Site icon PinterPolitik.com

Romantisme Mao Zedong, Xi Perkuat Kekuasaan?

https2f2fpsh ex ftnikkei 3937bb42f82f22f28671208 1 eng gbmaoxire

Mao Zedong (Kiri), Xi Jinping (Kanan). (Foto: Nikkei montage/AP/Reuters/Getty Images)

Presiden Tiongkok Xi Jinping menerapkan ekonomi komando yang menimbulkan ketakutan masyarakat akan kembalinya masa pemerintahan Mao Zedong di mana semua akan diatur oleh pemerintah. Ini kemudian menimbulkan pertanyaan, mengapa Xi seolah menerapkan “romantisme” Mao Zedong?


PinterPolitik.com

Setelah resmi menjadi presiden tiga periode, Presiden Xi Jinping berlakukan ekonomi komando era Mao Zedong. Kebijakan tersebut dapat dilihat dari adanya peresmian “kantin komunitas” di perumahan Fengqing, di pusat Kota Wuhan, Tiongkok.

Kantin itu dikelola oleh negara dan diresmikan sejak 1 November lalu. Banyak warga Tiongkok mengantri untuk membeli makanan yang diproduksi secara massal.

Xi memerintahkan pemerintah daerah serta masyarakat untuk mengontrol rantai pasokan makanan dengan membuat depo komunitas mandiri untuk melayani kompleks-kompleks perumahan.

Pusat layanan akan dibangun pada 100 rumah tangga. Luas pusat layanan harus bersifat komprehensif, yakni minimal 30 meter persegi. Depo ini menyediakan berbagai toko antara lain toko serba ada (toserba), kios sayur, kantin, dan semua kebutuhan komunitas, – termasuk pula kantor pos dan binatu.

Kantin dan toko-toko negara seolah menyegarkan kembali ingatan akan ekonomi pasar era Mao Zedong dimana rantai pasok makanan akan diatur pemerintah. Padahal saat ini, Tiongkok dapat dianggap sebagai suatu negara yang maju dan makmur.

Lantas, kebijakan tersebut pun mengundang ketidaknyamanan kalangan atau orang-orang tua yang telah merasakan kepemimpinan Mao Zedong saat semua akan diatur oleh pemimpin.

Salah seorang warga mengatakan keresahannya, “Kami baru saja makan sampai kenyang, dan sekarang kembali ke ekonomi komando lagi,” keluh seorang warga bernama Zhang Jianping dari wilayah Jiangsu.

Dirinya juga mengeluhkan terkait spekulasi perang yang menjadi satu-satunya alasan mengapa Tiongkok kembali ke ekonomi terencana. Adapun salah satu warga berpendapat bahwa ini merupakan strategi Partai Komunis Tiongkok (PKT) untuk memisahkan diri dari peradaban Barat.

Lalu, mengapa Xi mengimplementasikan kembali kebijakan itu?

Bayang-Bayang Resesi?

Suatu kebijakan dapat berhubungan dengan kebijakan yang lain. Begitu juga pada kebijakan dari segi kesehatan masyarakat dan ekonomi yang harus berkesinambungan dan menjadi tantangan besar semua negara, khususnya untuk dan pasca menghadapi pandemi Covid-19.

Saat ini, Tiongkok menerapkan “Zero-Covid Policy” yang bertujuan untuk mencegah peningkatan penularan virus secara massal dan kematian warga. Meskipun demikian, kebijakan itu tidak banyak diterima oleh masyarakat Tiongkok karena telah menyebabkan kerusakan ekonomi yang mendalam serta menebar rasa frustasi yang mendalam.

Di samping itu, Juru Bicara PKT Sun Yeli menganggap kebijakan “Dynamic Zero” telah berjalan efektif dalam menjaga tingkat penularan dan menekan tingkat kematian. Dia juga mengklaim kebijakan ini mampu menstabilkan keadaan sosial dan ekonomi.

Sejak bulan April hingga Juni tahun ini, ekonomi Tiongkok tidak menunjukkan pertumbuhan karena terlalu fokus untuk memerangi varian Omicron. Misalnya saja, kebijakan lockdown di Kota Shanghai yang membuat ekonomi daerah itu terganggu telah membuat warga frustasi.

Pada kuartal III (July-September) perekonomian Tiongkok sempat tumbuh sebesar 3,9 persen year-on-year (yoy). Angka ini dinilai telah melampaui ekspektasi para ekonom yakni sebesar 3,4 persen.

Meskipun demikian, pertumbuhan ini tidak lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi di kuartal I (Januari-Maret) sebesar 4,8 persen yoy dan masih di bawah target resmi pemerintah yakni sebesar 5,5 pesen.

Angka pertumbuhan dinilai terbebani oleh sejumlah kebijakan lockdown pemerintah sehingga menekan aktivitas bisnis. Faktor tersebut telah membuat sejumlah bank investasi memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Tiongkok ke kisaran 3 persen. Di samping itu, tingkat pengangguran perkotaan mengalami kenaikan hingga 5,5 persen pada September.

Oleh karena itu, kebijakan ekonomi komando tampaknya dianggap Xi sebagai jawaban atas ancaman ekonomi Tiongkok dan dampak kebijakan lockdown yang nyatanya membuat masyarakat lebih frustasi.

Lantas, mengapa Xi menerapkan kebijakan yang tertutup dan justru seolah akan “menjatuhkan” ekonomi negara itu lebih dalam lagi?

Maoisme Di-Romantisasi?

Pada umumnya, pemimpin Tiongkok menerapkan aliran konfusianisme dimana mereka cenderung bertindak sebagai orang tua di dalam suatu grup maupun organisasi sehingga mereka juga cenderung melakukan kontrol otoriter.

