, ada sebuah konsep menarik tentang persaingan kekuatan besar dunia yang disebut Allison trap. Pada dasarnya, konsep ini adalah sebuah kritik terhadap teori Thucydides trap dari Graham T. Allison, yang melihat bahwa perselisihan antara kekuatan dominan dan kekuatan baru hanya bisa didamaikan dengan menciptakan kerja sama.
Brantly Womack, profesor hubungan internasional dari Universitas Virginia yang mempopulerkan Allison trap, justru melihat bahwa konflik besar pasti akan terjadi antara kekuatan dominan dengan kekuatan potensial, karena dengan sistem dunia yang begitu tidak pasti, negara yang dominan pasti akan terus merasa ada potensi ancaman yang bisa muncul sewaktu-waktu dari negara yang berpotensi menantang mereka.
Dengan pandangan seperti itu, sang kekuatan dominan pada akhirnya akan berusaha dengan cara apapun mencari pembenaran agar negara yang berpotensi menjadi pesaingnya bisa “redup” sebelum merealisasikan kekuatan sesungguhnya.
Kembali berefleksi pada Perang Punik, fenomena ala Allison trap memang terjadi, ini dibuktikan dengan meletusnya Perang Punik Ketiga, ketika Romawi tetap melihat Kartago sebagai potensi ancaman meskipun mereka sudah dikalahkan dalam dua perang besar sebelumnya. Setelah itu, Kartago secara harfiah dihancurkan sampai puing terakhir dan hilang dari sejarah peradaban manusia.
Hal ini kemudian bisa jadi bahan renungan kita untuk melihat kondisi geopolitik dunia ketika Perang Rusia-Ukraina selesai nanti. Kalau Rusia tetap berada di kondisi yang sekarang, yakni dalam kondisi tidak unggul, lalu akhirnya kalah, maka sebenarnya akan tetap ada kemungkinan AS dan kawan-kawan mencari justifikasi agar semakin mengeskalasi rivalitasnya dengan Negeri Beruang Putih.
Apalagi, sesuai dengan yang diberitakan sejumlah media, para negara-negara Barat sampai saat ini memiliki pandangan yang berbeda dalam melihat apa yang selanjutnya akan dilakukan bila Ukraina menang. Ada kubu yang ingin tetap menekan Rusia, tapi ada juga yang ingin melembut.
Yang jelas, kalau kita melihat track record kepentingan nasional AS, dulu mereka pernah menginvasi Irak dengan alasan yang kurang meyakinkan bagi negara-negara lain di dunia. Kalau kita ingin belajar, di masa depan, bila Rusia akhirnya sudah dibuat benar-benar lemah, terlalu naif untuk mengatakan hal serupa tidak akan terjadi.
Pada akhirnya, untuk saat ini, sepertinya dengan percaya diri kita bisa simpulkan bahwa entah bagaimana Perang Rusia-Ukraina berakhir nanti, tatanan geopolitik dunia akan sangat berubah.
Semoga saja, tragedi yang menimpa Kartago dalam Perang Punik terdahulu tidak terulang di era sekarang, karena bagaimanapun perang adalah sesuatu yang harus kita hindari semampu mungkin. (D74)