Pernyataan tersebut dikemukakan oleh Harry Hui dan Chen K. Tan dalam tulisan mereka yang berjudul “Employee Motivation and Attitudes in the Chinese Workforce” dalam Handbook of Chinese Psychology.

Menurut Farh dan Cheng dalam publikasi yang berjudul An Examination of Three-Way Interactions of Paternalistic Leadership in China oleh Wai Kwan Laua, Zhen Lib, dan John Okpara menjelaskan kepemimpinan paternalistik adalah gaya kepemimpinan yang memadukan disiplin dan otoritas yang kuat dengan kebajikan kebapakan dan integritas moral yang terbungkus dalam suasana personalistik.

Pada publikasi tersebut, dinyatakan tiga dimensi penting dari kepemimpinan paternalistik antara lain otoriter, kebajikan, dan kepemimpinan yang bermoral.

Lebih lanjut, Redding dan Cheng dalam publikasi yang sama seperti sebelumnya mengamini bahwa paternalisme merupakan elemen utama dari kapitalisme Tiongkok. Masih dengan publikasi serupa, Cheng mengklaim bahwa kepemimpinan paternalistik terdiri dari terdiri dari dua kategori perilaku yaitu shi-en alias memberikan bantuan dan li-wei alias mengilhami kekaguman atau ketakutan.

Dengan keterpilihannya sebagai presiden tiga periode, Xi tampaknya memiliki kuasa yang begitu besar dalam menerapkan pemerintahan yang otoriter dan paternalistik. Bukan hanya itu, dengan kuasa ini dia juga akan lebih leluasa dalam bertindak sehingga dia akan mengukuhkan diri sebagai orang paling berkuasa di Tiongkok sejak Mao Zedong selaku pendiri PKT.

Padahal, sejak Mao tiada, para elite Tiongkok pernah bersumpah tidak akan lagi menciptakan konsentrasi kekuasaan hanya pada satu tokoh sehingga mereka pada akhirnya membentuk sistem kepemimpinan kolektif yang tidak resmi, batasan masa jabatan, dan usia pensiun untuk jabatan tinggi.

Ketika Xi berkuasa pada tahun 2012, harapan reformasi tampaknya terlalu besar. Bahkan, Xi sempat dikritik oleh eks pejabat tinggi PKT Cai Xia yang menyebut pemerintahannya menyerupai Uni Soviet di era Stalin dan Tiongkok-nya Mao.

Oleh karena itu, romantisme Mao dianggap sebagai peran penting dalam menunjukkan keunggulan ekonomi politik. Menurut Mao penting untuk mengeksplorasi bagaimana suprastruktur politik dan ideologis mempengaruhi basis ekonomi.

Dengan penerapan paternalistik plus romantisme Mao Zedong, Xi mampu mempertahankan tiga dimensi penting kepemimpinan paternalistik yakni otoriter, kebajikan, dan kepemimpinan yang bermoral, sambil menunjukkan bahwa ekonomi komando dapat memberikan kebajikan bagi orang-orang melalui kantin negara yang hadir ketika kesulitan ekonomi dan kebijakan lockdown.

Lalu, jika mengacu pada hakikat aliran konfusianisme pemimpin Tiongkok, akankah muncul resistensi di negara yang begitu kuat level otoriter-nya?

Didemo Segera Lengser?

Awal mula demonstrasi tampaknya disulut oleh seorang warga Tiongkok bernama Peng Lifa. Dirinya menolak kebijakan lockdown dan kepemimpinan tiga periode Xi saat kongres PKT sedang berlangsung.

Peng menggantung spanduk penolakan di atas jembatan, di distrik Haidian, tepatnya di ibu kota Beijing pada 13 Oktober lalu. Saat ini, dirinya telah tertangkap dan tidak diketahui keberadaannya.

Adapun, fenomena lainnya yang sempat menggegerkan rakyat Tiongkok yaitu gerakan revolusi Tiongkok yang muncul setelah Xi berhasil menjadi presiden tiga periode dan dipicu oleh kebijakan lockdown.

Masyarakat yang memprotes Xi menolak kepemimpinan Xi dengan berbagai slogan anti-pemerintah, seperti “Kebebasan, bukan lockdown“, “Kehormatan, bukan kebohongan”, “Reformasi, bukan regresi”, dan “Pemilu, bukan kediktatoran.”

Meskipun dilakukan melalui bilik toilet, berita demonstrasi ini langsung disensor oleh pemerintah. Pembicaraannya bahkan dihapus dari berbagai platform media sosial.

Selain itu, sejak 14 Oktober yang lalu demonstrasi yang menuntut Xi agar segera lengser juga muncul dari anak muda China di seluruh dunia seperti London (Inggris), New York (AS), Amsterdam (Belanda), Paris (Prancis) dan Seoul (Korea Selatan). Aksi ini juga dipicu oleh “Zero-Covid Policy” sehingga pemerintah dianggap otoriter dan diminta segera lengser.

Dengan demikian, kiranya dapat disimpulkan bahwa dengan adanya kebijakan ekonomi komando yang diterapkan oleh Xi dipengaruhi oleh ambisinya untuk memperkuat kekuasaan di partai dan mengontrol masyarakat melalui romantisasi pemerintahan Mao Zedong.

Xi kemudian tampak banyak menerima protes untuk segera mundur karena kebijakan lockdown yang pada akhirnya melemahkan perekonomian Tiongkok dan sikap otoriter pemerintahannya. Demonstrasi bahkan telah menjalar hingga ke berbagai belahan dunia dan masih akan menarik untuk menantikan dampak maupun kelanjutannya. (Z81)

Exit mobile version